Minggu kemarin, saya sempat menghadiri satu majlis ilmu dengan salah satu Syekh yang beraliran Maturidian. Mengkaji salah satu kitab yang dinisbatkan pengarangnya kepada Imam Abu Hanifah, berjudul Risalah al ‘Alim wa al Mutaallim. Di tengah-tengah kajian, kita mendapati lafadz al-‘Adl (العدل) dan al-Jaur (الجور). Beliau menjelaskan bahwa di kitab ini, banyak lafadz-lafadz yang belum mengalami perkembangan. Dengan kata lain, jika lafadz tersebut dimaknai dengan makna yang sekarang, maka akan rusak susunan kalimat tersebut. Contohnya lafadz ‘Adl masih memakai makna al ‘Aqoid as sohihah (العقائد الصحيحة) dan Jaur bermakna al Bid’ah (البدعة).
Perkembangan bahasa memang berjalan seiring dengan berkembangnya manusia. Manusia sendiri berkembang karena beberapa faktor, di antaranya lingkunganya dia hidup. Bisa jadi, makna itu berubah karena sebuah desakan, yang jika tidak diubah akan berakibat fatal. Untuk itu kita tidak bisa mengelak dengan perubahan makna pada suatu bahasa.
Namun fakta di atas tidak bisa saya amini pun tidak kutolak sepenuhnya. Karena dalam beberapa kasus yang saya temukan, ternyata bahasa bisa dikompromikan sebagaimana konsep al-Jam’u dalam Ushul Fiqh.
Besoknya lagi, ketika membaca karya Ulumul Qur’an karya Syekh Nurudin ‘Itr bersama teman sejawatku, saya menemukan satu kejanggalan yang mirip dengan kasus di atas. Lebih tepatnya saat membahas bab tafsir dan takwil serta pembagianya.
Yang membuatku janggal pada waktu itu adalah fakta bahwa Imam Thabari memakai kata takwil sebagai tafsir, dengan bukti bahwa dalam memulai kitabnya, biasanya beliau akan memulai dengan kata wa ta’wilu ayati kadza …..(وتأويل ايات كذا). Bukti ini pun sebenarnya masih belum kuat, karena kita tidak pernah tahu apakah yang dimaksud dengan diksi takwilnya itu. Tetapi yang jelas kitab itu masyhur dengan nama Tafsir At-Thabari.
Imam Thabari lahir di era salaf, sekitar 224-310 beraliran Sunni. Di era itu juga gejolak politik ideologi sudah memulai panas. Banyak dari mereka yang saling mengklaim kebenaran. Namun sayangnya kebenaran yang dihasilkan tidaklah murni untuk sebuah misi di jalan Allah swt. Alih-alih benar, banyak “kebenaran” yang pada ujungnya diselimuti oleh kebatilan.
Melihat sosio-politik tersebut, tentunya dalam ranah tafsir, banyak dari mereka yang serampangan dalam menafsiri ayat al-Qur’an, terlepas dari niat baik mereka. Dari situlah muncul beberapa term-term seperti ta’thil, tajsim, tasybih, takwil, dan tafwidl. Sehingga, sudah seharusnya Imam Thabari yang lahir di era itu berhati-hati dalam memakai diksi yang murodif (sinonim) sebagaimana takwil dan tafsir itu. Karena dikhawatirkan akan salah paham bagi orang yang belum mencermati era di masa hidupnya?
Tetapi fakta tidak bisa berbohong. Imam Thabari justru tetap menggunakan diksi takwil dalam tafsirnya itu. Dengan fakta ini, kemungkinan beliau sedang menunjukan bahwa gejolak perdebatan yang sengit antar mazhab belum sekrusial pada kurun setelahnya. Yang pada akhirnya beliau tetap memilih menggunakan diksi takwil, tanpa peduli takwil di situ dipahami sebagai antitesis dari tafwidl.
Kemudian kenapa saya tetap mempermasalahkan diksi yang sudah dipakai Imam Thabari itu? Ketika fakta sejarah sudah membantu menjawabnya. Yakni gejolak politiknya masih stabil.
Jawabannya singkat. Saya tidak bisa menerima bahwa takwil dipakai, karena tidak bermasalah dengan sosio-politik pada waktu itu. Karena sudah barang tentu di era itu sosio-politik dan perdebatan sengit mencapai puncaknya. Dan dengan Atmosfer seperti itu (gejolak politik) seharusnya “takwil” dipahami sebagai konsep klarifikasi, di mana ia dibutuhkan saat ada orang-orang yang salah kaprah dalam memahami suatu ayat dalam al-Qur’an.
