Wabah Korona hingga saat ini masih menjadi momok di Indonesia. Tak pernah diduga, tahun 2020 menjadi tahun dimana situasi banyak berubah. Maret 2020 menjadi waktu pertama kalinya ditemukan kasus warga Indonesia yang positif Korona. Seluruh kegiatan terpaksa harus disesuaikan dengan upaya penekanan jumlah yang terpapar Korona tak semakin meningkat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan penyebarluasan virus ini adalah imbauan jaga jarak (social distancing), hingga bekerja dari rumah (work from home).
Korona tidak hanya menyerang tubuh manusia. Korona bahkan sangat berdampak bagi sektor ekonomi hingga ketahanan pangan. Masyarakat kecil semakin tercekik dengan adanya pandemi ini. Banyak juga yang menjadi korban kebijakan perampingan pegawai perusahaan. Daya beli masyarakat semakin menurun, tapi kebutuhan akan pangan tentu tidak bisa dielakkan. Banyak usaha yang mulai menemui ajalnya, terlebih usaha kecil yang sejak awal bahkan telah terkendala dalam ketersediaan modal. Jika ini dibiarkan, boleh jadi nyawa masyarakat hilang bukan lagi karena virus, melainkan karena kelaparan.
Pada masa seperti ini, peran gotong royong antar masyarakat memegang peran penting. Di akar rumput, mulai ada gerakan-gerakan yang tumbuh. Gerakan ini lahir dari kepedulian yang masih melekat dalam jiwa manusia, dengan kemanusiaannya. Pada awal munculnya Korona di Indonesia misal, telah banyak aksi bagi-bagi masker dan handsanitizer. Aksi tersebut biasa dilakukan di tepi jalan, dan disasarkan kepada pekerja yang tidak bisa bekerja dari rumah. Sebut saja tukang becak, ojek online, pedagang keliling, atau juga pegawai pabrik yang terpaksa harus tetap bekerja.
Secara harfiah, gotong royong berarti upaya untuk meringankan beban secara bersama-sama (Irfan, 2017). Implementasi semangat gotong royong ini sebenarnya sudah lama berlangsung di Indonesia. Terlebih di pedesaan, kegiatan-kegiatan yang berangkat dari nilai gotong royong sangat mudah ditemui. Meski mereka dekat dengan stigma konservatif, tapi mereka adalah orang-orang yang dengan riang gembira membantu tetangga di sekitarnya. Mereka adalah orang yang akan segera menjenguk tetangganya jika dikabarkan sakit. Mereka adalah orang yang akan berkumpul untuk membantu penyelenggaraan hajatan tetangganya. Hingga, mereka adalah orang yang tertawa riang ketika menanam dan memanen di ladang.
Praktik kolektif yang dilakukan di pedesaan merupakan bagian dari gerakan sosial (Republika, 2020). Gerakan tersebut terorganisir, dan berlangsung dalam jangka panjang. Karena memang dalam realitanya, kegiatan gotong royong telah lama berlangsung di pedesaan, sehingga sifatnya melebihi dari sekadar gerakan kolektif biasa..
Aktivitas gotong royong akan sangat jarang ditemui di daerah perkotaan. Munculnya pandemi seharusnya menjadi suatu hal yang mampu menampar individualisme masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan penting untuk berkaca terhadap tingginya nilai individualisme, yang entah disadari atau tidak, telah menjadi moral mereka. Bahwa nilai individualisme, yang semata-mata demi kepentingan diri sendiri, tidak menjadi jaminan mereka dapat selamat dari pandemi ini.
Gerakan-gerakan sosial yang terilhami dari gotong royong, kini mulai menyebar menuju perkotaan. Gerakan tersebut diinisiasikan oleh masyarakat itu sendiri, menggandeng kelompok pemuda hingga lembaga lainnya. Salah satu gerakan yang mulai tumbuh adalah Solidaritas Pangan. Gerakan solidaritas tersebut menunjukkan wajah manusia yang lain, yaitu wajah kepedulian dan keberpihakan mereka pada perjuangan kehidupan orang lain. Setidaknya, pada masa pandemi ini, solidaritas tersebut mampu membantu memenuhi kebutuhan manusia akan pangan.
Salah satu gerakan tersebut dapat ditemui di Yogyakarta. Tersebar di berbagai titik, mereka yang tergabung dalam solidaritas tersebut saling membantu dalam mengumpulkan donasi hingga memasak, dan mendistribusikannya kepada kelompok yang paling terdampak dari pandemi ini. Kelompok sasarannya antara lain tukang becak, dan perempuan buruh gendong di pasar (Sutrisno, 2020), juga lansia, difabel, dan masyarakat kurang mampu (Nurfaizah and Janitra, 2020).
Dalam kegiatannya, mereka melakukan secara sukarela dan gotong royong. Dapur umum memanfaatkan ruang pribadi di antara mereka untuk digunakan. Pendanaan didapat dari sumbangan masyarakat luar. Setiap dapur mengelola dapurnya sesuai dengan keadaan masyarakat sekitar.
Aksi solidaritas ini tumbuh di kota lainnya, seperti Solo, Magelang, Madura, Bali, dan Jambi. Boleh jadi masih banyak gerakan serupa juga berlangsung di kota-kota lain. Semakin besar gerakan solidaritas, semakin menunjukkan adanya upaya pembangunan kesadaran kekuatan gotong royong di tengah masyarakat.
Perihal praktik gotong royong penting untuk menjadi suatu agenda berkelanjutan. Artinya, praktik-praktik tersebut diterapkan dalam jangka panjang, bukan hanya pada pandemi saja. Setiap individu saling berbagi kesempatan dalam hal kepemilikan. Saling merelakan kepemilikan pribadi untuk dapat didistribusikan secara adil demi kepentingan bersama.
Kesadaran bahwa yang dapat menolong masyarakat, ialah kepedulian masyarakat itu sendiri juga penting. Jarak kelas ekonomi yang diperoleh melalui persaingan individu sebagai cerminan masyarakat perkotaan, perlu mulai digerogoti perlahan. Kita juga tidak bisa semata-mata bergantung pada bantuan pemerintah, sebab penyakuran bantuan itu bisa terlambat dan terhambat dengan serangkaian aturan administratif. Dan kesadaran ini menjadi penting untuk mulai mengikis tingginya indidualisme di masyarakat perkotaan.
Kekuatan dan gerakan sosial rakyat lebih terbukti mumpuni dalam menolong masyarakat. Pemuda dengan ide kreatifnya dan tenaganya hadir dalam upaya penyelesaian persaoalan pangan masyarakat kecil dimasa pandemi. Berbagai kelas ekonomi bahu membahu memberikan beberapa kepemilikannya untuk didistribusikan secara merata.
*Artikel ini meraih juara 3 lomba menulis opini dalam rangka merayakan Hari Sumpah Pemuda 2020 yang diselenggarkan oleh Klikcoaching