Sedang Membaca
Edward W Said dan Tindak-tanduk Intelektual Indonesia
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Edward W Said dan Tindak-tanduk Intelektual Indonesia

Nama penting dan sering dikutip kalangan intelektual di Indonesia, sejak puluhan tahun lalu. Kita mencatat nama memberi pengaruh besar di tebaran ide-ide: Edward W Said. Penulis esai-esai dan buku-buku ampuh.

Di Indonesia, kita sudah membaca edisi terjemahan: OrientalismeKebudayaan dan KekuasaanPeran Intelektual, dan lain-lain.

Kini, kita disodori lagi buku berjudul Imajinasi Intelektual. Tulisan-tulisan terus terbaca untuk mengingat masa lalu dan memungut ide-ide menapaki masa depan bagi kaum intelektual di sana dan sini.

Sekian tulisan Edward W Said dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pemikir tangguh di Prancis: Michel Foucault. Pada 1979, Edward W Said diundang ke Paris. Ia bertemu dengan Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Michel Foucault. Ia sempat diundang ke apartemen Foucault. Kunjungan mengandung kejutan: “Aku senang melihat bukuku, Beginnings, ada di rak bukunya yang dipenuhi berbagai bahan bacaan, termasuk makalah dan jurnal, yang tertata rapi.” Kejutan ditambahi penasaran. Edward W Said membutuhkan waktu lama untuk mengerti dalih Foucault enggan membicarakan politik Timur Tengah. Dalih itu agak memberi kecewa. Di Paris, ia semakin mengerti bahwa para filosof kurang terang dalam pemikiran dan sikap mengenai situasi Timur Tengah, terutama lakon Palestina-Israel. Ia lantang bersuara demi Palestina tapi “sulit” mendapat sambutan atau gaung di Eropa dan Amerika.

Kecewa dan jengkel juga dialami Edward W Said atas sikap Jean-Paul Sartre. Paris menjadi kota murung dan membisu. Dugaan Sartre bakal cerewet dan membicarakan hal-hal politik tak terbukti. Sartre tanpa suara. Peristiwa buruk bagi Edward W Said: “Saat makan siang kami duduk saling berhadapan. Ia tampak murung dan tetap tidak komunikatif. Ekspresinya datar dan dingin. Aku mencoba memulai percakapan dengannya tapi sia-sia belaka. Ia mungkin tuli tapi aku tidak yakin. Aku seperti sedang berhadapan dengan citra dirinya dulu yang angker, dengan pipa cangklongnya dan baju khas yang menggantung di tubuhnya.” Ingat, peristiwa itu bukan imajinasi. Kita mendapat pengisahan hubungan para intelektual kadang kaku, keras, dan dilema. Dua tokoh itu diingat gara-gara Edward W Said ingin ada seruan besar di Eropa untuk nasib Palestina.

Baca juga:  Fariez Alniezar Menggugat Bahasa Kekuasaan

Kita mengingat lagi pendefinisian intelektual oleh Edward W Said (1993): “Intelektual adalah individu dengan pekerjaan menyampaikan secara nyeni. Apakah itu berbicara, menulis, mengajar, atau muncul di televisi. Dan pekerjaan itu penting pada tataran bahwa ia diakui publik dan mencakup sekaligus komitmen dan risiko keberanian dan kerawanan.” Suara itu terdengar di kalangan intelektual di Indonesia masa sekarang. Pengertian itu “kedaluwarsa” atau wajib mengalami ralat.

Pada 2018 dan 2019, kaum intelektual merasa memiliki peran saat mereka ada di televisi untuk pelbagai acara mengenai keruwetan demokrasi. Para intelektual berbeda paham dan pamrih saling bersaing di sekian stasiusn televisi. Mereka mendapat tepuk tangan. Para tokoh berotoritas keilmuan itu tak lupa memamerkan diri di media sosial. Pengakuan demi pengakuan diperlukan tapi mengarah ke tatapan mata atau tontonan ketimbang menggerakkan ide. Ada kecenderungan mereka ada di “imajinasi” menjadi intelektual.

