Halaman itu memuat foto perempuan sedang berdandan. Ia tampak sedih melihat wajah sendiri. Perempuan tanpa kerudung. Di kamar, ia sendirian. Renungan untuk kecantikan. Di bawah foto, masalah ditanggungkan perempuan sedih mulai terpahamkan pembaca: “Semakin bertambah usia kita, semakin banyak kita memerlukan pertolongan alami untuk merasa dan tampak muda, memperlancar peredaran darah dan memperkuat struktur sel tubuh. Hal ini terutama sekali penting selama bulan puasa karena kerja rutin tubuh kita terganggu akibat kurang tidur dan jadwal makan yang berubah.” Kecantikan dipengaruhi Ramadan? Iklan itu terlihat di majalah Kartini, 3-16 Juni 1986. Pembaca dianjurkan menggunakan Nature-E untuk “mengatasi rasa tegang dan memperlambat proses ketuaan.” Ramadan tetaplah cantik! Ramadan tetaplah tampil muda! Kecantikan itu penting dan perlu.
Ramadan mengingatkan kecantikan. Sekian orang memiliki nostalgia kecantikan terpancar saat kaum perempuan rajin ke masjid. Semula, mereka jarang ke masjid. Nah, Ramadan memicu mereka ke masjid mengenakan pakaian sopan, rapi, dan apik. Di tangan, kita melihat ada mukena disampirkan. Sekian perempuan membawa mukena dalam tas. Kita pun melihat mukena itu didekap atau disampirkan di pundak saat berjalan ke masjid. Pulang ke masjid, adegan mungkin berubah sedikit. Kaum muda insaf kecantikan lumrah memiliki kejelian saat memandang perempuan. Di jalan, niat ke masjid untuk ibadah diselingi tatapan mata ke perempuan-perempuan diimpikan menjadi kekasih atau istri. Ramadan berdampak kecantikan. Kita kadang pangling. Perempuan itu tiba-tiba menawan saat mengenakan kerudung atau mukena. Wajah itu cerah. Si lelaki kagum sambil bersenandung dalam hati: “Di balik kerudung, wajahmu tersembunyi. Kau cantik alami…” Lelaki itu penggemar Rhoma Irama.
Pada masa lalu, kita mengenal tokoh kondang bernama Tutty Alawiyah. Kaum muda abad XXI pasti sulit mengenali atau mendapat cerita dari bapak-ibu. Ia bukan artis. Ia hadir di mimbar-mimbar memberi pidato berpengaruh ke umat. Tutty Alawiyah itu pendakwah dan berpihak ke pendidikan. Di majalah Pertiwi, 3-16 April 1989, kita membaca wawancara bersama Tutty Alawiyah dijuduli “Puasa Itu Identik Dengan Kecantikan”. Kecantikan tema penting dalam Ramadan. Kultum atau khotbah pengajian justru jarang membicarakan kecantikan. Hari demi hari, jemaah jenuh dengan pengertian puasa. Kita memang tak memiliki tema-tema beragam di hari-hari melulu khotbah di masjid, televisi, radio, dan lain-lain. Kita bakal merenung panjang bila ada penceramah memilih tema Ramadan dan kecantikan. Tema menghindarkan kantuk dan bisik-bisik. Kecantikan di bulan sakral, bukan kecantikan biasa-biasa saja.
Kita simak perkataan Tutty Alawiyah: “Begini, wanita zaman sekarang umumnya gemuk sedikit sudah buru-buru melakukan diet, senam, dan semacamnya.” Oh, tema ditujukan ke ibu-ibu merasa gemuk. Kaum lelaki tak diharuskan turut memikirkan Ramadan dan kecantikan. Kita lanjutkan: “Nah, puasa ini sebenarnya merupakan sarana bagi wanita yang ingin badannya lentur dan cantik. Karena dengan berpuasa bisa menghilangkan lemak-lemak yang menempel di tubuh kita. Daripada diet begitu saja, maka jangan lewatkan kesempatan emas bulan Ramadan ini untuk berpuasa supaya mendapat manfaat ganda, selain bisa mempercantik diri juga mendapat pahala.” Penjelasan tak sembarangan. Kita sulit menganggap itu bualan. Ramadan memang kecantikan asal ada pemenuhan niat. Kita membuktikan melihat kecantikan para perempuan tanpa wajib membeli baju baru, kerudung indah, atau berdandan dengan kosmetik mahal. Kecantikan itu tema perempuan. Para lelaki mendoakan dan memberi pujian agar kecantikan langgeng setelah Ramadan selesai. Begitu.