Setiap memasuki bulan Rabi’ul Awwal, instansi pemerintah, ormas Islam, pesantren, masjid, musala, institusi pendidikan dan majlis taklim banyak yang melakukan peringatan maulid nabi Saw. Sebagai tradisi yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, maulid nabi biasanya memang dilaksanakan berbarengan dengan kegiatan lainnya di masyarakat seperti ceramah agama ataupun kegiatan kemasyarakatan lainnya dengan harapan mereka mengharapkan berkah dari membaca shalawat serta mengagungkan terhadap eksistensi nabi Muhammad SAW di dunia ini. Akan tetapi, masihkah tradisi sholawatan tersebut akan dilaksanakan di tengah wabah yang masih tidak kunjung usai hingga detik ini?
Selain memaparkan tentang fadilah sholawat dan macam-macamnya, Umi Azizah Khalil, penulis buku ini, juga mengulas tentang kemasan-kemasan maulid nabi dalam tradisi yang sudah biasa dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat di seluruh negara Indonesia untuk rangka memperingati maulid nabi ini. Salah satu tradisi yang dikemukakan dalam buku ini ialah meuripe, tradisi patungan warga Banda Aceh, grebek maulid, tradisi kesultanan Yogyakarta, Sebar Udikan, tradisi masyarakat Madiun, Keresan, tradisi masyarakat Mojokerto, Festival Endhog-endhogan, tradisi masyarakat Banyuwangi, Maulid Nabi di Karst Rammang-rammang, Maros, Sulawesi Selatan.
Di antara berbagai macam sholawat, ada satu sholawat yang diciptakan oleh ulama’ asal Indonesia yaitu sholawat Badar. Dalam sejarahnya, sholawat ini disusun oleh KH. Ali Manshur, seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq dari Jember. Terciptanya sholawat ini lantaran keresahan kiai Ali Manshur saat memikirkan pergoalakan politik di Indonesia sekitar tahun 1960-an. Dimana saat itu telah terjadi pemberontakan oleh PKI. Dalam pemberontakan itu, banyak kiai dan ulama’ yang menjadi sasaran teror. Hingga sholawat badar kerap dilantunkan oleh kaum muslimin jika hendak memulai pengajian, atau acara keagamaan lainnya. (hal. 63)
Sedangkan, orang yang pertama kali memperjuangkan pencipta sholawat badar untuk diakui oleh publik adalah KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Saat itu, Gus Dur khawatir sholawat badar akan diambil dan diakui oleh orang luar. Gur Dur meminta kiai Syakir untuk membawakan data penguat bila kiai Ali yang memang penulis sholawat badar ke Jakarta. Menurut pengakuan kiai Syakir, sholawat badar meledak dan dipopulerkan ke berbagai wilayah untuk menandingi lagu himne PKI “genjer-genjer”. Bila meilhat isi sholawatnya, maka tidak bisa lepas pada kondisi zaman saat itu. Banyak rakyat yang susah mencari makan karena perang sesama anak bangsa. (hal. 67)
Selain itu, buku ini juga diselingi dengan kisah-kisah dari orang-orang yang mengamalkan sholawat. Dari kalangan konglomerat, pedagang, hingga pelajar bahkan kalangan masyarakat awampun masih meyakininya. Mereka melegitimasi bahwa mengamalkan sholawat dalam hidupnya menjadi kunci kesusksesan dan keberkahan dalam hidupnya. Salah satu kisah yang dikutip dalam buku ini adalah kisah seorang nenek tua penjual bunga cempaka yang rajin bersholawat.
Nenek tersebut berasal dari salah satu kota di pulau Madura. Setelah berjualan di pasar, ia pergi ke masjid untuk shalat dan usai melaksanakan shalat ia memungut dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Sambil memungut dedaunan di halaman masjid, ia bacakan shalawat. Nenek tua tersebut memang mengakui bahwa dirinya adalah orang bodoh dan tidak akan mungkin mendapatkan syafaat di akhirat kelak tanpa pertolongan syafaat dari nabi Muhammad SAW. “Kelak jika saya mati, saya ingin kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya” (hal. 141). Dari kisah tersebut, dapat diambil hikmah bahwa hanya orang-orang yang tergerak hati nuraninya untuk senantiasa bersholawat dan bisa mengagungkan Nabi Muhammad yang tidak dalam bentuk pengalaman dibacakan saja, tetapi telah terserap ke dalam hati nurani. Wallahu a’lam.
Judul : Shollu ‘alan Nabi
Penulis : Umi Azizah Khalil
Penerbit : Araska Publisher
Cetakan : 2020
Tebal : 232 halaman
ISBN : 978-623-7537-36-6