Goenawan Mohamad menyebut Cak Nur sebagai orang yang berani mengambil sikap berpikir mendalam, tenang, dan arif. Pada tahun 1970-an, di saat umat Islam Indonesia sedang dalam keadaan tenang, ombak gelombang pemikiran sedang surut-surutnya, Cak Nur hadir seperti arus gelombang pasang.
Banyak pimpinan umat Islam di waktu itu yang tidak hanya kaget, tapi juga merasa terusik. Gagasan dan pemikirannya justru banyak yang disalahpahami. Cak Nur seperti menggoyang sesuatu yang tenang, mapan.
Dahulu, Cak Nur kecil bercita-cita menjadi masinis. Saat ia dewasa, ia pun seperti berhasil mewujudkan cita-citanya sebagai lokomotif pembaruan Islam di Indonesia. Bak kereta api yang terus berjalan dan berputar, dan fokus pada tujuan, Cak Nur seperti tidak pernah berhenti menggerakkan pembaruan itu hingga akhir hayatnya.
Nurcholish Madjid atau kerap dipanggil Cak Nur adalah lelaki kelahiran Mojoanyar, Jombang Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Dilahirkan dari seorang Ayah bernama KH Abdul Madjid seorang Kiai yang cukup akrab dengan Hasyim Asyari. Menempuh pendidikan di Madrasah Al Wathaniyyah yang diasuh Ayahnya di sore harinya, sedangkan pagi harinya ia belajar di SR. Madrasah Al Wathaniyyah dikenal dengan pelajaran unggulan Ilmu Nahwu dan Sharf.
Selepas belajar di SR, ia melanjutkan di Pesantren Darul Ulum di Rejoso yang diasuh oleh Kiai Romli. Di sekolah itu Cak Nur merasa tersinggung karena sering disindir oleh salah satu kiai yang menyebutnya sebagai anak Masyumi yang kesasar. Ayahnya pun menanggapi apa yang disampaikan anaknya dengan serius. Ayahnya waktu itu berpegang kepada fatwa Kiai Hasyim yang mengatakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang sah adalah Masyumi (Wahyuni Nafis, Muhammad, 2014 :13).
Cak Nur pun dipindahkan ke Pesantren Gontor di Ponorogo Jawa Timur. Pesantren Gontor pada waktu itu sudah cukup modern, dan dikenal sebagai pesantren yang haram oleh para Kiai NU di Jombang. Pesantren ini didirikan oleh Trimurti Kiai Ahmad Sahal, KH Ahmad Zarkasyi, dan KH Zainuddin Fananie. Semula Kiai Ahmad Sahal mengkombinasikan antara sekolah Belanda dengan Pesantren. Lalu, datanglah KH Ahmad Zarkasyi yang berasal dari Padang Panjang pernah belajar bersama Mahmud Yunus orang Indonesia pertama yang lulus dari Mesir. Ia mendirikan Kulliyat-u- al Muallimin Al-Islamiyah (KMI). KH Ahmad Zarkasyi ingin memadukan KMI dengan gontor dengan memadukan kurikulum dan metode pengajarannya. Dengan elaborasi yang baik, Gontor berhasil menonjolkan kemampuan bahasa arab dan inggris, namun juga membekali santrinya dengan kemampuan ilmu dasar ilmu agama yang baik.
Tahun 1962, Cak Nur hendak meneruskan jadi guru waktu itu ingin mendaftar di IKIP Muhammadiyah Surakarta yang sekarang dikenal sebagai UMS. Namun, ijazah Cak Nur tidak diakui di sana. Ia pun melanjutkan sebagai mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kehidupan awalnya di masa kuliah penuh lika-liku dan perjuangan. Ia menjadi tokoh penting saat menahkodai HMI Cabang Ciputat. Ia menjadi ketua PB HMI pada tahun 1969-1971. Pada tahun-tahun itulah ia mendapat undangan untuk berkeliling dunia yang ia manfaatkan sebaik-baiknya baik di Amerika, Perancis, maupun Timur Tengah seperti Mesir maupun Turkey. Ia merenungi saat-saat istimewa di Mekkah dan Madinah. Permenungannya menjadi cikal bakal Nilai Dasar Perjuangan di HMI kala itu.
