Proses penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa tidak hanya melalui jalur pendidikan ilmu saja, melainkan dari akulturasi budaya juga. Salah satu tradisi yang menjadi letak persimpangan ini adalah kejawen. Sebuah sistem kepercayaan yang berasal dari spiritualitas dan kebijaksanaan Jawa. Hubungan antara Islam dan Kejawen telah melahirkan harmoni sekaligus ketegangan, menjadi refleksi antara agama dan tradisi lokal.
Pada abad ke-13 di tanah Jawa, Islam menyebar melalui banyak jalur, seperti perdagangan, pernikahan, dan pendidikan. Dalam hal pendidikan, proses penyebarannya tidak bersifat langsung dan konfrontatif, melainkan melalui pendekatan budaya, karena pada saat itu masyarakat tanah Jawa telah lebih dulu mengenal agama Hindu-Budha. Para pendakwah Islam telah menyadari bahwa tradisi lokal seperti Kejawen telah mengakar pada setiap kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, Islam sering disampaikan dalam bingkai kebudayaan lokal, contohnya melalui kesenian, sastra, dan ritual.
Kejawen sendiri merupakan tradisi yang kental dengan unsur filsafat dan spiritual, yang bersumber pada ajaran Hindu, Budha, Animisme, dan Dinamisme. Prinsip utama dari Kejawen adalah keharmonisan dengan alam semesta dan hubungan yang mendalam dengan Sang Hyang Tunggal (Tuhan yang Maha Esa). Nilai yang satu ini selaras dengan ajaran ketauhidan dalam Islam, sehingga memungkinkan terjadinya akulturasi antara tradisi Kejawen dan agama Islam.
Islam dan Kejawen bertemu pada ranah tradisi dan spiritualitas, menghasilkan berbagai bentuk sinkretisme. Salah satu contohnya adalah upacara selametan, sebuah ritual yang dilakukan dalam rangka bersyukur atas apa yang telah di berikan oleh tuhan kepada manusia dengan menggabungkan doa dalam Islam dan tradisi lokal. Selain itu, ajaran tasawuf dalam Islam juga menemukan titik temu dengan nilai mistik Kejawen yang menekankan pencarian hubungan langsung dengan Tuhan.
Namun, hubungan ini tidak sepenuhnya lepas dari ketegangan. Dalam beberapa kasus, praktik Kejawen dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam, terutama dalam hal yang berhubungan dengan simbol-simbol Hindu-Budha atau Animisme. Perbedaan ini menunjukkan adanya upaya kontekstualisasi Islam di tengah keragaman budaya lokal.
Relevansi Islam dan Kejawen Hari Ini
Hubungan antara Islam dan Kejawen masih tetap relevan hingga era modern saat ini. Di tengah globalisasi dan homogenisasi budaya, tradisi Kejawen memberikan cara untuk mempertahankan identitas lokal. Banyak di antara masyarakat Jawa yang hilang identitasnya, kebanyakan dari mereka menganggap hal-hal yang menjadi tradisi Kejawen telah kuno dan tidak perlu untuk dilakukan lagi pada era modern seperti sekarang ini.
Menggunakan pakaian khas seperti batik dan kebaya menjadi salah satu contoh lunturnya tradisi lokal di masa kini. Mereka lebih memilih menggunakan pakaian yang lebih kekinian bahkan tidak jarang pakaian-pakaian itu diadopsi dari budaya barat dengan ciri khasnya yang lebih terbuka untuk para wanita, padahal hal tersebut sangat berlawanan dengan tradisi Kejawen yang sangat menjaga kehormatan seorang wanita.
Fenomena seperti itu banyak terjadi di daerah perkotaan, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah pedesaan juga terjadi hal yang demikian. Hanya tersisa sebagian daerah di tanah Jawa yang masih menjalankan tradisi Kejawen, meskipun banyak juga yang telah berubah dari tradisi asalnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sementara itu, Islam menyediakan landasan moral dan spiritual bagi masyarakat. Dengan adanya fondasi moral yang baik, akan menjadi senjata yang dapat menghindarkan dari banyaknya pengaruh budaya barat yang masuk. Mereka akan dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk karena adanya moral yang baik. Disamping moral yang baik, spiritual yang baik juga diperlukan untuk bisa menjadi pengingat jika terjadi kesalahan dalam batin. Keduanya dapat berfungsi sebagai pilar untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran.
Persimpangan antara Islam dan Kejawen menjadi refleksi kemampuan agama untuk berbaur dengan tradisi lokal. Akulturasi ini menunjukkan bahwa Islam di Jawa tidak hanya dipahami sebagai ajaran universal, tetapi juga sebagai agama yang mampu menyesuaikan diri dengan tradisi lokal tanpa kehilangan esensinya. Hubungan ini meskipun kadang penuh tantangan, merupakan kekayaan budaya dan spiritual yang menjadi ciri khas Islam Nusantara.
Bahan Bacaan
Ahmad Baso. Islam nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ ulama Indonesia. Pustaka Afid, 2015.
Clifford Geertz. The Religion of Java. Free Press, 1960.
Mark R. Woodward. Islam in Java: Normative Piety and Misticism in the Sultanate of Yogyakarta. Arizona State University, 1989.
Abdul Munir Mulkhan. Mistik dan Ma’rifat Sunan Kalijaga. LkiS, 2002.
Mukti Ali. Kejawen: Modernisasi dan Sinkretisme Islam di Indonesia. Gadjah Mada University Press, 1985.