Upaya penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh mufasir Nusantara telah berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Ulama-ulama Nusantara telah memulai usaha pengenalan makna dan kandungan al-Qur’an kepada masyarakat melalui kitab-kitab tafsir yang mereka karang. Sebutlah tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis ‘Abd al-Rauf al-Sinkili dari Aceh (terbit sekitar 1675 M) yang disebut-sebut sebagai tafsir pertama di Nusantara yang menafsirkan 30 Juz al-Qur’an secara lengkap. Kemudian tafsir Faid al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan yang ditulis Salih bin Umar al-Samarani atau Kiai Saleh Darat Semarang (terbit 1893 M.), juga tafsir Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an Majid yang ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M.).
Di rentang abad berikutnya yaitu antara abad ke19-20 M. terdapat beberapa mufasir Nusantara yang melanjutkan tradisi penafsiran al-Qur’an sebagaimana dilakukan oleh mufasir-mufasir tersebut di atas, di antaranya yang dilakukan para ulama cum akademisi seperti Ahmad Hasan (Tafsir al-Furqan, 1956), KHR. Muhammad Adnan (Tafsir al-Qur’an Suci Basa Jawi, 1983), Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (Tafsir Qur’an Karim, 1938), T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (Tafsir al-Bayan, terbit 1966; dan al-Nur, terbit rentang 1960-1970-an), Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya HAMKA (Tafsir al-Azhar, 1965), hingga Prof. M. Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, pertama terbit 2000).
Selain para mufasir yang telah disebut di atas, terdapat pula mufasir-mufasir dari pesantren. Pesantren merupakan basis sosial-budaya para mufasir Nusantara yang memperkaya khazanah tafsir Nusantara. Munculnya para mufasir yang berasal dari pesantren atau memiliki latar pendidikan pesantren cukup mewarnai perkembangan tafsir tidak hanya di Nusantara, melainkan memiliki pengaruh yang luas ke dunia Islam. Sebutlah di antaranya KH. Bisri Mustofa (Tafsir al-Ibriz, 1960), Kiai Misbah Mustofa (Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil selesai ditulis 1985 dan Taj al-Muslimin), dll.
Dua dekade terakhir, ulama pesantren masih terus memberikan sumbangsihnya terhadap khazanah penafsiran al-Qur’an di Nusantara, sebutlah kitab “Al-Mu’tasham fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim” oleh KH. Zamroji Halim (Jember), kitab “Firdaus al-Na’im bi Taudih Ma’ani Aayat Al-Qur’an al-Karim” oleh KH. Thaifur Ali Wafa (Sumenep), kitab “Al-Bayan fi Ma’rifati Ma’ani Al-Qur’an” oleh Dr. KH. Shodiq Hamzah Utsman (Semarang), dan kitab “Hidayatul Qur’an fi Tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an” oleh Dr. KH. M. Afifudin Dimyathi, Lc., M.A. (Jombang). Selain nama-nama tersebut, tentu masih banyak lagi mufasir-mufasir dari pesantren yang telah mempublikasikan kitab tafsirnya.
Kekhasan Tafsir Kiai Pesantren
Salah satu model penulisan kitab tafsir yang cukup khas oleh mufasir dari pesantren adalah menuangkan kitab tafsirnya ke dalam bentuk kitab kuning (sebutan untuk kitab berbahasa Arab yang jamak dipelajari di pesantren yang dicetak dengan kertas berwarna kekuningan). Model penulisan tersebut ditempuh sebagai upaya agar kelak kitab tafsir tersebut dapat disampaikan kepada para santri dengan metode ngaji bandongan (Kiai membacakan teks kitab dalam bahasa Arab kemudian menjelaskan maknanya dalam bahasa Jawa atau bahasa lokal, sementara para santri menyimak sambil memberi catatan pada kitab yang dipegangnya sesuai apa yang disampaikan oleh sang Kiai). Menulis tafsir al-Quran menggunakan bahasa Arab ditempuh oleh sebagian ulama pesantren karena selain bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an, bahasa Arab juga memiliki mufradat (kosa kata) yang sangat kaya.
Sayangnya, kekayaan khazanah tafsir yang dihasilkan oleh Kiai Pesantren tidak diikuti dengan perhatian dan kajian yang layak oleh kalangan akademisi, khususnya akademisi tafsir. Jika menilik data yang tersedia di Repositori berbagai perguruan tinggi keislaman di mana notabene di dalamnya terdapat jurusan studi al-Qur’an, tafsir-tafsir karya Kiai pesantren relatif sulit untuk ditemukan, dengan kata lain tidak tersedia di perpustakaan.
