Nasi goreng itu tontonan. Konon, jutaan orang menonton rekaman bertokoh juru masak asing sedang membuat nasi goreng diunggah di media sosial. Di depan gawai, orang-orang menonton cara memasak tanpa bisa menikmati nasi goreng terlihat mata.
Para tokoh ditonton itu kondang dalam tema masakan atau makanan. Kita digoda memberi pujian atas kemahiran mereka membuat nasi goreng. Orang asing dan nasi goreng mungkin tema penting saat orang-orang masih sering di rumah, bingung mencari hiburan atau pereda frustrasi. Nasi goreng pun terpilih meski menonton saja. Gordon Ramsey memasak nasi goreng dianggap penting oleh orang-orang ingin hiburan bertema makanan (Solopos, 23 September 2020).
Tontonan minta dikagumi ketimbang kita melihat ibu atau bapak di dapur sedang memasak nasi goreng. Kita tak wajib merekam dan menampilkan mereka sebagai tontonan di media sosial.
Solopos mengajak pembaca memikirkan nasi goreng, tak cuma tontonan. Pengutipan data membuat kita mamastikan nasi goreng teramat penting bagi orang-orang Indonesia, dari masa ke masa. Pemerolehan data dari Badan Pusat Statistik: “… di perkotaan rata-rata konsumsi nasi goreng per kapita per pekan pada Maret 2019 mencapai 0,264 porsi. Nilai pengeluaran untuk nasi goreng itu Rp 2.705. Dengan demikian, setiap orang di Indonesia minimal makan nasi goreng sekali dalam sebulan dengan nilai pengeluaran Rp 10.00 per porsi.” Data setahun lalu. Pada masa wabah, kita menduga ada perubahan saat orang-orang dipaksa terbiasa memasak di rumah. Di jalan-jalan dan perkampungan, para penjual bakmi dan nasi goreng sudah berkurang gara-gara sekian peraturan untuk penanggulangan wabah.
Kita berpikiran pula masalah sejarah dan jenis nasi digunakan untuk menghasilkan nasi kurang ternikmat. Kita makan nasi goreng, belum tentu “makan” pelbagai berita dan cerita bertema nasi goreng meski tak berlimpahan. Penantian untuk penerbitan disertasi tentang nasi goreng mungkin memerlukan waktu puluhan tahun. Kita mendingan mencari hal-hal berkaitan nasi goreng asal menambahi pengetahuan. Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta, entri nasi mendapat pengertian “beras jang sudah dimasak”. Di situ, ada pencantuman “nasi goreng”. Kita tak mendapat pengertian lanjutan. Nasi goreng dalam kamus memang sulit diceritakan.
Kita menduga cerita-cerita nasi goreng bisa diperoleh di buku makanan dan buku biografi para tokoh, sejak awal abad XX. Pengetahuan nasi goreng kadang bersinggungan dengan sejarah di Indonesia dan gaya hidup. Pada 1967, terbit buku tebal seribuan halaman. Buku atas perintah Soekarno bermisi mengenalkan makanan-makanan khas Indonesia. Buku itu berjudul Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia. Nasi goreng dianggap makanan (pokok) terpenting di Indonesia. Di buku, kita membaca bahan-bahan: nasi, telur, ketimun, dan tomat. Bumbu untuk membuat nasi goreng: bawang merah, bawang putih, lombok merah, terasi, garam, kecap. Kita sengaja mengutip untuk mengetahui cara memasak dan penggunaan bahan-bumbu pada masa lalu. Cara memasak: telur didadar, diiris halus; ketimun dan tomat diiris tipis-tipis; bawang merah diiris halus; lombok, bawang putih, terasi, garam digiling; bumbu-bumbu digoreng, dimasukkan nasinja dan kecap, aduk rata; hidangan dihias dengan telur, tomat, ketimun.
Bahan, bumbu, dan cara memasak itu mungkin cenderung di keluarga menengah-atas. Keluarga-keluarga miskin di desa sulit memenuhi itu semua. Mereka terbiasa membuat nasi goreng bila ada nasi tak habis saat sore-malam, “kemarin”. Pagi, nasi digorengn dengan bahan dan bumbu terbatas. Misi utama adalah menjadikan nasi “kemarin” masih mungkin disantap, menghindari mubazir. Kenikmatan atau kelezatan belum capaian terpenting. Mereka berpikiran bisa makan (sarapan) saja.
