Tipologi masyarakat Jawa menurut Clifford Geertz: abangan, santri, priayi, sampai sekarang masih populer di masyarakat. Abangan adalah orang yang tidak menjalankan ajaran agama secara intensif atau bahkan sama sekali tak menjalankannya. Santri adalah orang yang menjalankan ajaran agama secara intensif. Dan priayi adalah orang terhormat, entah menjalankan ajaran agama secara intensif atau tidak.
Dulu indikasinya adalah keturunan bangsawan. Karena masih populer, dalam pergaulan sehari-hari pun banyak orang yang menggunakan kata abangan sebagai majas litotes. Banyak orang yang sebenarnya cukup religius mengaku, “saya itu orang abangan”, supaya dianggap tidak berbeda dengan masyarakat sekitar yang tidak religius.
Tipologi masyarakat Jawa tersebut dulu bersifat horisontal saja. Sekarang berubah, paradigma tersebut tak sekadar bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Kalau dianalogikan dalam sebuah bangun datar berbentuk segitiga. Santri dan abangan berada di dua titik atau dua sudut bawah. Keduanya bergerak secara vertikal menuju titik puncak yang disebut priayi. Ya, kini siapa saja, dari mana saja asalnya, entah santri atau priayi, tujuannya adalah menjadi priayi.
Dulu, status priayi didapatkan utamanya berdasarkan keturunan. Ketika seseorang adalah keturunan bangsawan maka status priayi sudah otomatis dimilikinya. Orang-orang akan menunduk ketika berhadap-hadapan dengan orang dengan status tersebut. Bahkan, dalam suatu keadaan tertentu orang-orang yang secara derajat dianggap lebih rendah siap untuk disuruh-suruh oleh orang berstatus priayi. Di masa lalu, feodalisme menjadi satu-satunya cara untuk melanggengkan status quo. Masyarakat di luar itu sama sekali tak pernah berpikir untuk mencapai derajat priayi karena mustahil.
Anehnya, ketika sekarang demokrasi begitu populer yang seharusnya berbanding lurus dengan kesetaraan justru membuat status priayi menjadi idaman banyak orang. Demokrasi tak menghilangkan tingkatan derajat dari orang biasa (bisa abangan atau santri) sampai priayi, tetapi justru semakin melanggengkannya tingkatan derajat semacam itu.
Kalau dulu hal tersebut hanya bisa dicapai melalui jalur keturunan. Sekarang jalurnya lebih banyak. Bisa melalui uang, gelar akademik, citra agamis atau religius, popularitas via media sosial. Priayi tak sekadar status tetapi sudah berubah menjadi sindrom. Akibatnya adalah orientasi perilaku seseorang bukan lagi pada kualitas hasil kerja atau maksimalisasi kebermanfaatan bagi pihak lain tetapi sekadar supaya dianggap sebagai manusia terhormat.
Bisa dilihat di masyarakat. Banyak orang jadi PNS karena sekadar ingin dianggap terhormat di lingkungan sekitarnya. Kendati di media sosial banyak keluhan bahwa PNS gajinya rendah, masih ada masyarakat di wilayah tertentu yang menganggap PNS adalah orang dengan derajat yang tinggi. Akhirnya orang-orang dalam posisi tersebut ketika bekerja tak serius. Toh status sebagai orang terhormat di tempat tinggalnya sudah didapat.
Orang bersekolah sampai S3 hanya ingin dihormati. Sehingga ia sekadar punya ijazah tetapi tak punya karya apapun yang bisa memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Padahal gelar doktor seharusnya dibersamai dengan kesadaran berupa tanggung jawab akademik yang dibuktikan dengan karya-karya hasil penelitian yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.
Orang menjadi wakil rakyat pun jadi tak serius. Alih-alih memperjuangkan suara rakyat, ketika rapat malah tidur, nonton video porno atau main judi slot. Ia beranggapan sudah dapat gaji tinggi dan penghormatan yang cukup, utamanya dari orang-orang dari dapilnya yang dulu memilihnya sebagai wakil rakyat. Kerja serius memperjuangkan suara rakyat dianggap menjadi tidak penting lagi.
Ada sebuah cerita konyol yang menunjukkan betapa akutnya sindrom priayi ini. Di sebuah kabupaten, ada istri dari tokoh tertentu yang dijadikan sebagai ikon literasi. Logisnya, ikon literasi itu punya karya tulis yang mumpuni. Entah itu punya karya buku kredibel atau tulisannya dimuat di berbagai media. Kalau tidak punya salah satu dari dua hal tersebut, minimal punya citra pecinta buku yang ia tunjukkan di media sosial. Tetapi setelah dicari jejaknya, tidak ada riwayat semacam itu. Tidak punya karya berupa buku atau tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai media, bahkan tak mencitrakan diri sebagai pecinta buku di media sosial.
Lalu apa faktor di dalam dirinya yang mencerminkan literasi dan membuatnya pantas menjadi ikon literasi? Tidak ada kecuali status yang didapatkannya karena ia punya privilege istri tokoh tersebut.
Ikon literasi tersebut tugasnya adalah keliling-keliling sekolah untuk mendorong siswa suka membaca. Kalau jejak literasinya saja tak ada, tetapi tiba-tiba disuruh berkampanye untuk mendorong siswa suka membaca lalu apa modalnya untuk menyampaikan kampanye-kampanye tersebut secara bermakna dan benar-benar bisa mendorong para siswa sekolah punya keinginan kuat untuk membaca?
Pada akhirnya program seperti itu sekadar formalitas. Sekolah-sekolah sibuk mempersiapkan penyambutan (secara mewah) jika didatangi ikon literasi tersebut. Satu-satunya manfaat dari posisinya sebagai ikon literasi adalah bagi suaminya. Posisinya sebagai ikon literasi memperkuat citra baik suaminya di masyarakat.
Zaman bergerak maju. Tetapi masyarakat kita bergerak secara mundur. Kompetensi menjadi tak penting. Yang penting adalah status. Tak peduli seseorang kompeten atau tidak asalkan ia dianggap terhormat—entah bagaimana ia mencapai titik itu—ia punya akses terhadap banyak hal. Maka tidak mengherankan jika Indonesia begini-begini saja. Karena semakin sedikit “right person on the right place”-nya.
Agak absurd sebenarnya, jika kita yang sedang dalam kondisi seperti ini berangan-angan mencapai Indonesia emas pada tahun 2045. Jika hal tersebut terus dilestarikan, bonus demografi di tahun 2045 bukan menjadi keuntungan tapi menjadi kerugian. Karena potensi-potensi dari generasi yang pada 2045 digadang-gadang menjadi generasi emas tak tumbuh.