Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki corak budayanya masing-masing, bahkan ciri khas dari beragam budaya yang ada di Indonesia telah menjadi penanda daerahnya masing-masing agar mudah untuk dikenal oleh orang luar daerahnya. Fenomena tersebut juga terjadi di Gunungkidul. Selain identik dengan pantai, wisata alam lainnya, ataupun identik dengan makanannya khas, seperti walang goreng dan thiwul, Gunungkidul dari segi budaya memiliki ciri khas tersendiri tak kalah menarik dengan budaya dari daerah lain, yakni budaya rasulan.
Rasulan sendiri telah menjadi hari besar ke-3 setelah dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Budaya ini lahir dilatarbelakangi dari rasa sukur petani di Gunungkidul, karena telah diberi panen yang melimpah, terhindar dari berbagai hama, dan meminta agar dijauhkan dari mara bahaya dan gagal panen di tahun berikutnya. Mengingat mayoritas dari masyarakat Gunungkidul adalah petani, dengan menggunakan sistem pengairan tadah hujan, dikarenakan sulit untuk mendapatkan air untuk kebutuhan irigasi sawah mereka.
Dalam pelaksanaannya, budaya rasulan merupakan kegiatan tahunan yang hanya dilakukan satu tahun sekali setelah panen terakhir, apabila tanggal pelaksanaan rasulan satu desa dengan desa lainnya berdekatan, maka akan menjadi acara berantai yang sangat ramai, dikarenakan banyaknya hiburan yang diadakan, bahkan di beberapa desa telah mengadakan berbagai macam hiburan mulai dari H-7 sebelum acara inti.
Pada zaman dahulu rasulan dilaksanakan dengan membawa uborampe atau berbagai perlengkapannya seperti sesajen, berbagai hasil bumi, dan jenis makanan ke suatu tempat yang disakralkan di desa tersebut. Masyarakat mempercayai tempat tersebut sebagai tempat tingal penunggu desa atau dusun, yang biasa disebut dengan dayang.
Selain itu, kegiatan rasulan tidak bisa dilakukan di hari-hari biasa. Melainkan harus dilakukan di hari yang sama dimana kegiatan rasulan pertama kali dilakukan di desa atau dusun itu, jadi setiap desa telah memiliki hari pelaksanaannya masing-masing. Masyarakat percaya, dengan melakukan tradisi rasulan tersebut dapat menjauhkan mereka dari gagal panen dan mara bahaya lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai Islam yang mulai dikenal oleh masyarakat, dengan perlahan-lahan budaya rasulan mengalami perubahan dalam pelaksanaannya, dan Islam memberikan corak baru, tanpa mengurangi kesakralan dan menghilangkan tujuan dari budaya tersebut.
Perubahan budaya tersebut benar-benar dapat dirasakan, pada era sebelumnya masyarakat cenderung melakukan kegiatan rasulan sebagai bentuk meminta keselamatan dan lain sebagainya kepada dayang atau penunggu desa dengan memberikan berbagai sesajen dan lain sebagainya, pada hari yang telah dikhususkan.
Setelah mengenal nilai-nilai Islam, sesaji tersebut bergati menjadi sedekah/sodaqoh yang dikeluarkan oleh warga sekitar, baik secara perorangan ataupun secara kolektif setiap RT, dengan sistem iuran untuk dibelikan berbagai keperluan, kemudian dimasak secara bersama-sama (sambatan), selanjutnya makanan tersebut dibawa ke Balai Desa, dan dibagi setelah melalui berbagai rangkaian acara dan doa bersama meminta perlindungan dkepada Allah dari berbagi mara bahaya dan sebagainya.
Dengan sedekah tersebut masyarakat bersyukur kehadirat Allah Swt, karena telah diberikan panen yang berlimpah dan terhindar dari mara bahaya, sekaligus berharap dengan sedekah yang diberikan tersebut dapat memberikan kelancaran pada pertanian pada tahun yang akan datang.
Selain mengeluarkan makanan untuk acara inti di Balai Desa, warga masyarakat mengadakan sedekah dalam bentuk open house, mengundang saudara atau teman dan menyajikan berbagai macam makanan untuk sekadar berbagi rasa dan disantap bersama, selain itu mereka juga mengirimkan makanan tersebut ke rumah sanak saudara.
Dalam proses pengharmonisasian kedua hal tersebut bukanlah perkara yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama, hal tersebut dibuktikan dengan munculnya kelompok Islam yang memiliki pemahaman konservatif, yang menganggap budaya rasulan bertentangan dengan syari’at, bid’ah, dan lain sebagainya di beberapa daerah.
Walaupun begitu, upaya pengharmonisasian yang dilakukan mulai memberikan pencerahan dan perubahan, pemberian sesaji untuk meminta keselamatan kepada makhluk gaib perlahan-lahan mulai berkurang, walaupun masih ada beberapa warga di berbagai daerah yang dikategorikan sebagai penganut Islam kejawen yang tetap melakukan hal tersebut.
Kepercayaan masyarakat akan sedekah yang dilakukan dalam budaya rasulan dapat menolak mara bahaya, gagal panen dan lain sebagainya, dogma atau kepercayaan tersebut bisa begitu lekat dibenak masyarakat dipengaruhi oleh faktor pengalaman yang telah lampau. Fadhilah atau keutamaan dari sedekah sendiri dalam Islam ada banyak, salah satunya menolak berbagai macam mara bahaya yang mengancam atau merugikan kita, keutamaan tersebut dapat kita lihat dalam hadis nabi sebagai berikut:
صَنَا ئعُ الْمَعْرُوْفِ تَقِيْ مَصَا رِعَ ألسُوْءِ وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضُبَ الرَّبِّ (رواه الطبرا ني)
Artinya : “ perbuatan-perbuatan baik akan melindungi kita dari berbagai keburukan dan sedekah yang dilakukan sembunyi-sembuyi akan menghindarkan kita dari siksa tuhan”. (HR Ath-thabroni).
Selain nilai hablum minallah yang sangat kental sebagaimana terkandung dalam tradisi rasulan, nilai-nilai hablum minannas atau hubungan sesama manusia sangat erat sekali, semua masyarat merasa memiliki warisan budaya ini dan mau saling bahu membahu untuk menjaga kelestariannya. Dan dalam kegiatan tersebut sangat menjunjung toleransi dan moderasi beragama, menginggat rasulan sendiri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja, masyarakat yang memiliki kepercayaan lain tetap melaksanakan sesuai dengan keyakinannya.
Mereka menyadari bahwa rasulan merupakan warisan budaya bagi seluruh warga masyarakat Gunungkidul. maka dari itu, semuanya memiliki kewajiban dan peran yang sama, agama tidak menjadi satir yang nyata di dalam melestarikan, merawat, dan mengenalkan budaya rasulan kepada generasi selanjutnya tanpa menghilangkan makna filosofis dan tujuannya, namun menjadi warna tersendiri bagi budaya rasulan.