Pada waktu itu pada tanggal 3 Januari 1970, di kalangan terbatas, Cak Nur membagikan makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Karena makalah yang semula dibagikan di kalangan terbatas itu bocor, maka terjadilah pro-kontra terhadap ide pembaruan Cak Nur tersebut. Salah satu yang menanggapi Cak Nur adalah H.M Rasjidi. Gagasan Cak Nur yang booming itu selain melambungkan namanya, membawa Cak Nur untuk mengkampanyekan ide-ide pembaruan selanjutnya yang mengantarnya sebagai masinis pembaruan islam di Indonesia.
Ide Cak Nur yang cukup mendapat sambutan hangat adalah pemakaian diksi “sekulerisasi”. Gagasan ini yang kemudian banyak disalahpahami oleh khalayak, sampai keluar tuduhan murtad. Sebagaimana Cak Nur sendiri menjelaskan dalam makalahnya: “jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Lebih lanjut sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “Khalifah Allah di Bumi”.(Madjid, Nurcholish, 2008 :229-230).
Selain dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, ia mendirikan lembaga sebagai aktualisasi ide. Melalui Yayasan Wakaf Paramadina, Cak Nur mengejawantahkan ide-ide pembaruannya menjadi lembaga pemikiran sekaligus tempat mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan islam. Melalui SMU Madania dan Universitas Paramadina itulah, kita menjumpai warisan pemikiran Cak Nur sampai hari ini.
Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya Cak Nur Sang Guru Bangsa (2014), menyebut Cak Nur memiliki empat strategi pemikiran. Pertama, Integrasi Islam dan Kemanusiaan. Kedua, Integrasi Islam dan Kemodernan. Ketiga, Integrasi Islam dan Politik. Dan keempat, Integrasi Islam dan Keindonesiaan. Nafis juga mencatat ada trilogi pemikiran Cak Nur yaitu Tawhid, pluralisme dan Indonesia sebagai “modern nation state”.
Karirnya sebagai akademisi ia jejaki sampai menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah (1985-2005), ia juga menjabat sebagai peneliti LIPI (1978-1984) dan menjabat sebagai rektor di Universitas Paramadina pada tahun (1998-2005). Ia juga dikenal sebagai tiga pendekar dari Chicago bersama Ahmad Syafii Maarif dan Amin Rais.
Dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid : Jalan Hidup Seorang Visioner (2010), Emha mengatakan dalam haul 1000 hari wafatnya Cak Nur, “Cak Nur adalah orang yang sangat mencintai Nabi. Ia tak pernah berhenti mengajak bangsa ini, untuk meneladani akhlak Rasul. Di tengah kegalauan bangsa ia hadir seperti cahaya. Bahasa tubuhnya lembut, energinya menenangkan.” Ahmad Gaus A.F juga mengatakan “Cak Nur adalah orang yang lurus. Ia hanya percaya kepada kebenaran yang lapang, kebenaran yang tidak membelenggu jiwa, kebenaran yang berproses di dalam penghayatan akan Tuhan, dan pengalaman iman yang berlangsung sepanjang hayat. Kebenaran seperti ini hanya mengakui kemutlakan Tuhan, namun relatif pada dirinya sendiri. Kebenaran seperti ini bersifat rendah hati, dan tidak memaksa orang lain. Cak Nur mengajarkan : Kalau kita berhenti mencari, dan merasa sudah sampai kepada kebenaran, maka kita mudah menjadi sombong!”.
Cak Nur memang membuat kita gelisah dengan pikiran-pikirannya, tapi setidaknya ia memantik kita untuk tidak tenang, terus mempertanyakan dan tidak mandeg dalam beragama. Sikap dinamis itulah yang akan membawa kita menjadi umat yang semakin berdiri kokoh menghadapi modernitas zaman yang menuntut kita untuk selalu berpikir aktual dan kontekstual.
Nurcholish Madjid menghembuskan nafas terakhirnya di tanggal 29 Agustus 2005. Menjelang kematiannya, di terik siang, ia menyuruh putrinya menuntunnya membaca Al-Fatihah. Ia ingin mendengar anak perempuannya mengaji untuknya (Tempo, 5 /9/ 2005). Di akhir hayatnya, lirih Hutomo asisten pribadinya mendengar ia mengucapkan “Maafkan saya, belum bisa berbuat banyak untuk rakyat”. Dalam detik-detik terakhirnya, ia masih setia memikirkan bangsanya.
Lokomotif Pembaruan Islam di Indonesia itu telah tiada. Ia telah mewariskan keteladanan, kegigihan dan pemikirannya dalam bingkai Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Kita pantas merenungkan pesannya, “Islam adalah agama kemanusiaan terbuka. Menjunjung tinggi Tuhan tetapi merendahkan manusia adalah kontradiksi.”