Sedang Membaca
Pendidikan Pesantren (2): Tradisi Sanad dan Mentalitas Santri

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Pendidikan Pesantren (2): Tradisi Sanad dan Mentalitas Santri

Whatsapp Image 2022 10 25 At 20.31.50

Pendidikan pesantren dikenal telah banyak menghasilkan ulama atau Kiai yang mumpuni dengan penguasaan bidang yang beragam. Para alumni pesantren ini kemudian dikenal sebagai “santri kota” yang turut serta mendakwahkan islam di kalangan kaum urban. Profil mereka dan juga keseharian mereka turut membawa nama besar pesantren, tempat dimana dia belajar dahulu.

Pendidikan pesantren memang lahir dari semangat jihad dan upaya mendakwahkan Islam. Pendidikan pesantren pada mulanya merupakan lembaga pendidikan yang independen yang dibangun dari sebuah solidaritas, kekeluargaan, dan gotong royong di masyarakat.  Kesadaran masyarakat akan kebutuhan sebuah pendidikan atau tempat belajar agama Islam yang memadai yang dipandu Kiai mendorong mereka membangun pondok pesantren.

Di tanah Jawa sendiri pesantren lahir dari semangat wali sanga mendakwahkan agama Islam. Dari proses lahirnya pesantren, pesantren bukanlah lembaga yang bergantung pada siapapun sehingga tata cara, model pembelajaran serta metodologi pengajaran memang dibangun dengan model yang independen serta memiliki karakteristik khusus yang berbeda.

Pesantren adalah lembaga yang didirikan oleh masyarakat bersama Kiai dengan figur Kiai sebagai pusatnya. Walaupun pembangunan pesantren dibantu oleh masyarakat sekitar, Kiai tetaplah sosok yang mandiri dan penuh integritas. Penguasaan ilmu agama Islam yang mendalam memang menjadi daya pikat para santri. Walau begitu, untuk menopang keuangan dan tegak berdirinya pesantren, Kiai tetaplah seorang yang memerlukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Para Kiai di Jawa maupun di luar Jawa biasanya mengandalkan penghidupannya pada pertanian. Di masa lampau pertanian dan perkebunan adalah dunia sehari-hari Kiai selain di pesantren. Kiai Hasyim Asyari, selain mengurusi pesantren dan mengajar santrinya, ia juga mengurus kebun dan bertani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Baca juga:  Gus Mus, Majma' Buhuts, dan Masalah NU-PKB

Keseharian Kiai yang juga bekerja secara mandiri adalah bagian dari pendidikan mental yang penting di pesantren. Para santri menyerap bahwa Kiai adalah sosok yang mandiri, merdeka dan juga memiliki kemampuan agama baik dalam pengetahuan maupun secara praktek keseharian. Kemandirian inilah yang membuat Kiai menjadi manusia merdeka dengan segala keputusan dan tindakannya yang terlepas dari belenggu atau tekanan orang lain. Ketika penjajahan, Hadratus Syekh Hasyim Asyari menunjukkan kepada para santrinya bahwa memiliki mentalitas merdeka dan mandiri adalah penting. Ketika penjajah datang ke pesantrennya, Kiai menjadi sosok yang paling di depan melawan penjajah. Sehingga saat Kiai Hasyim Asyari ditangkap, maka berkobarlah semangat jihad para santrinya untuk membela dan mendukung perjuangannya.

Ikatan kolektif kolegial di kalangan Kiai dari berbagai pesantren yang bersatu dalamwadah organisasi salah satunya di nahdatul ulama memberi pelajaran penting tentang makna solidaritas yang kuat antara Kiai. Kiai memang jarang menampakkan atau tampak kaya dan parlente. Kekayaan Kiai  sama dengan kekayaan pondok pesantren. Kiai lebih terlihat hidup sederhana, meminjam Ki Ageng Suryamentaram “sakcukupe” (secukupnya). Nilai-nilai penting dari mentalitas yang hidup dan dipegang Kiai bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena perintah agama membawa Kiai hidup pada kezuhudan, kesederhanaan dan juga ketakziman dalam tingkah laku keseharian di pesantren maupun di luar pesantren.