Hal tersebut berbeda dengan ketika kita mencoba mengakses kitab-kitab tafsir karya ulama cum akademisi sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini, misalnya ketika kita menelusuri ketersediaan Tafsir al-Furqan, Tafsir al-Qur’an Suci Basa Jawi, hingga Tafsir Qur’an Karim di database Repositori berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia, kitab-kitab tersebut relatif mudah untuk ditemukan. Apalagi jika kita menelusuri Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Misbah, ketersediaan tafsir-tafsir tersebut dapat dikatakan cukup melimpah. Bahkan sebagian kitab-kitab tafsir tersebut dapat diakses dan dibaca di laman online.
Sejalan dengan ketersediaan akses terhadap tafsir-tafsir karya ulama cum akademisi, kajian atas tafsir-tafsir karya ulama cum akademisi pun dapat dikatakan cukup melimpah. Kajian atas Tafsir al-Furqan, Tafsir al-Azhar, atau Tafsir al-Misbah misalnya, dengan mudah dapat kita temukan, baik sebagai bahan kajian tugas akhir seperti skripsi, tesis, dan ditertasi, hingga artikel pada berbagai jurnal ilmiah. Selain melimpah, sebarannya pun cukup merata hampir ke seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Hal tersebut berbeda dengan ketika kita mencoba menelusuri kajian atas tafsir-tafsir karya Kiai pesantren yang jumlahnya relatif terbatas. Sebutlah misalnya kajian atas kitab “Firdaus al-Na’im” karya KH. Thaifur Ali Wafa yang dapat dikatakan masih sangat minim dan sebagian besar pengkajinya berasal dari Jawa Timur (bahkan hampir seluruhnya berasal dari Madura). Begitu pula kajian atas kitab“Al-Mu’tasham” karya KH. Zamroji Halim yang sebagian besar penelitinya berasal dari Jawa Timur, khususnya dari daerah Jember. Data tersebut sekadar contoh untuk menunjukkan bahwa kitab tafsir karya Kiai pesantren masih minim apresiasi.
Kajian atas Tafsir Karya Kiai Pesantren Harus Mulai Menjadi Tren
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan minimnya perhatian dan apresiasi terhadap tafsir-tafsir karya Ulama Nusantara, dalam hal ini kepada mufasir Pesantren. Faktor yang jamak dijadikan sebagai alasan adalah sebagian kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh mufasir dari pesantren umumnya diterbitkan secara swakelola dan terbatas, sehingga kurang menjangkau pembaca yang lebih luas. Selain itu, kitab-kitab tafsir karya Kiai pesantren umumnya hanya dingajikan untuk kalangan sendiri yang relatif terbatas. Fenomena tersebut sebenarnya bukanlah fenomena baru, mengingat dalam catatan van Bruinsessen (2021: 163), hingga akhir abad ke-19 M. tafsir al-Quran belum dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren.
Atas pertimbangan inilah, upaya untuk memperkenalkan dan membumikan tafsir karya para mufasir dari pesantren harus terus dilakukan. Pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengarus-utamakan tafsir Nusantara khususnya karya Kiai pesantren, dalam hemat saya adalah jurusan ilmu tafsir dan studi ilmu al-Quran di berbagai lembaga pendidikan tinggi, sebab jurusan ilmu tafsir al-Qur’anlah yang mendaku sebagai lembaga yang secara spesifik mengkaji ilmu-ilmu al-Quran.
Jurusan-jurusan ilmu tafsir al-Qur’an wajib menyediakan akses terhadap khazanah tafsir pesantren, terus menyegarkan kajiannya dengan memperkenalkan kitab-kitab tafsir karya ulama pesantren melalui kurikulum formal, mewajibkan mahasiswa untuk mengkaji kitab-kitab tafsir karya ulama pesantren secara khusus, bahkan jika perlu mengundang mufasir-mufasir dari pesantren untuk memberikan kuliah dengan mengajikan langsung kitab tafsir karangannya di hadapan mahasiswa. Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan agar kajian tafsir terus berkembang, menawarkan kebaruan, dan tidak mengulang-ulang tema dan bahan yang sudah dikaji para peneliti lain sebelumnya. []
Bahan Bacaan:
- Abidin, Ahmad Zainal dan Thoriqul Aziz. Khazanah Tafsir Nusantara, Para Tokoh dan Karya-karyanya. Yogyakarta: Ircisod, 2022.
- Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir al-Qur’an Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Salwa, 2021.
- Van Bruinsessen, Martin. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, 2012.