Sedang Membaca
PAUD dan Pendidikan Karakter
Ayid Suyitno PS
Penulis Kolom

Penyair, Lulusan IKIP Jakarta 1983, Mantan Guru dan Wartawan.

PAUD dan Pendidikan Karakter

NU dan Anak-anak Kita
PAUD alias Pendidikan Anak Usia Dini, kini jadi bagian penting dalam hidup kehidupan kita. Sepertinya orangtua ketinggalan zaman jika tidak ‘menyekolahkan’ anaknya ke PAUD. Wajar jika anak usia 3 (tiga) tahun sering kita lihat di pagi hari sudah menenteng tas untuk ke ‘sekolah’.

Asyiknya, para bocah ini tidak merasa ‘tertekan’ untuk melakukan itu. Mereka tampak enjoy untuk bergabung dengan anak lain satu kompleks atau lingkungan, kemudian berangkat bersama — tentu saja, ada orangtua dan walinya — ke tempat yang dituju. Ke Lembaga pendidikan yang bernama PAUD atau Taman Kanak-kanak (Raudhatul Afhtal) di mana mereka tergabung.

Sepintas kita melihat ada ‘pemaksaan’: Kok anak sekecil itu sudah disekolahkan atau oleh orangtuanya harus bersekolah? Apa karena orangtua mau enaknya saja, sehingga menyerahkan tanggung jawabnya mendidik kepada pihak lain? Sementara itu, pihak lain (lingkungan sekolah) mau saja karena ada unsur materi di dalamnya!

 

Faktanya, itu terjadi dengan begitu saja. Memang berdasar keinginan dan lingkungan anak itu, sehingga kegiatan ini tidak menjadi beban. Segalanya mengalir dengan sendirinya.

 

Secara teori disebutkan pada hakekatnya masa kanak-kanak merupakan suatu masa yang paling penting. Memiliki kaitan berpilin dengan perkembangan hidup seorang anak manusia di masa mendatang.

Baca juga:  Fikih Peradaban dan Nalar Politik NU untuk Kemanusiaan

 

Demikian pula, terdapat kesepakatan di antara para ahli pendidikan dan psikologi. Bahwa perkembangan dan pengalaman individu di masa kanak-kanaknya memang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan kepribadiannya pada masa dewasa.

Banyak ahli pendidikan dan psikologi yang mengemukakan hal ini, antara lain Sigmund Freud. Menurut lelaki asal Austria ini setiap pola sikap manusia dibentuk dan ditentukan pada masa kanak-kanaknya.

Berbagai pendapat ini pada akhirnya memang mengarahkan pada apa yang dalam teori perkembangan anak disebut Konvergensi. Yaitu suatu teori yang dikemukakan William Stern. Di mana baik pembawaan maupun pengalaman (lingkungan) mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan individu. Jadi, perkembangan itu ditentukan oleh faktor pembawaan maupun oleh faktor pengalaman (lingkungan).

Di Indonesia teori ini sejalan dengan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan kita.

“Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu pendidikan ditetapkan adanya ‘konvergensi’ yang berarti keduanya saling mempengaruhi hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan dalam tumbuhnya tanam-tanaman. Misalnya kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik banyak airnya dan dapat sinar matahari, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu menambah baiknya tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan sedangkan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka jagung itu walaupun dasarnya baik, tak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan.

Baca juga:  Manuk

Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya akan tetap ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji yang lain-lainnya yang juga tidak baik dasarnya.”

Di sini, Pendidikan Karakter berperan. Guru sebagai ‘pelaksana inti’ dari porsi ini di sekolah sudah sewajarnya punya pegangan untuk menanamkan dasar-dasar kehidupan yang baik. Untuk memperkuat apa yang ditanamkan orangtuanya sejak masih dalam kandungan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top