Etos berilmu

Di kalangan pondok pesantren yang tidak kalah penting diingat adalah edukasi tentang pentingnya semangat mencintai ilmu. Tradisi sanad serta ijazah mengajarkan kesadaran etis bahwa pengetahuan kita bukanlah pengetahuan tanpa dasar atau pengetahuan yang ada karena diri kita sendiri. Guru, atau Kiai yang mengajarkan kita adalah sosok yang berjasa membimbing kita. Berkat jasa merekalah, maka ilmu bisa sampai kepada kita. etos akademik dalam pesantren ini menjadi tradisi yang sangat lama. Di kalangan Nahdatul Ulama, tiap ulama memiliki spesifikasi atau keahlian khusus yang berbeda-beda. Tidak jarang seorang santri bisa belajar dengan empat guru sekaligus di pesantren dengan penguasaan pelajaran yang berbeda. Untuk itulah, waktu para santri berbeda-beda dalam menempuh pendidikan dengan Kiai. Sebab setiap manusia dikaruniai Tuhan memiliki keahlian yang beragam.

Baca juga:  Menerima Perbedaaan: Suatu Jalan Mengenal Tuhan

Dalam buku Khazanah Kiai Bisri Sansuri (2010) Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menuliskan bagaimana Kiai Bisri Sansuri berguru dengan Kiai yang berbeda-beda untuk menguasai ilmu secara mendalam. Bisri Sansuri adalah Kiai yang cukup ahli dalam ilmu fiqh. Gus Dur sendiri termasuk santri yang suka keluyuran dari pondok pesantren satu ke pondok pesantren yang lain. Praktek atau pengakuan tentang sanad ini juga diakui oleh Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) yang mengenal dan memahami tafsir jawahirul bukhari sanadnya bisa ditelusur sampai Imam Bukhari. Sanad bukan hanya menunjukkan otoritas Kiai, tetapi juga penghormatan agung atas jasa-jasa Kiai sebelumnya yang mewariskan ilmu pengetahuan tersebut.

Salah satu daya tarik pendidikan di pesantren adalah ilmu laduni. Di pesantren, ilmu laduni tidak didapat secara formal. Ia dipelajari dari kehidupan Kiai secara holistik. Di pesantren ilmu laduni nampak pada keseharian yang penuh akhlak, wajah yang teduh, ramah, dan anti kepada permusuhan. Seorang Kiai diibaratkan sebagai samudera, yang menyerap lalu mengolahnya kembali. Lama waktu di pesantren tidak menjamin seorang santri bisa memiliki akhlak yang baik, budi pekerti yang bagus dan juga perangai yang indah.

Kharisma Kiai lebih tampak sebagai buah dari ketekunan ibadah, cerminan akhlak yang baik yang memancar dari seorang Kiai. Ini lebih dianggap sebagai sebuah fenomena esoteris yang ada di pesantren.

Baca juga:  Tuhan dalam Aneka Rasa Buah-buahan

Santri yang baik memahami hal ini sebagai sebuah teladan yang bisa dicontoh dari sosok Kiai sebagai guru, sekaligus alim yang memahami agama sebagai sebuah acuan yang holistik dalam kehidupan sehari-hari seorang guru.

Pesantren berbeda dengan pendidikan barat seperti yang dikatakan oleh Syekh Naquib Al-latas “Abad pertengahan dan beberapa lembaga pendidikan Barat modern, sebenarnya didasari oleh pandangan yang kurang tepat mengenai akal dan konsepsi yang salah mengenai proses belajar.” (Mohd, Wan, 1998).

Perbedaan yang menonjol diantaranya adalah perihal pendidikan mentalitas. Pendidikan pesantren dengan aneka keterampilan yang diwariskan lebih banyak bersifat esoteris, tidak lekas purna, sesuatu yang berkesinambungan dan tak lekang bahkan hingga akhir hayat itu sendiri. Pendidikan adab, pendidikan akhlak, hingga pendidikan agama yang luas itu pada akhirnya harus memancar melalui keseharian santrinya, merasuk dalam jiwa para muridnya yang pada akhirnya memancarkan keindahan agama itu sendiri sebagai cahaya yang menerangi hidup itu sendiri.

Semua itu dalam bahasa yang sederhana akan menyatu dalam “mentalitas santri”, yang tentu saja berbeda dengan etos dan disiplin seorang pembelajar di luar pesantren.

Kebutuhan belajar agama tidak semata dilandasi sebagai sebuah kebutuhan materiil akan pengetahuan tetapi sebagai buah dari ketundukan kepada perintah agama, yang akan meluaskan dan melapangkan hati, pikiran dan perbuatan. Sikap ini kemudian menyatu dalam watak, karakter dan laku sehari-hari bahwa ilmu bukan sekadar tumpukan pengetahuan melainkan menuntut tanggungjawab dan praktek keseharian.

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top