Intelektual memang di situasi politis. Edward W Said tak jemu menuliskan hal-hal berkaitan identitas, politik, agama, sastra, demokrasi, dan lain-lain di konsekuensi memberi sikap atas masalah-masalah besar ditanggungkan publik.

Ia beruntung tak mengalami zaman sibuk bermedia sosial, masih di gairah memberi kuliah dan percakapan. Tulisan-tulisan mengenai intelektual dan poskolonial mungki bisa dijadikan pengantar untuk mengerti tahapan perubahan peran kaum intelektual di Indonesia abad XXI. Pengecapan intelektual terasa berbeda dengan kaum terpelajar menggerakkan Indonesia di awal abad XX dan masa revolusi.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (78): Membaca Mambaus Sa’adah Menyelami Telaga Kebahagiaan

Kini, kita sejenak mengingat gagasan Edward W Said ditaruh di latar Indonesia. Situasi kolonial kadang mencipta persekutuan intelektual dan kekuasaan. Di tanah jajahan, persekutuan terjadi tapi memunculkan pula gerakan perlawanan. Indonesia teringat dalam kerja-kerja kaum intelektual dalam menulis, mengajar, dan berpidato. Tatanan kolonial dan keinginan membuat pijakan baru keintelektualan memicu ketegangan saat para intelektual berlanjut memiliki posisi-poisi penting di masa revolusi sampai kejatuhan rezim Orde Baru.

Kini, persekutuan itu dianggap demi demokrasi, tak lagi mengusut jejak-jejak kolonialisme. Kaum intelektual bergerak cepat dan jauh, membuat kita sering kebingungan dengan perubahan-perubahan sikap dan pembelokan gagasan dari masa-masa lalu.

Shelley Walia dalam buku berjudul Edward Said dan Penulisan Sejarah (2003) menjelaskan ketokohan tapi agak sulit dicarikan bandingan di kalangan intelektual Indonesia. Kita simak:

“Perjalanan hidup Edward W Said adalah kisah tentang dunia yang pada dasarnya telah lenyap dan terlupakan.”

Biografi diri dan keinginan menjadikan dunia adalah tanah air memiliki acuan ke nasib Edward Said sebagai manusia usiran atau tersingkir. Di Amerika Serikat dan Eropa, ia memang menanggungkan dilema kedirian di seruan intelektual. Edward Said pun tampil sebagai seorang intelektual “usiran” di misi pembebasan dari sejarah dan kebenaran resmi. Biografi dan sikap intelektual itu sulit ditemukan salinan di Indonesia saat godaan kekuasaan sering menghampiri kaum intelektual. Pemberian pengesahan intelektual masuk ke kancah kekuasaan pun mulai dilazimkan.

Baca juga:  Pembakaran Buku dan Akibatnya

Di buku Imajinasi Intelektual, kita membaca kalimat-kalimat buatan Edward W Said agak mencekam: “Tak ada yang lebih menyedihkan daripada hidup dalam pengasingan. Menjadi eksil adalah salah satu jalan hidup yang paling muram.”

Kita membaca itu saat gejolak politik global atau Timur Tengah memang menantang nasib kaum intelektual. Posisi diri dimusuhi dan terusir berpatokan dalih-dalih kekuasaan ingin mapan, dominatif, dan mutlak. Pengakuan itu bagian dari cara menilik sejarah. Kini, kita sulit menaruh kalimat-kalimat itu saat kaum intelektual Indonesia menemukan jalan lurus dan terang menuju kekuasaan. Eksil dan usiran milik masa lalu saja. Begitu.

Judul           : Imajinasi Intelektual

Penulis        : Edward W Said

Penerjemah : Cep Subhan KM

Penerbit      : Circa, Jogjakarta

Cetak          : 2019

Tebal          : 142 halaman

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top