Sedang Membaca
Perjalanan Tasawuf dari Masa ke Masa: Dari Rasulullah hingga Para Wali Terakhir (1)

Perjalanan Tasawuf dari Masa ke Masa: Dari Rasulullah hingga Para Wali Terakhir (1)

Muktamar Sufi 2023

Selalu saja, kedatangan suatu agama (baru) sepertihalnya berganti baju secara mendadak, karena dianggap mengganggu suatu tatanan; budaya, sosial, maupun spiritual yang sudah mapan, tanpa kecuali Islam.

Namun sebagai rangkaian agama terakhir, Islam datang di tengah kemunduran moral spiritual umat manusia yang hebat. Ia berbeda dari berbagai ‘campur tangan’ Ilahi lainnya. Terutama agama Kristen. Ia berbeda bukan saja karena membentangkan suatu jalan spiritual, tetapi juga hampir bersamaan dengan itu—membangun sebuah negara teokrasi, negara berbasis wahyu atau hukum Tuhan. Perbedaan antara negara tersebut dengan negara lain yang mendahului ataupun yang berlangsung di sekitarnya begitu tajam.

Sejauh itu al-Qur’an terus-menerus menyebut Muhammad dan para sahabatnya dengan ungkapan: “Kalianlah sebaik-baik umat yang pernah diciptakan (sebagai panutan) bagi umat manusia”. Keutamaan komunitas umat itu juga dipaparkan sehingga menjadi jelas. Bukan hanya sekali al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan lah yang memimpin atau menyatukan hati kaum mukmin.

Dan pada puncak kejayaan yang telah ditetapkan, umat terbaik ini dikendalikan oleh kekuatan yang cukup lama menanamkan beberapa prinsip yang membekas tak terhapuskan. Kurun penurunan alami dari rangkaian yang, bagi umat itu, telah tertahan oleh keajaiban hanya dilanjutkan setelah Islam berdiri kokoh. Meruncingnya pertikaian kesukuan yang serentak muncul, dapat dipandang sebagian karena adanya suatu reaksi keduniawian menentang kesempurnaan, yang merupakan semacam perombakan terhadap watak zaman yang melahirkannya.

Baca juga:  Imam Al-Ghazali: Esensi Cinta, Klasifikasi, dan Yang Berhak Menerimanya

Menyusul wafatnya Nabi, negara itu kemudian diperintah berturut-turut oleh empat orang wali. Kendati tidak berhasil membendung derasnya laju keduniawian berikut kekacauan-kekacauan yang diakibatkannya, terdapat suatu makna yang sulit dilukiskan dan tidak tertandingi di bagian dunia mana pun. Begitu juga, khalifah pertama dan keempat, Abu Bakr, sahabat dekat dan juga mertua Nabi, dan ‘Ali, sepupu sekaligus menantu beliau, oleh para sufi dinilai termasuk di antara leluhur spiritual terbesar mereka.

Hadis Nabi penuh dengan ajaran-ajaran bersifat mistis yang menunjukkan bahwa Muhammad, seperti diyakini para sufi, sesungguhnya adalah Syekh Sufi pertama, kecuali dalam sebutannya. ‘Semua jalan mistik tidak sah (mu’tabar) kecuali dari orang yang mengikuti jejak Rasulullah, kata al-Junayd, juga ‘pengetahuan kami ini didasarkan pada ujaran-ujaran Rasulullah’. Sampai saat ini, perbedaan-perbedaan di antara berbagai tarekat hanya menyangkut pilihan, oleh pendiri tarekat, dari sekian banyak amalan yang bersumber dari sunnah Nabi sendiri. Tetapi fungsi guru rohani ini terkait erat dengan fungsi-fungsi lain yang terdapat dalam kesatuan pribadi beliau. Begitu pula dengan umat yang dibimbingnya, karena semua perbedaan serta keragaman bakat dan kecenderungan pribadi, terpadu dalam satu keutuhan yang seolah-olah tidak akan pernah terjadi lagi.

Terbentuknya suatu kesatuan spiritual berarti ada anggapan umum terhadap daya tarik batiniah dan ukhrawi beliau. Tak diragukan lagi, faktor kuat bias mistik ini ditunjukkan oleh adanya sejumlah besar golongan perintis (tabiqun) di antara umat, dibandingkan dengan zaman mana pun juga. “Kebanyakan mereka dari umat terdahulu dan sebagian kecil dari umat pada masa kemudian”, kata al-Qur’an tentang tabiqun ini.

Baca juga:  Neo-Sufisme Fazlur Rahman Untuk Indonesia

Sebagian kecil dari yang ‘banyak’ itu harus dianggap sebagai perpanjangan dari penyucian dan daya pikat kehadiran sang Rasul sendiri, dan dengan demikian merupakan suatu aspek campur tangan Ilahi. Sebab tidak mungkin kita berpegang teguh bahwa pribadi-pribadi seperti para khalifah pertama dan sahabat terkemuka lainnya ‘kebetulan’ adalah orang-orang dari generasi istimewa itu, lebih-lebih bila dibandingkan dengan dua Santo, Yohanes dan Petrus–sekadar menyebut dua saja– yang ‘kebetulan’ hidup dalam zaman ‘Isa.

Lebih dari itu, sekalipun ucapan al-Hujwiri bahwa tasawuf (kecuali menyangkut sebutan) terdapat dalam diri ‘setiap orang’ itu jelas berlebihan, setidaknya boleh dikatakan bahwa keseluruhan umat pertama itu terbuka bagi mistisisme yang tak pernah sekali saja menjadi sejumlah rintangan eksoterisme yang telah terkristal.

Terutama sekali harus diingat bahwa masa pengutusan menurut definisinya adalah suatu zaman ketika ‘pintu-pintu langit’ dibuka kembali. Jika malam turunnya wahyu, Islam itu lebih mulia dari seribu bulan, itu karena pada malam itu para malaikat dan sang Ruh (Jibril) turun ke bumi. Dan penetrasi yang adikodrati (supernatural) terhadap yang kodrati (natural) ini, yang bisa dikatakan terus berlanjut di sepanjang misi Rasulullah, cenderung membuka beberapa kemungkinan dalam jangkauan orang-orang yang secara lazim tidak bakal mereka capai.

Baca juga:  Inilah Pesan Habib Ali al-Jufri di Tengah Maraknya Politisasi Agama

Begitu banyak jiwa dapat teranugerahi, melalui pengaruh berbagai kemukjizatan, suatu tingkat keyakinan yang dalam zaman lain hanya merupakan keistimewaan pada mistikus sejati. Ketika isyarat demi isyarat, baik berupa Wahyu atau yang hampir serupa itu, memperlihatkan bahwa Mata Ilahi terpusat pada ‘umat pilihan’ ini, maka terbukalah kondisi-kondisi yang amat menguntungkan bagi pencapaian yang lebih merata atas apa yang segera menjadi ciri pembeda para Sufi itu sendiri, yakni ihsan, ‘bahwa engkau mesti menyembah Allah seakan-akan kau melihat-Nya, dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya, (ingatlah) Dia senantiasa melihatmu’.

Bersambung…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top