Pada 2018, disertasi berbahasa Inggris garapan Taufik Abdullah terbit dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia. Puluhan tahun, disertasi itu menjadi acuan pelbagai pengerjaan makalah atau artikel mengenai Minangkabau, pendidikan, surau, kaum muda, dan politik di Sumatra.
Kini, kita membaca dalam keterlambatan mengetahui atau mengenali para tokoh tercantum di buku berjudul Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda dan di Sumatra Barat, 1927-1933.
Peristiwa bersejarah di Sumatra Barat terjadi pada 1930. Konferensi akbar menghasilkan keputusan besar: mengubah Persatuan Sumatra Thawalib menjadi Persatuan Muslim Indonesia. Semula, mereka memberi singkatan PMI, lekas berubah disingkat Permi.
Di Sumatra Barat, sejarah bergerak oleh Permi dengan tokoh-tokoh ampuh. Pada susunan dewan eksekutif kita membaca nama Abdul Gaffar Ismail, pengurus kepanduan di Permi. Ia berasal dari Sumatra Thawalib (Parabek).
Siapa Abdul Gaffar Ismail?
Taufik Abdullah tak memberi puluhan halaman mengenalkan biografi ulama tenar justru saat bergerak dan bermukim di Jawa. Ia berpisah dari Sumatra akibat gemuruh politik. Tokoh itu memilih ke Jawa. Di deru pergerakan politik dan dakwah, ia malah menjadi tenar dan berpengaruh, sejak masa kolonial sampai Orde Baru.
Gaffar lahir di Bukittinggi, 11 Agustus 1911. Keampuhan lelaki sering berkhotbah itu membuat pemerintah kolonial memberi julukan asadul mimbar. Julukan bisa diterjemahkan “macan mimbar”.
Sejak kecil, ia sering berulah memicu komentar-komentar mengandung jengkel. Pada saat bocah-bocah di pesantren terbiasa mengenakan sarung dan peci, ia memilih memakai celana panjang digulung. Keberanian untuk “nakal” itu bekal saat Abdul Gaffar bertumbuh dewasa. Sumatra Barat sedang bergejolak. Pelbagai perkumpulan dan partai politik bermunculan memiliki massa besar untuk pertentangan anutan politik dan paham agama.
Abdul Gaffar memilih terlibat dan besar bersama Permi. Ia meniti jalan dakwah, pers, pendidikan, dan politik.
Di Jawa, segala kerja dan pengabdian dibuktikan setelah pergi dari Sumatra dalam usia 20-an tahun (Tim Tempo, Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesi 1985-1986, 1986).
Pada halaman berisi biografi pendek Abdul Gaffar Ismail, pembaca menemukan lanjutan biografi tokoh juga menggunakan nama Ismail. Lelaki bernama Taufiq Ismail, pujangga tenar berlatar 1965-1966. Pujangga itu putra Abdul Gaffar Ismail.
Di Pekalongan, Jawa Tengah, tempat Abdul Gaffar dan keluarga tinggal, cerita-cerita besar mungkin sudah sering disampaikan ke umat, dari masa ke masa. Abdul Gaffar Ismail memang ulama terkenal, cenderung mendapat sebutan kiai atau ustaz ketimbang buya. Kalangan muda mungkin sudah berjarak jauh dari ketokohan dan peristiwa-peristiwa bertokoh Abdul Gaffar Ismail.
Di kalangan mahasiswa masa 1960-an sampai sekarang, nama tenar mungkin Taufiq Ismail, bukan ketokohan sang bapak bernama Abdul Gaffar Ismail.
Pada tahun-tahun menjelang kaum mahasiswa mengadakan gerakan meruntuhkan rezim Orde Baru, tokoh asal Sumatra dan mengabdi di Jawa itu mendapat ulasan panjang di majalah Gatra edisi 4 November 1995.
Kita perlahan semakin mengenali Abdul Gaffar Ismail agak rikuh mendapat julukan “macan mimbar”. Ia mengagumi Mochtar Luthfi dan Sukarno. Dua orang itu terbukti macan mimbar, menggerakkan ide dan memungkinkan pesan-pesan agama dan politik mewabah dengan cepat seantero Indonesia.
Pertemuan Abdul Gaffar Ismail dan Sukarno sempat teringat saling bertukar keinginan dan pujian. Hubungan mesra meski tak berlanjut pada Taufiq Ismail dengan ketekunan menghajar kekuasaan Sukarno dengan puisi-puisi dibacakan dalam demonstrasi dan tercetak di majalah, buku, atau poster.
Dulu, Abdul Gaffar Ismail sering menemui Sukarno di Bandung. Pertemuan demi Indonesia. Sukarno pernah berkata: “Dik Gaffar, ajari aku Islam. Nanti, Dik Gaffar, aku ajari marxisme.” Di mata si putra Abdul Gaffar Ismail, marxisme itu musuh besar.
Pada masa 1930-an, Abdul Gaffar Ismail ampuh berpidato, menulis, dan mengurusi terbitan majalah. Ia ada dalam kerja penerbitan Berdjoeang Oentoek Merdeka, Islam Raja, Sinar Baroe, dan Al Jihad. Kesanggupan berpidato gagal diwariskan Taufiq Ismail. Kesenimanan sang putra menampak tapi tak mahir berpidato. Ia menulis puisi dan tampil sebagai pengucap masa malapetaka 1965-1966.
Ketokohan Abdul Gaffar Ismail menurun ke para murid bernama Munawir Sjadzali dan Tarmizi Taher. Dua orang pernah menjadi menteri agama pada masa pemerintahan Orde Baru.
Abdul Gaffar Ismail memang pantas disebut kiai atau ustadz meski jarang mendapat sapaan buya. “Aku menghayati dua akar tradisi yang bagi kebanyakan orang dianggap kontradiksi,” pengakuan Abdul Gaffar Ismail saat berusia 84 tahun. Masa tua menjadi masa mengenang dengan segala haru dan kebahagiaan.
Kenangan pada alam di Sumatra dan Jawa selalu dirawat dengan membaca majalah National Geographic. Abdul Gaffar Ismail berlangganan majalah itu sejak masa 1940-an. Kita kagum mengetahui ulama atau pendakwah rutin menikmati artikal dan melihat foto-foto semakin mengarahkan pada ketakjuban alam semesta. Majalah mengajak si pembaca meningkatkan iman dan takwa, dari masa ke masa dengan pelbagai perubahan lakon Indonesia dan tata dunia abad XX.
Kini, kita mengenang lagi Abdul Gaffar Ismail berkaitan musim naik haji. Pada masa tua, beliau mendapat kunjungan murid bernama Tarmidzi Taher selaku menteri agama menawari untuk naik haji lagi. Abdul Gaffar Ismail pun menuju tanah suci. Beliau diminta memimpin doa di Jabal Nur. Doa berisi permintaan pengampunan dan pembelaan umat Islam di seluruh dunia.
Doa seorang tua, setelah mengalami masa-masa penentuan dan pemberi arti Islam di Indonesia. Doa itu tak lagi sekencang saat menjadi macan mimbar di pelbagai majelis agama dan keilmuan masa lalu. Begitu.