Pada abad XXI, nasi goreng tak selalu bercerita orang miskin di desa. Nasi goreng berada di kota, menu di warung-warung atau gerobak keliling. Nasi goreng tak lagi menggunakan nasi “kemarin” tapi baru. Peristiwa memasak nasi goreng berbeda dari dalih para ibu di desa-desa saat berhitung nasib dan memberi arti nasi “kemarin”. Di kota-kota, nasi goreng masuk dalam pengisahan gaya hidup. Para penjual nasi goreng sering berada di dekat kampus atau ruang-ruang publik. Pada situasi dan peristiwa tertentu, nasi goreng naik martabat dalam percakapan-percakapan politik atau pembenaran festival-festival kuliner mulai ramai diselenggarakan pemerintah dan pihak-pihak partikelir. Nasi goreng pun kebablasan masuk dalam paket pariwisata.
Kita membuka buku apik berjudul Cerita Dapur Nusantara dalam Rasa dan Rupa (2017) susunan Bara Pattiradjawane dengan ilustrasi-ilustrasi buatan Rahma Adriani. Nai goreng kampung menjadi menu di urutan pertama. Penjelasan dari Bara Pattiradjawane: “Aroma khas nasi goreng kampung ini adalah terasi. Nasi goreng kampung bukan nasi goreng kampung kalau bumbunya tidak berasa ‘nendang’ terutama terasi.” Ia mengunggulkan terasi dibeli di Jawa Timur. Kita menduga nasi goreng buatan Bara Pattiradjawne emoh menggunakan nasi “kemarin”. Di buku, ia menganjurkan menggunakan nasi hasil dari penanak nasi listrik tapi diakali dengan memasukan dalam kulkas. Suguhan nasi goreng di meja dianjurkan digenapi irisan telur, tomat, mentimun, dan kerupuk. Konon, Bara Pattiradjawane menganggap itu cap “kampung”.
Pada suatu masa, nasi goreng itu incaran publik setelah menonton acara kuliner di televisi dipandu Bondan Winarno. Ia memameri nasi goreng babat. Ia mengajak orang-orang meraih kenikmatan bersantap nasi goreng babat. Di buku berjudul 100 Maknyus: Makanan Tradisional Indonesia (2013), kita simak kenangan dan godaan dari Bondan Winarno: “Di masa kecil saya di Semarang dulu, penjual nasi goreng babat membawa pikulannya berkeliling kampung. Di dalam pikulannya, justru tidak akan ditemukan nasi yang merupakan bahan utama sajiannya. Hanya ada anglo alias tungku arang, wajan dan sotilnya, sertat babat-iso dan bumbu-bumbu nasi goreng. Pembeli harus punya nasi untuk digoreng oleh si penjual. Sungguh, cara dagang yang unik. Mirip tukang jahit yang hanya menerima ongkos jahit untuk bahan yang dibawa pelanggan.”
Pengakuan “mengejutkan” bagi orang-orang melulu mengetahui pedagang nasi goreng di warung ata gerobak keliling masa sekarang memiliki persediaan nasi. Kita diajak kangen masa lalu, lupa untuk menikmati nasi goreng babat masih bisa dibeli di Semarang. Kenangan bakal semakin memikat bila disajikan sebagai cerita pendek. Nasi goreng itu makanan tradisional menuruti cerita dan pengalaman Bondan Winarno. Dulu, para penonton acara di televisi dan membaca buku susunan Bondan Winarno mungkin penasaran ingin mencoba menikmati dengan datang ke Semarang.
Penasaran tak mungkin diselenggarakan bila mengikuti Ki Hadjar Dewantara, keluarga, dan teman-teman selama tinggal di Belanda pada masa kolonial. Kita mendapat petikan tentang nasi goreng dalam buku berjudul Ki Hadjar Dewantara (1985) garapan Darsiti Suratman. Nasi goreng jadi contoh penentuan sikap atas Timur dan Barat. “Bahan-bahan baru itu harus ‘diolah’ atau ‘dimasak’ agar menjadi makanan baru yang lezat rasanya serta menambah kesehatan rakyat dalam arti kultural,” tulis Darsiti Suratman. Ki Hadjar Dewantara menganggap nasi goreng itu makanan khas penduduk Nusantara. Selama di Belanda, ia membuat nasi goreng dengan pengaruh Barat berupa mentega dan keju. Penggunaan hal-hal asing itu tak membataklan nasi goreng adalah “makanan nasional”. Di negeri penjajah, Ki Hadjar Dewantara dan kaum terpelajar asal Indonesia masih mewajibkan makan nasi (goreng), tak selalu mengikuti cara makan Eropa dengan menu-menu “aneh”.
Pada abad XXI, kita menginginkan cerita-cerita nasi goreng berkaitan tokoh, tempat, peristiwa, masa, dan lain-lain. Nasi goreng jangan selalu ditanggapi dengan “enak”, “nikmat”, atau “lezat”. Nasi goreng juga bukan cuma potret atau tontonan di media sosial. Sekian berita dan buku-buku memungkinkan kita berpikiran menempatkan nasi goreng adalah acuan khazanah cerita, dari masa ke masa. Begitu.