Sedang Membaca
Di Rel Sejarah: Islam dan Kebangsaan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Di Rel Sejarah: Islam dan Kebangsaan

Para pembaca buku garapan Koever, Takashi Shiraishi, dan John Pemberton masih mengingat sejarah gerakan Islam di Solo awal abad XX berkaitan dengan kereta api. Pelbagai acara akbar berkaitan politik, agama, dan sosial-kultural turut dipengaruhi kereta api. Solo menjadi kota penting di zaman bergerak. Kota menandai kemauan gerakan Islam melawan kebodohan, kemelaratan, dan keterbelakangan. Di Solo, misi maju, modern, mulia dikerjakan pelbagai kalangan dengan cap Islam. Ingatan pada gerakan-gerakan masa lalu di Solo berarti mengingat pemaknaan kereta api.

Kita belum ingin sembrono membuat simpulan bahwa arus pemikiran atau arus gerakan Islam terlalu dipengaruhi kereta api. Kita masih mungkin mengisahkan pelbagai alat transportasi berpengaruh sejak awal abad XX. Pesona kereta api pun tak cuma berlaku di Solo. Cerita dan pesona membesar pula di Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Kereta api menandai kecepatan, massal, gengsi, dan dampak. Para tokoh bergerak untuk berdakwah dan berpolitik naik kereta api, dari kota ke kota. Mereka sadar berada di zaman kecepatan penuh risiko.

Kereta api bukan milik gerakan Islam saja. Pada masa 1930-an, kereta api semakin menjadi tema besar dan bergerak di pelbagai kota. Angan memuliakan Indonesia dan pembesaran ide demokrasi mengikutkan kereta api. Mohammad Hatta malah memilih metafora kereta api dalam menanggapi kecenderungan pemunduran demokrasi di tanah jajahan. Keinginan maju dan bergerak justru sempat dikhawatirkan gagal oleh gejala-gejala menodai demokrasi. Hatta memberi kritik bahwa berlangsung “demokrasi mundur dengan kereta api ekspres”. Pilihan metafora mungkin dipengaruhi pengalaman Hatta naik kereta api selama di Eropa dan menunaikan misi nasionalisme di Indonesia.

Baca juga:  Argumentasi Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw

Pada masa revolusi, kereta api masih berperan besar dalam kerja-kerja politik, ilmu, agama, ekonomi, dan lain-lain. Kereta api ada di roman besar revolusi dengan dua kota utama: Jakarta dan Jogjakarta. Masa itu terekam dalam novel berjudul Dari Hari ke Hari (1975) gubahan Mahbub Djunaidi. Ia mengenang perjalanan naik kereta api, dari Jakarta ke Jogjakarta. Perjalanan berlanjut ke Solo. Revolusi sedang berkecamuk. Para pemimpin harus berpindah ke Jogjakarta. Pengungsian terjadi berdalih politik. Mahbub Djunaidi saat itu masih bocah. Kenangan-kenangan mengejutkan dan pelik dimiliki menentukan biografi selama bersekolah dan belajar agama di Solo. Kereta api memang berpengaruh untuk “keselamatan” Indonesia dan pengalaman orang-orang memberi arti diri di Indonesia sedang berguncang.

Mahbub Djunaidi mengisahkan babak keberangkatan kereta api dari Jakarta (1946): “Tubuh kereta api terguncang-guncang larinya, atu barangkali tersuruk-suruk, dari satu desa ke desa yang lain, terus memasuki tenggorokan malam, makin lama, makin dalam. Bunga api tersembur dari cerobongnya, bertingkah sebentar di udara, kemudian punah begitu saja bagaikan misteri.” Di dalam gerbong-gerbong, para penumpang memelas. Mereka adalah kaum sabar untuk pelbagai cobaan demi revolusi. Penjelasan penting: “Di atas kereta api loakan ini, dalam perjalanan menuju timur, mereka adalah orang-orang yang baru, yang terlepas dari masa kemarinnya karena mereka adalah orang-orang yang merdeka.” Novel dimulai dan diakhiri dengan adegan naik kereta api. Pada kepulangan naik kereta api ke Jakarta, si tokoh melihat tatanan politik dan sosial sudah berubah, setelah pengakuan kedaulatan, 1949.

Baca juga:  Kepribadian Mulia Rasulullah Sebelum Menjadi Nabi

Pada masa berbeda, kereta api terus melaju di rel makna. Indonesia memiliki album cerita tebal dan panjang berkaitan kereta api. Cerita paling memukau dan berulang adalah jutaan orang bergerak untuk mudik dan balik menggunakan kereta api. Peristiwa kolosal dengan kereta api itu turut mengartikan Lebaran di Indonesia: religius dan mencipta roman sosial-kultural. Kereta api selalu menjadi tema dan perhatian. Kereta api menuju sejarah baru, tak lagi mengulang dampak-dampak seperti terasa di awal abad XX. Kereta api bergerak jauh dari sejarah Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Dulu, kalangan pergerakan kebangsaan dan dakwah Islam masih berurusan dengan kereta api.

Kereta api belum pudar makna di masa Orde Baru. Pemberi kelanjutan makna adalah pemikir mumpuni bernama Nurcholis Madjid. Pada saat bocah, ia ingin menjadi masinis. Mata si bocah takjub melihat kereta api melintas, mengamati lokomotif menarik gerbong-gerbong. Di situ, masinis memiliki peran penting di perjalanan agar lancar dan selamat. Cita-cita jadi masinis mungkin “sepele”. Nurcholis Madjid terbukti gagal menjadi masinis. Ia pantang kecewa, menangis, dan malu.

Kita membuka buku berjudul Cak Nur, Sang Guru Bangsa (2014) susunan Muhammad Wahyuni Nafis. Nurcholis Madjid atau Cak Nur (1939-2005) memiliki biografi kesederhanaan berlatar pesantren menuju kebesaran dalam pemikiran Islam dan kebangsaan. Biografi Cak Nur tak meninggalkan keinginan masa kecil menjadi masinis. Pada saat dewasa, ia tetap menggandrungi kereta api. Di sela menunaikan pelbagai hal-hal penting dan besar, Cak Nur memiliki jeda dengan mainan kereta api. Cak Nur tak cuma bermain tapi menguatkan pemaknaan peran diri sebagai “masinis” atau penanggung jawab di lokomotif. Tugas pokok adalah membuat lokomotif dan gerbong tetap bergerak tanpa melenceng.

Baca juga:  Thomas Jefferson, Alquran, dan Pembentukan Amerika Serikat

Di buku tebal dan besar, kita membaca keterangan dari istri Cak Nur. Pada saat Cak Nur sudah menjadi “lokomotif” pemikiran Islam dan kebangsaan, ia tetap menuruti hasrat bermain kereta api: “Cak Nur mempunyai sebuah kamar khusus untuk bermain kereta api listriknya. Di kamar tersebut, Cak Nur membangun stasiun-stasiun dan mendesain pertemuan antar rel yang dilengkapi dengan sinyal, lampu, dan bel. Semua komponen perkeretaapian tersebut dirancang dan didesain oleh Cak Nur sendiri di atas papan seluas 4 meter x 2,5 meter. Cita-cita yang diwujudkan melalui mainan tersebut merupakan salah satu hiburan utamanya ketika Cak Nur mulai lelah menulis dan berpikir atau mencari berbagai inspirasi.” Kita mengerti bahwa pemikiran-pemikiran Cak Nur memang melaju seperti “kereta api”, bergerak jauh dan berdampak ke segala arah. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top