“Terakhir”, sebutan kadang memicu sedih dan kenangan. Azyumardi Azra mungkin memberi tulisan terakhir berjudul “Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara”. Tulisan dimuat di Kompas, 19 September 2022. Pihak redaksi Kompas memberi keterangan bahwa tulisan itu dipersiapkan untuk Persidangan Antarbangsa bertema Kosmopolitan Islam di Kajang, Malaysia, 17 September 2022. Azra seperti memberi salam terakhir dengan tulisan. Ia pamitan dari kita dan dunia, 18 September 2022.
Kita mengenang dengan tulisan “terakhir”. Di situ, Azra mengingatkan: “Banyak anak kaum Muslim tidak mendapatkan pendidikan yang membuat mereka tak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban dunia.” Sejak puluhan tahun lalu, Azra serius memikirkan masalah pendidikan (Islam). Ia memang menekuni sejarah tapi berkesadaran besar dalam pemajuan pendidikan.
Tulisan “terakhir” itu bakal menjadi acuan bagi kita dalam pembuktian pengabdian Azra dalam keintelektualan dan gerakan demi peradaban. Kita belum mengetahui belum mengetahui buku “terakhir” dibaca oleh Azra. Di artikel, Azra mencantumkan sekian judul buku dan penulis. Kita memiliki petunjuk daftar bacaan Azra dalam menulis artikel atau berbicara dalam seminar-seminar. Kita membaca judul buku Fareed Zakaria: The Post American World (2008). Buku itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kita bisa turut membaca untuk turut mengetahui nasib dunia.
Azra itu pembaca buku, sejak bocah sampai tua. Kita beruntung mendapatkan pengisahan masa bocah Azra kecanduan buku. Kini, kita mengenang babak awal saja saat Azra bergelimang bacaan. Azra (2004) mengenang amak selaku penuntun untuk menggandrungi buku: “Sebagai guru, amak memiliki sejumlah buku yang jumlahnya tidak banyak yang terdiri atas buku-buku agama yang digunakannya untuk mengajar….”
Di koleksi amak, Azra pun menemukan buku-buku sastra terbitan masa 1920-an dan 1930-an. Pada saat bocah, ia mengakut terpikat sastra. Ia menikmati beragam cerita. Koleksi buku di rumah tak mencukupi, Azra menjadi pengunjung dan peminjam di kedai buku sewaan. Ia tak mau hidup sia-sia. Buku-buku menjadi santapan harian agar bergairah dalam pengetahuan.
Pada saat dewasa, Azra makin keranjingan buku. Ia bercerita: “Buku bagi saya adalah teman setia, yang selalu mendampingi atau ikut bersama saya di rumah, dan di perjalanan. Dan ketika di perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, mencari dan membeli buku selalu menjadi agenda penting, yang selalu diusahakan untuk memenuhinya. Waktu kembali ke rumah, koper dan tas saya hampir selalu dipenuhi buku-buku dan bisa dipastikan koleksi buku saya selalu bertambah.” Kita tentu memuji meski iri. Orang lumrah iri bila mengandaikan sebagai sosok sering berkunjung ke pelbagai kota dan negara dengan misi berjumpa buku-buku. Pulang ke rumah dengan buku-buku itu bahagia.
Kita mengangguk kagum dengan keterangan Azra: “Koleksi buku di perpustakaan pribadi saya sekarang ini berkisar antara 12.000 sampai 15.000 judul. Saya sulit mengetahui jumlah pastinya karena tidak ada catatan judul-judul buku itu, apalagi katalog.” Kita menduga Azra tak mau sibuk mengurusi buku. Ia memilih menjadi pembaca buku. Ia sadar faedah buku-buku untuk membuat tulisan. Urusan merapikan atau membuat katalog buku itu “melelahkan” bagi orang keranjingan membaca dan menulis.
Azra mencipta rumah-buku. Di situ, ia menghasilkan buku-buku terbaca publik. Kita takjub dengan rumah-buku: “Sekitar dua perempat koleksi buku saya terdapat di lantai dua, memenuhi ruang tengah dan kamar besar lainnya. Buku-buku di ruang tengah umumnya buku-buku yang paling sering digunakan untuk rujukan sehari-hari, sedangkan di kamar besar sebagian besar adalah buku-buku klasik dalam berbagai bidang, dan kumpulan makalah dan sumber-sumber lain yang tidak diterbitkan.”
Kita mencatat perjalanan ia bersama buku dimulai dari kampung halaman (Lubuk Alung, Sumatra Barat), berlanjut ke Padang, dan menguat saat ia menjadi mahasiswa dan mengajar di UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta). Biografi Azra, biografi buku. Kita tak boleh cemburu.
