Sedang Membaca
Dewi Praswida, Paus Fransiskus, dan Pengalamannya Belajar Moderasi

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Dewi Praswida, Paus Fransiskus, dan Pengalamannya Belajar Moderasi

Dewi Praswida

Nama Dewi Kartika Maharani Praswida atau yang lebih akrab dengan nama Dewi Praswida, bagi sebagian pembaca  Alif.id sudah tidak asing lagi. Tahun 2019, fotonya viral lantaran tengah bersalaman dengan Paus Fransiskus di St Peter Square Vatikan Roma. Sebagai seorang muslim yang berjilbab— mungkin satu-satunya pada waktu itu—bertemu Paus di tengah kerumunan umat Katolik adalah pengalaman yang tak terbayangkan sebelumnya.

Dewi
Dewi Praswida saat bersalaman dengan Paus dan menyampaikan supaya didoakan untuk dirinya dan Indonesia.

5 tahun telah berlalu. Nama Dewi kemudian muncul lagi disaat penulis mendengarkan ceramah Alissa Wahid di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang. Di hadapan santriwati, Mbak Alissa—saya memanggilnya, memensyen nama Dewi. Mengenalkan kepada hadirat/santriwati, bahwa ada seorang santri perempuan yang telah mendunia, yang pada waktu itu (tahun 2019), banyak media dan publik membicarakan namanya.

Bisa dicoba, pembaca boleh iseng-iseng menggugling nama “Dewi Praswida”. Nanti akan muncul beragam pemberitaan tentang sosoknya. Bahkan sempat juga diundang di acara Hitam Putih. Di sana, Dewi bercerita tentang pengalamannya selama 5 bulan di Vatikan. Ada momen-momen menarik saat beribadah, terutama pengalamannya berpuasa di bulan suci Ramadan dan saat lebaran. Sesuatu yang indah.

Bertemunya Dewi dengan Paus adalah sebuah keberkahan. Nama Dewi lebih dikenal, baik melalui tulisan di media, maupun diminta secara khusus menjadi narasumber pada sebuah acara yang membicarakan moderasi dan keberagaman.

Termasuk saat kedatangan Paus ke Indonesia pada bulan September yang lalu. Ia menjadi salah satu narasumber yang diundang oleh program Rosi Kompas TV. Apa yang disampaikannya waktu itu adalah menarik menurut saya. Ketertarikannya belajar agama samawi adalah sebagai upaya ia mencari kesamaan, titik temu, bukan untuk memperuncing hubungan. Sekaligus juga bisa mendialogkan titik perjumpaan antara agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan Islam, kepada masyarakat yang lebih luas.

Baca juga:  PPKM dan Curhatan Pria Pemilik Warung Penyetan

Saya pun tertarik menuliskan sosok Dewi dengan gerakan moderasi yang ia bangun dan pengalamannya dalam bersinggungan dengan berbagai kelompok agama yang berbeda. Termasuk pengalamannya dalam berkomunitas dan berkuliah di kampus Katolik.

Dewi bercerita kalau titik awal ia belajar tentang moderasi dan keberagaman adalah dari yang terdekat, yakni keluarga. “Saya lahir, tumbuh, dan berkembang di keluarga yang cukup beragam. Sehingga, disadari atau tidak, praktik moderasi beragama telah dipahami dan dilakukan sehari-hari,”ujarnya.

Dewi lalu menambahkan bahwa di lingkungan kakek neneknya yang dari ibu itu sangat kental dengan kejawen, namun di lingkungan keluarga bapaknya kental dengan islamis. Bahkan ada yang berbeda agama. “Adek kandung nenekku dari ibu itu Katolik, ada juga sodara dekat yang Protestan, Buddhis, pun yang islam juga macem-macem, ada NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya”, tambahnya.

Diakui atau tidak, keluarga adalah pondasi awal dari seorang mengenal agama, melihat sesuatu benar-salah, haram-halal, sesat dan lurus, adalah dari kacamata bagaimana keluarga kita mengajarkan. Saya jadi teringat bagaimana dulu waktu saya kecil ayah saya mendoktrin supaya kalau salat harus memakai peci/kopyah. Jika tidak memakai peci, maka disamakan dengan ormas islam tertentu. Kalau sudah sama dengan ormas islam tertentu itu maka sudah melenceng atau menyimpang dari ajaran ormas yang dianut oleh ayah saya.

