Bila selebrasi gol (sujud syukur di pinggir lapangan atau menadahkan tangan ke angkasa) yang biasa dilakukan bintang sepak bola dunia seperti Mo Salah, Sadio Mane, dan sejumlah pesepakbola muslim yang bersinar di klub-klub besar Eropa, masih terasa sebagai pertunjukan individual, maka gegap-gempita upacara pembukaan Piala Dunia 2002 di Al-Bayt Stadium, Al Khor, Qatar (21/11/22) dapat dipandang sebagai massifikasi dari simbol-simbol keislaman dalam pesta sepak bola sejagat yang disaksikan oleh umat manusia di seantero dunia.
Betapa tidak? Kutipan surat al-Hujurat 13 yang berbunyi ya ayyuhannas, inna khalaqnakum min dzakarin wa unsya wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafuu, yang sebelumnya hanya terdengar di mimbar-mimbar khutbah atau podium-podium majlis ta’lim, dibacakan secara lantang dan fasih oleh Ghanim Al-Muftah, duta Piala Dunia Qatar 2022, di tengah lapangan hijau.
Pesan-pesan langit yang dulu mungkin hanya familiar di telinga umat Islam, lalu sang tuan rumah dari jazirah Arab itu membuatnya cetar-membahana di layar kaca berjuta-juta orang dari ras, suku, ideologi, dan agama yang berbeda-beda, termasuk kelompok orang yang sedang dilanda penyakit islamophobia di belahan barat.
Kumandang firman Allah itu bagi timpa-menimpa gelombang suaranya dengan gegap-gempita lagu bertajuk Dreamers yang disuarakan oleh Jung Kook (BTS), sang idola K-Pop kebanggaan anak-anak muda Asia. Tak tanggung-tanggung, upacara pembukaan Piala Dunia 2022 juga menghadirkan artis terkemuka Qatar seperti Fahad Al-Kubaisi, dengan busana khas Timur Tengah dan cita-rasa ketartilan yang lagi-lagi mengarusutamakan sidik-jari keislaman di hadapan 32 negara, partisipan Piala Dunia 2022.
Di sela-sela kemeriahan pertunjukan yang menakjubkan itu, Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani tampil dengan pidato singkat dalam bahasa Arab. Min biladil ‘arab (dari tanah air Arab), demikian ia menyapa hadirin dan pemirsa yang sedang terpana setelah menyaksikan penampilan Jung Kook, menyambut kedatangan tamu-tamu terhormat dari belahan dunia barat. Mereka yang pertama kali menyaksikan perhelatan olahraga kelas dunia di hamparan gurun pasir yang dulu hanya dikenal sebagai zona kecamuk perang, kampung halaman gembong teroris internasional, atau negara yang abai pada hak perempuan.
“Betapa indahnya bagi kita semua, mengesampingkan apa yang memisahkan kita (selama ini), demi merayakan keberagaman. Mari, jadikan turnamen ini dipenuhi hari-hari kebaikan dan harapan yang menginspirasi, dan menyambut semua orang di dunia,” begitu Emir Qatar melanjutkan pidato ahlan wa sahlan-nya.
“Pada sebagian besar masa abad ke-20, Qatar adalah daerah terpencil di Teluk Persia yang tandus dan lebih dikenal sebagai zona penyelaman mutiara ketimbang kompleksitas konstelasi politik kekuasaan. Penduduknya miskin, tertinggal jauh dari tetangga Saudi mereka,” demikian sinisme seorang kolumnis The Atlantic, Tom McTague (2022), dalam artikel panjangnya, The Qatar World Cup Exposes Soccer’s Shame.
Namun, penemuan ladang gas terbesar di dunia pada 1971 membawa Qatar ke dalam gelombang transformasi yang tak terbayangkan. Qatar kemudian berubah menjadi salah satu negara terkaya di dunia, dan para pemimpinnya mulai melihat tanah tumpah darah mereka tidak hanya sebagai zona terpinggir dari tetangganya yang lebih kaya, tetapi sebagai saingan geopolitik sejati, bahkan hingga kini. Maka, menurut Tom McTague, upaya keras untuk memastikan keterpilihan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, yang telah memicu macam-macam rumors dan kontroversi, adalah kesempatan bangsa Qatar untuk memaklumatkan diri mereka, menceritakan kisah mereka, di panggung yang benar-benar global.
Hingga kolom pendek ini disiarkan, keterperangahan publik sepak bola dunia atas terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah belum sungguh-sungguh mereda, atau tepatnya belum sungguh-sungguh direlakan. Betapa tidak? Sebagaimana dicatat dengan segenap kejengkelan oleh McTague, bagaimana mungkin FIFA memberikan hak tuan rumah itu kepada otokrasi kecil Timur Tengah dengan populasi hanya 3 juta orang. Qatar bukan negara berbudaya sepak bola, belum pernah bermain di piala dunia sebelumnya, apalagi menjadi tuan rumah.
Di musim panas, ketika turnamen selalu digelar, suhunya sangat panas, sepak bola sama sekali tidak bisa dimainkan secara normal. “To hold 90-minute matches in the desert at the height of an Arabian summer is self-evidently ludicrous (menggelar pertandingan 90 menit di padang pasir pada puncak musim panas, jelas-jelas sangat menggelikan),” begitu sindiran tajam McTague. Sedemikian kesalnya, kolumnis itu menggunakan sebuah alegori yang terdengar janggal guna menggambarkan betapa absurdnya bermain sepak bola di gurun pasir.
Menurutnya, keterpilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 seperti keterpilihan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Itu seharusnya tidak terjadi, tetapi fakta tidak akan pernah bisa dibatalkan: Qatar akan selamanya menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2022, absurditas terbesar dalam sejarah olahraga.