Di buku berjudul Cerita Azra (2011) garapan Andina Dwifatma kita diminta mengenang masa lalu Azra dan buku itu bukan gara-gara kemanjaan di keluarga berada. Ia hidup dalam keluarga miskin. Azra harus bersiasat untuk bisa membeli buku atau membaca buku. Di situ, kita disuguhi ingatan masa remaja Azra bekerja serabutan demi mendapat uang. Azra bekerja dengan menjahit tas, sepatu, dan pakaian. Ia pun menjadi tukang cat mobil, bus, dan truk.
Pengisahan: “Itu semua dilakukan agar ia punya cukup uang untuk memuaskan hobinya, yakni membaca dan menonton film. Empat atau lima kali seminggu, ia pergi menonton film di Bioskop Raya yang karcisnya Rp 50 sekali masuk. Kesukaannya adalah film-film India, James Bond si agen rahasia, dan sekali-kali film Indonesia.” Duit tak habis cuma untuk menonton film.
Kita lanjutkan: “Azra juga biasa nongkrong di kios-kios penyewaan buku komik dan novel yang terletak di sebelah kiri Bioskop Raya. Ia biasa nongkrong seharian di kios-kios tersebut, asyik membaca novel, kumpulan puisi, cerpen, dan komik. Kesukaannya adalah cerita silat Kho Ping Hoo dan James Bond.” Kita berimajinasi ia sebagai remaja bergairah hidup: sadar hiburan dan takjub buku. Pada masa dewasa, ia bergelimang buku.
Babak menambah koleksi buku makin seru saat Azra kuliah dan melakukan penelitian di pelbagai negara. Ia selalu membeli buku. Ia sadar perhitungan anggaran. Azra pun kadang menjadi manusia beruntung dengan buku-buku. Ia bersukacita selama di New York. Kita ikut tergoda: “New York City punya banyak toko buku yang menjual used books atau reviewer copies seperti Strand Bookstore, Barnes & Noble, dan toko-toko buku lainnya, yang menjual buku-buku baru dan lama dengan harga sangat murah, antara setengah dolar sampai sekitar tujuh dolar.” Ia sering berada di tempat-tempat pantas disebut “surga buku”.
Azra mungkin tak memiliki rem untuk berhenti membeli buku. Ia tetap saja mengebut demi pengetahuan dan menghasilkan tulisan-tulisan berhikmah untuk publik. Ia sadar dengan kecanduhan buku sulit berakhir. Azra (2003) menerangkan: “Dengan penambahan koleksi secara terus-menerus bisa dibayangkan hampir seluruh ruangan di rumah saya – kecuali ruang tengah di lantai satu dan kamar-kamar tidur – dipenuhi lemari buku. Saya beruntung punya istri yang tidak pernah mengeluh bahwa rumah kami dipenuhi buku, ia juga tidak mengeluh karena saya terus-menerus menambah koleksi buku saya, khususnya ketika pulang dari luar negeri.” Terpujilah istri! Kita wajib memuji istri memiliki pengertian atas misi hidup Azra bergelimang buku.
Kita mungkin ingin meniru tapi “mustahil”. Azra itu “manusia pilihan” dalam ketekunan membaca buku. Pada suatu masa, ia membuktikan kesungguhan membaca buku dan studi dengan disertasi mengenai jaringan ulama. Disertasi sering dipuji kaum intelektual di pelbagai negara, tak cuma di Indonesia. Ia pun rajin membuat artikel-artikel untuk pembaca koran dan majalah, tak cuma meladeni kaum akademik saja.
Di buku berjudul Penghargaan Kompas: Cendekiawan Berdedikasi 2008-2016 dengan editor St Sularto, kita membaca sosok Azra. Di situ, kita membaca sikap dan kemauan. Azra memilih di kampus untuk pengabdian keintelektualan: “Dunia kampus adalah dunia yang sepi, soliter, bukan dunia riuh-rendah.” Di situ, ia memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai intelektual ketimbang turut dalam keramaian politik. Di kampus, ia juga menaruh koleksi buku. Ia tak berpisah dari buku-buku.
Azra, sosok sering dalam perjalanan ke pelbagai kota dan negara. “Waktu saya malah lebih banyak di perjalanan,” penjelasan Azra. Ia pun menempuhi perjalanan jauh di halaman-halaman buku. Ia menikmati semua perjalanan. Selama puluhan tahun dengan perjalanan, Azra menghasilkan buku-buku. Kita sebagai ahli waris berhak membaca untuk menghasilkan kesan atau menanggapi dengan tulisan-tulisan. Begitu.