Namun di sisi lain, justru saya berfikir bahwa Imam Thabari ketika memilih diksi itu adalah karena kesadaranya akan klasifikasi tafsir yang oleh Ibn Abbas dibagi menjadi empat macam.
Pertama, tafsir yang dikembalikan ke Bahasa Arab. Model tafsir ini mengarah pada fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab. Oleh karenanya ada beberapa ayat yang hanya bisa dikembalikan ke Bahasa Arab saja.
Kedua, tafsir yang dapat dipahami secara dlaruri, artinya tanpa bantuan apapun sebagai orang islam kita pasti memahami maksud ayat tersebut.
Ketiga, tafsir yang hanya bisa diperuntukkan bagi ulama yang sudah di level khas, artinya makna tafsir ini tidak dihasilkan dari ulama yang abal-abal, tetapi harus berlevel tinggi dan yang mereka kerjakan dalam proyek ini adalah mengambil intisari hukum fiqh, melihat sisi balaghah begitu juga i’jaznya serta menjelaskanya sesuai bidang yang dia geluti. Biasanya model tafsir ini dikategorikan sebagai takwil. Sebagaimana Nasr Hamid Abu Zaid tulis dalam bukunya Mafhum An Nash.
Keempat, tafsir yang berhubungan dengan ghaibiyyat, tafsir ini dikembalikan kepada Allah swt semata.
Dari keempat model ini, yang menjadi fokus kita adalah model tafsir yang ketiga. Dari situ terlihat bahwa takwil dalam ranah tafsir itu ada. Inilah yang menjadi titik tolak dalam menemukan rahasia kenapa Imam Thabari menggunakan takwil dalam tafsirnya. Sekalipun sama dalam hal menafsiri, namun berbeda dalam prosesnya.
Lebih jauh, Nasr Hamid menulis bahwa perbedaan dasar antara takwil dengan tafsir adalah al wasit. (الوسيط) Term ini menjadikan takwil berbeda dengan tafsir. Kalau tafsir ada wasith (perantara) di antara subjek (ذات) dan objeknya (موضوع), sedangkan takwil sebaliknya. Artinya menafsiri punya patokan tanda atau semacamnya, bisa berupa nash atau dal, sedangkan mentakwil hubunganya langsung علاقة مباشرة kerja otak.
Setelah kita tahu bahwa takwil dalam ranah tafsir itu ada, sekarang waktunya kita menjumpai takwil dalam ranah tauhid, tentunya yang lebih spesifik maknanya serta lebih familiar di telinga kita.
Dr. Rabi’ Jauhary salah satu mantan Dekan Ushuluddin menyebutkan dalam bukunya Mabahits fi al ‘Aqidah, bahwa takwil ialah memalingkan makna hakiki dari suatu lafadz ke makna majaz karena ada qarinah yang mencegah dari memaknai sisi hakikinya. Takwil dalam ranah ini memang lebih speisik sekali, tepatnya hanya menyangkut lafadz-lafadz dalam al-Qur’an yang sukar dipahami bahkan fatal secara dlohir ayatnya. Sedangkan makna takwil dalam ranah tafsir cukup umum, karena dia tidak hanya menangani atau menafsiri ayat yang sukar dipahami secara dlohirnya, namun takwil dengan makna tafsir seperti di atas tadi memang melahap semua ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan ini, kesimpulanya adalah bahwa Imam Thabari menggunakan diksi takwil semata-mata karena menginginkan makna takwil yang berada di ranah tafsir itu. Sehingga tidak lagi bermasalah, apakah ini yang dimaksud takwil yang di tauhid itu? Atau takwil yang mana? Karena jika diasumsikan yang dimaksud takwil di situ adalah dalam ranah tauhid -dan juga menjadi makna paten dewasa ini- maka akan timbul pertanyaan baru “Bagaimana mungkin seluruh ayat membutuhkan takwil?” tentunya dengan makna takwil dalam tauhid itu. Dan di sinilah letak konsep al Jam’u yakni mempertemukan maksud Imam Thabari dalam menyusun diksi takwil sebagai Takwil yang ada di ranah tafsir.