Hal sepele, hanya karena peci, tetapi tafsirannya bisa bermacam-macam. Karena dulu waktu saya masih kecil, ya manut saja, apa kata orang tua. Hal itu pun, menurut hemat saya tidak jauh berbeda dengan orang tua saat ini. Bagaimana caranya melakukan pengenalan kepada ‘saya’ dan ‘lian’. Saya sebagai kelompok yang benar, dan lian sebagai kelompok yang salah dan jangan diikuti ajarannya.

Baca juga:  PCINU Sudan Rayakan Maulid Nabi Bersama Syaikh Idris Abu Qurun

Padahal dalam buku saku Tanya Jawab Moderasi Beragama (2019), bahwa orang moderat harus berada di tengah. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tetapi juga tidak berlebihan meyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan akal atau nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal hingga mengabaikan teks. Poinnya adalah di tengah dan memanusiakan manusia.

Dewi pun kemudian bercerita bagaimana dulunya ia tumbuh hingga bisa terjun sebagai aktivis keberagaman. “Semakin bertumbuh dewasa pada masa-masa sekolah hingga kuliah saya semakin mengenal yang lebih beragam. Misalnya, pada saat kecil, saya hanya tahu ada NU dan Muhammadiyah, semakin dewasa ternyata kelompok-kelompok islam jauh lebih beragam. Begitu pula, dulu saya hanya tahunya Katolik dan Kristen Protestan: GKI dan GKJ. Ternyata mereka lebih beragam, ”terangnya.

Keberagaman itulah yang tidak bisa kita pungkiri. Tidak bisa kita tolak. Karena sunnatullah dari keberagaman DNA-nya memang begitu, dibuat macam-macam. Tidak seragam.

Sebelum ke Vatikan-Roma, Dewi merupakan salah satu penggerak di komunitas GUSDURian Semarang dan Persaudaraan Lintas Agama Semarang (PELITA). Perjumpaannya dengan berbagai tokoh lintas agama dan keyakinan di dua komunitas itulah yang menjadikan dia bisa memahami tentang arti perbedaan dan mengenal titik persamaan. Dengan berkomunitas, menjadikannya mampu beragama secara dewasa.

Tidak hanya itu, Dewi juga melanjutkan sekolah di Pascasarjana Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, dan sebelumnya kuliah S1 di UNNES Semarang. Bahkan ketika Dewi menyelesaikan studinya di UNIKA yang notabene kampus Katolik, ia justru mendapati banyak mahasiswa muslim yang sekolah di sana.

Baca juga:  Presidensi G-20, Indonesia Perlu Orkestrasi Seluruh Potensi Bangsa

“Saat saya kuliah program pascasarjana di UNIKA Soegijapranata Semarang, ternyata tidak sedikit mahasiswanya yang lulusan dari UIN Walisongo Semarang. Dari situ, saya bergumam bahwa selain inklusif di dalam, mereka juga berani inklusif di luar, mereka tidak masalah untuk menuntut ilmu di Universitas Katolik,”ujarnya.

Bagi Dewi, bergaul dengan teman-teman di luar kampusnya, terutama yang dari UIN, berdasarkan interaksinya selama ini, bahwa anak yang notabene sebagai Universitas Islam di bawah naungan pemerintah telah mengimplementasikan moderasi beragama.

“Kampusnya boleh kampus islam, tetapi semua warga negara boleh belajar di sana meski yang tidak menganut agama islam. Anak-anak UIN juga tidak jarang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan baik dalam level lokal hingga nasional,”jelas Dewi.

Apa yang disampaikan diperkuliahan oleh para dosen tidak hanya sekadar teori, namun juga diterapkan dalam proses studi. Pandangan Dewi dalam melihat para civitas UIN Walisongo adalah fakta yang semakin mempertebal pengaruh baik kampus di bawah naungan PTKI Kemenag dalam program moderasinnya itu.

Lutfi Rahman, Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo, juga pernah menjawab bahwa materi kuliah atau Rencana Pembelajaran di UIN Walisongo sarat dengan nilai-nilai moderasi. Tidak hanya pembelajaran, tetapi juga penelitian dosen dan juga tema KKN mahasiswa, yakni selalu terkait dengan kampanye moderasi.

Presiden atau pemimpin boleh berganti, tetapi nilai-nilai dalam moderasi harus terus terpatri di dalam hati untuk kedamaian negeri.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top