Terlepas dari sikap yang super-under-estimate itu, mari kita lihat apa yang telah dilakukan Qatar dalam upaya menggapai panggung global. Tak lama setelah pertemuan informal delegasi Qatar dengan Michel Platini (Presiden Asosiasi Sepak Bola Eropa-UEFA) di the Élysée Palace, Paris, pada November 2010 (yang sering diungkit-ungkit media barat sebagai awal mula skandal yang meloloskan Qatar sebagai tuan rumah), konsorsium pengusaha Qatar yang tergabung dalam delegasi itu membeli klub besar Prancis, Paris Saint-Germain (PSG).
Menurut laporan investigasi bertajuk The World Cup That Changed Everything, yang tersiar di New York Times (19/11/22), dalam perjumpaan antara Nicolas Sarkozy (Presiden Prancis masa itu), Michel Platini, dan delegasi Qatar, mereka tidak hanya membicarakan piala dunia, tapi juga masa depan PSG (Sébastien Bazin, presiden PSG masa itu juga hadir) klub yang didukung Sarkozy. Qatar tidak hanya ingin membeli PSG, tetapi juga hendak mendirikan perusahaan penyiaran olah raga guna menayangkan pertandingannya.
Atas dukungan Qatar Sports Investments, PSG memulai pengeluaran besar-besaran yang tak dapat diimbangi oleh rival-rival domestiknya, membeli bintang demi bintang yang semangatnya hendak melampaui segala wujud kekuatan sepak bola Eropa.
Pada musim panas 2017, PSG melenturkan otot keuangannya dengan cara paling berani, membeli Neymar, penyerang Brasil, dari Barcelona dengan bandrol $222 juta (dua kali lipat dari rekor transfer dunia sebelumnya). Beberapa minggu kemudian PSG menambah belanjaan dengan mendatangkan striker Prancis Kylian Mbappé seharga $180 juta. Kedua kesepakatan itu telah mengubah pasar transfer global untuk selamanya. Qatar belum selesai sampai di sini. Jaringan televisinya, BeIN Sports, segera menjadi kolektor hak media olah raga paling rakus di dunia, bagian dari ekspansi ke Eropa yang juga disepakati pada pertemuan Élysée. Direktur eksekutif BeIN, Nasser al-Khelaifi, adalah juga presiden PSG.
Investasi besar-besar di kancah industri sepak bola Eropa tampaknya telah menjadi bagian dari agenda negara kecil dari jazirah Arab itu dalam membangun supremasinya di dunia Barat.
Menurut catatan McTague, Paris Saint-Germain, sebagai representasi klub besar Eropa, tidak sendirian dalam ketergantungannya pada kekayaan negara Teluk, meski hampir dipastikan memang PSG yang paling berani. Klub elit Inggris Manchester City telah dimiliki oleh unit investasi negara bagian Abu Dhabi sejak 2008 (sebuah organisasi yang juga memiliki saham terbesar di waralaba Sepak Bola Liga Utama AS, New York City FC).
Tim Liga Utama Inggris (English Premiere League) lainnya, Newcastle United, tahun lalu dibeli oleh sebuah konsorsium yang meliputi dana kekayaan kedaulatan Arab Saudi, dengan anggaran yang hampir tak terbatas, dan memungkinkan mereka membeli semua talenta terbaik dari seluruh benua. Maka, bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, Qatar telah “membeli” keangkuhan Barat dengan kekayaan mereka. Di hadapan supremasi ketimuran itu, kini orang-orang penting dalam tarikh sepak bola Eropa berikut dengan elit-elit FIFA (yang memandang sebelah mata pada Teluk, jazirah Arab, dan masyarakat Islam global) harus berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan supremasi Islam dengan segenap simbol dan atributnya.
Rasanya tidak mungkin mereka menertawakan la’eeb maskot Piala Dunia 2022 yang dikembangkan dari bentuk penutup kepala khas orang Timur Tengah. Supremasi Islam yang digapai Qatar juga membuat Barat harus mendengarkan lantunan musik dan lagu yang digubah dengan aksen bahasa Arab fushah, bahkan harus khidmat menyimak ayat-ayat suci dikumandangkan di tengah lapangan hijau. Inilah suasana afirmatif terhadap simbol-simbol keislaman yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan, itu bisa terwujud karena olah raga bernama sepak bola.
Afirmasi Barat atas universalitas nilai-nilai keislaman sulit digapai tanpa cara-cara yang ditempuh Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab di gelanggang sepak bola Eropa. Apa yang telah dimulai oleh para talenta sepak bola muslim terkemuka sejak dari Mo Salah (Liverpool) Sadio Mane (Bayern Munich), Achraf Hakimi (Paris Saint-Germain) Karim Benzema (Real Madrid), Riyad Mahrez (Manchester City) Mesut Ozil (Fenerbache) Paul Pogba (Juventus) hingga Ousmane Dembele (Barcelona), dengan cara masing-masing, kini telah “dilembagakan” oleh Qatar sejak negara kecil dari jazirah Arab itu memenangkan keterpilihan tuan rumah Piala Dunia 2022.
Suara otentik umat Islam dunia, identitas keislaman dan rupa-rupa atribut yang menyertainya, bukan lagi bahan tertawaan, bukan lagi objek penghinaan karikatural di media-media mereka, tapi sebuah keadaban gemilang dan agung yang layak mendapat tempat terhormat. Well deserved. Bukan saja di lapangan hijau, tapi di seluruh ruang publik di bawah kolong langit. Hayya Hayya. Hayya Hayya. Hayya Hayya….