“Kamu-kamu adalah surga yang ada dalam hidupku,” suara Ahmad Dhani terdengar kencang. “Jika surga dan neraka tak pernah ada,” kita perlahan ingat lagu (anggaplah) religi dibawakan Chrisye dan Ahmad Dhani. Teringatlah pula lagu bisa membuat menangis. Suara lembut Chrisye, lirik buatan Taufiq Ismail: Akan datang hari mulut dikunci/ kata tak ada lagi/ Akan tiba masa tak ada suara/ dari mulut kita/ Berkata tangan kita…
Cerita di balik pembuatan dan rekaman lagu itu semakin menggetarkan. Kita mendengar lagu, memikirkan kelak di surga atau neraka. Sekian orang menangis atau terharu bila mengingat film berjudul Surga yang Tak Dirindukan. Adegan dalam film dan lagu membuat perasaan bergetar.
“Surga” itu tema dan obsesi dalam lagu-lagu di Indonesia. Film-film bercap “religi” memberi renungan-renungan surga. Cerita dan lagu menggiring penonton bertobat dan meningkatkan ibadah. Menonton film mirip mengikuti pengajian. Pada posisi raga berbeda, orang duduk atau berbaring: mendengar lagu-lagu mengingatkan surga dan neraka. Jenuh atau meragu, orang bisa membaca buku Mohammad Iqbal berjudul Javid Nammah. Kita perlahan mendapat kumpulan pengertian surga. Sekian orang mengira “surga” itu asmara atau perempuan. “Surga” pun rumah. Pengertian demi pengertian dimiliki untuk disenandungkan, diomongkan, dan digambarkan.
Kita membaca berita berjudul “Jalan Pintas ke Surga” dimuat di Tempo, 19 Desember 1981. Orang-orang Indonesia serius banget memikirkan surga. Nah, serius itu terbaca oleh orang berjualan stiker. Surga dan stiker? Kita membaca: “Ingin masuk surga? Ada yang menganjurkan membeli sebuah stiker, harganya cuma Rp 200, termasuk aturan pakainya. Khasiatnya begitu mati langsung masuk surga, tanpa melalui ujian malaikat.” Pada masa 1980-an, pembangunan nasional mulai tampak agak sukses di bidang pendidikan, industri, pertanian, dan lain-lain. Sukses itu kadang muslihat. Pembangunan belum sukses di masalah agama. Para pendakwah terus bertambah. Pengajian-pengajian diselenggarakan di pelbagai tempat. Masjid-masjid semakin bertambah dan tampak megah. Eh, agama justru mengalami “perbisnisan” bagi orang-orang mengerti duit dan mahir mengumbar bualan.
Stiker itu beredar di Sumedang, Subang, Sukabumi, dan Banten. Pada saat berita terbaca publik, 200-an stiker sudah terjual. Si pembuat dan penjual stiker memuat tulisan beraksara Arab atau doa menjelaskan: “Doa ini tak perlu dihafal, sebab sudah berbentuk tulisan. Cukup ditempelkan pada dada orang yang mati. Pasti malaikat Munkar dan Nakir (yang menguji iman seseorang tak akan memeriksanya lagi di alam kubur.” Orang berstiker itu bakal langsung masuk surga. Bualan diberikan dalam acara dinamakan “pengajian” untuk meningkatkan iman dan takwa.
Kasus ditanggapi MUI setelah ada proses hukum dilakukan polisi. Pihak MUI menduga jual-beli stiker memuat doa itu gara-gara kebodohan. Konon, orang bodoh gampang dibohongi. Kasus menggemparkan meski membingungkan. Polisi menjelaskan jual-beli stiker menjanjikan surga itu kasus penipuan. Di Sumedang, penjual stiker sempat dibawa ke kantor polisi tapi segera dilepaskan. Polisi sulit menemukan unsur kriminal. Pihak polisi mengatakan: “… membuktikan palsu dan ampuhnya stiker tersebut berarti haru mati dulu?” Kita membaca berita lama mungkin tertawa. Kita menghentikan tawa bila mengamati situasi mutakhir: orang-orang keranjingan pengajian dan suka omong agama. Orang-orang gampang bersengketa di studio televisi, warung, rumah, kantor, dan media sosial. Sengketa pendapat sampai ke masalah terbesar: surga dan neraka. Pada masa wabah, sengketa itu semakin mengeras, beredar cepat di gawai dengan dalil-dalil iman dan penjelasan kadang mengandung marah.