Kita mungkin sering memiliki ingatan-ingatan bereferensi Ramadhan tapi abai peristiwa sejarah 1945. Kita terbiasa mengingat 1945 di bulan Agustus berdasarkan penanggalan Masehi. Kita jarang mengingat penulisan, pengetikan, dan pembacaan teks proklamasi berlatar Ramadhan.
Dulu, para tokoh politik dan kaum muda mengalami Ramadhan saat menghendaki kemerdekaan. Mereka berpuasa dan berpikiran Indonesia. Perut lapar atau kehausan justru memberi gairah kebangsaan. Mereka itu tabah. Mereka pun berani. Pada saat mengalami Ramadhan, mereka membuat tindakan politik mengubah sejarah. Di sela berpikir dan berbuat, mereka mengingat makanan tapi tak berlebihan. Mereka mungkin sulit berharap kolak, nasi dan daging, atau es sirup. Mereka berada di zaman sengsara.
Soekarno mengingat tak utuh tapi memberi keterangan penting. Ingatan ditulis dalam Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) susunan Cindy Adams: “Kamipun tidak ‘mengangkat gelas’ untuk keselamatan. Sepandjang ingatanku, kalaupun ada minuman jang disediakan, ia hanja berupa air soda panas untuk membangkitkan kembali kekuatan dari segelintir manusia jang sudah tidak karuan dan tidak tidur selama dua hari.” Soekarno bercerita kejadian setelah penulisan teks proklamasi. Soekarno tak memberi ingatan tentang makanan. Pada saat peristiwa bersejarah, Soekarno sedang mengidap malaria. Ia lelah dan kesakitan tapi menggerakkan sejarah. “Aku merasa sangat mula,” ingatan Soekarno.
Ia berpikir kemerdekaan, bukan menuruti selera makanan dan minuman. Sejarah terus disusun pada hari-hari setelah pembacaan teks proklamasi. Soekarno diresmikan menjadi Presiden RI. Peristiwa itu dikenang Soekarno: “Setelah dipilih untuk memegang djabatan jang tertinggi diseluruh tanah air, maka presiden jang baru berdjalan pulang. Didjalanan ia bertemu dengan tukang sate. Lalu, Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pendjadja jang kaki-ajam dan tidak berbadju itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannja jang pertama, ‘Sate ajam limapuluh tusuk.’ Aku djongkok disana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.” Soekarno makan di pinggir jalan, bukan di restoran. Di rumah, Soekarno berbagi kegirangan. Ia mengabarkan kepada Fatmawati. Soekarno ingat: “… aku memilih lingkungan dapur jang menggairahkan untuk mengumumkan kepada istriku berita jang mengguntjangkan dunia.” Dapur itu penting bagi Soekarno, tempat berurusan makanan dan kekuasaan.
Pada masa berbeda, Soekarno membuktikan kaitan dapur dan kekuasaan. Ia memberi perintah pendokumentasian resep-resep masakan di seantero Indonesia. Soekarno berpikiran makanan demi kemuliaan Indonesia. Makanan-makanan itu bukti Indonesia beragam. Khazanah makanan menjadi kekuatan dan memicu hasrat kemakmuran. Perintah itu mewujud tapi saat situasi (politik) Indonesia amburadul. Soekarno memberi warisan berupa buku berjudul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Soekarno pada masa akhir berkuasa.
Sampul buku bergambar ibu sedang memasak di dapur. Kita melihat jagung, tempe, cabai, dan kelapa. Gambar istimewa: ketupat. Adegan ibu memasak mungkin mengingatkan Lebaran. Di Indonesia, orang-orang biasa bersantap ketupat saat Lebaran. Kita tak mengetahui jenis-jenis makanan dinikmati Soekarno saat Ramadhan dan Lebaran pada 1945. Kita cuma penasaran dengan kemunculan gambar ketupat di buku tebal menguak sejarah Indonesia: makanan dan kekuasaan.
Kini, kita sampai di hari-hari terakhir Ramadhan. Orang-orang berpikir Lebaran. Mereka pun berpikir Kartini. Pada 21 April 2023, kebiasaan membuat peringatan Hari Kartini mungkin berubah bentuk dan pemaknaan. Orang-orang mungkin mengaitkan dengan Lebaran. Kartini, sosok pemula dalam mengungkapkan pelbagai hal melalui surat-surat. Ia berpengaruh sebelum Soekarno tampil memberi tulisan dan pidato. Kartini turut memberi pengaruh dalam pergerakan politik Indonesia, sebelum dan setelah sejarah dicipta 1945.
Kartini pun memberi warisan resep makanan, tak cuma surat-surat. Warisan itu jarang diketahui saat orang-orang selalu mengutip pemikiran dan perasaan Kartini bersumber surat-surat. Di buku berjudul Kartini: Sebuah Biografi (1979) susunan Sitisoemandari Soeroto, kita tak mendapat keterangan panjang mengenai Kartini dan makanan. Kita mendapat sedikit pengisahan: “Pada hari-hari Minggu, ‘Tiga Saudara’ suka masak makanan-makanan untuk dimakan sendiri. Mereka membagi pekerjaan: yang satu membikin sayur, yang lain menggoreng, yang ketiga menanak nasi.” Tiga Saudara itu Kartini, Kardinah, dan Roekmini. Keterangan terpenting: “Kartini sangat pandai memasak masakan Jawa dan beberapa resep masakan Eropa yang digemari untuk dihidangkan kepada ayah dan ibunya.”
Pada 2005, terbit buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner R.A. Kartini, R.A. Kardinah, R.A. Roekmini susunan Suryatini N Ganie. Warisan telat terbit dibandingkan masa Soekarno memberi perintah dan penerbitan Mustikarasa. Kini, kita berpikiran bahwa resep-resep itu mengingatkan selera makanan bagi orang-orang masa lalu. Kita bisa “mengulang” menikmati beragam makanan sambil memberi makna Hari Kartini dan Lebaran. Begitu.