Sedang Membaca
Studi Islam Politik dalam Jebakan Dikotomi Kultural
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Studi Islam Politik dalam Jebakan Dikotomi Kultural

Img 20200629 Wa0012

Setelah membaca tulisan Ken Miichi di Alif.ID kemarin (16 November 2020), saya semakin tersadar bahwa studi mengenai Islam dan politik penuh oleh dikotomi kultural. Hampir semua kategori yang digunakan oleh para ahli, mulai dari “Islam modernis” vs. “Islam tradisionalis” a la Deliar Noer hingga “Islam radikal” vs. “Islam moderat” yang lebih belakangan, pada dasarnya lahir dari pandangan kultural. Yang dimaksud kultural adalah bagaimana umat Islam yang menjadi subjek dalam studi-studi tersebut memahami dan bersikap terhadap politik berdasarkan keyakinan kultural—dalam hal ini, sebagian besar, bersumber dari dalil-dalil agama—yang dimilikinya.

Masalahnya, kategori-kategori yang digunakan untuk membaca pandangan atau keyakinan kultural tersebut umumnya dibuat oleh para pengamat dari luar—orang Barat atau mereka yang dididik dalam tradisi riset ilmu-ilmu sosial Barat. Tentu saja mereka melakukannya secara serius dan, saya cukup yakin, tulus, tetapi pertanyaanya bukan itu. Akhir-akhir ini saya merasa kategori-kategori itu lebih merupakan bentuk keingintahuan—kalau bukan kekhawatiran—pengamat dari luar daripada kebutuhan kita sendiri. Misalnya “Islam radikal” vs. “Islam moderat”, apakah kita sungguh membutuhkan kategori yang dikotomis ini dalam kehidupan sehari-sehari di sini?

Dalam kenyataannya, dikotomi yang sering digunakan studi Islam politik justru memperuncing skisma atau perpecahan yang inheren dalam sejarah umat Islam itu sendiri daripada membangun jembatan buat dialog. Mengenai NU, contohnya, studi-studi yang ada cenderung menghadap-hadapkan NU dan HTI atau NU dan FPI sedemikian rupa sehingga seolah-olah di antara mereka terdapat jurang perbedaan yang menganga. Khususnya dalam studi-studi berlatar belakang keamanan, perbedaan yang ditonjolkan terlihat sedemikian sulit dipertemukan kecuali ada intervensi dari luar.

Baca juga:  Pemetik Puisi (5): Hamid Jabbar dan Puisi Setitik Nur

Memang, seperti telah disebutkan, skisma atau perpecahan agama dalam Islam telah muncul sejak awal sejarahnya. Akan tetapi, jika dulu perkaranya lebih bersifat perebutan kekuasaan internal, maka studi-studi Islam politik di era modern membawa perkara tersebut dalam hubungannya dengan Barat. Yang disoroti adalah bagaimana umat Islam yang telah terpecah belah itu merespons kemajuan zaman yang berasal dari Barat. Maka, dicarilah sumber-sumber keagamaan yang kompatibel atau tidak dengan itu. Sebuah kelompok dikatakan radikal karena mereka gagal mencari sumber-sumber itu, sehingga mereka digambarkan seperti tentara barbar Abad Pertengahan dari gurun pasir yang tersesat di gemerlap kota Abad Pencerahan. Sebaliknya, sebuah kelompok dikatakan moderat karena mereka berhasil menemukan sumber-sumber keagamaan yang kompatibel dengan nilai-nilai Barat—demokrasi, hak manusia, kewarganegaraan, dan seterusnya.

Kelompok terakhir, “Islam moderat”, kemudian dijadikan kawan Barat. Mereka dianggap “orang kita”. Saya teringat berbagai literatur mengenai NU pada tahun 1990-an dan awal 2000-an yang memuji-muji Gus Dur dan generasi mudanya. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang keren karena mampu beradaptasi dengan demokrasi yang tumbuh pada saat itu. Implikasinya cukup luas. Sejumlah orang NU dipercaya sebagai agen perubahan sosial oleh lembaga donor Barat untuk mengubah wawasan masyarakat, khususnya di kalangan Muslim. Meski mungkin nominalnya tidak seberapa, kenyataan itu memperlihatkan adanya sesuatu yang penting bagi Barat itu sendiri.

Baca juga:  Urgensi Peran Ulama Bagi Pelestarian Alam

Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir terjadi pergeseran yang signifikan. Mengiringi “conservative turn” (tikungan konservatif) dalam realitas yang dikajinya, studi Islam politik juga mengalami “academic turn” (tikungan akademis) dalam cara mereka mengkaji. Sebuah artikel yang ditulis oleh Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi (2020) secara terus terang menyebut pluralisme di NU adalah mitos. Kesimpulan yang sangat berani ini—saya telah membahasnya di beberapa tulisan sebelumnya di Alif.ID—merefleksikan adanya kekecewaan pengamat Barat terhadap NU yang dianggap kawannya. Dalam beberapa waktu ke depan artikel seperti itu, lihat saja, akan bermunculan di jurnal-jurnal akademis terkemuka.

Yang ingin saya sampaikan, sekali lagi, adalah bahwa studi Islam politik yang berkembang selama ini pada dasarnya merupakan produk industri pengetahuan Barat. Kategori-kategori yang digunakannya lahir dari pengalaman Barat menghadapi—atau bahkan melawan—agama. Oleh karena itu, sudut pandangnya adalah sekuler. Tentu saja karena mereka paham bahwa Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dan dibedakan dari politik, maka para pengkaji Islam politik mencari siapa kawan dan lawan di antara Muslim Indonesia sendiri. Namun, seperti dikatakan sebuah pepatah, kawan dan lawan tidak pernah abadi, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam studi.

Andaikan saja studi Islam politik tidak melulu mendasarkan diri pada dikotomi kultural, hasilnya barangkali akan lebih baik—artinya lebih dekat dengan kebutuhan kita di sini. Kategori berbasis kelas, ambil contoh, jarang sekali digunakan, padahal bukankah sebagian besar anggota NU dan FPI sesungguhnya berada di kelas sosial yang sama? Bukankah mereka yang hari-hari ini bertikai di media sosial memperebutkan makna “habib” sebenarnya adalah sama-sama orang susah, kelompok sosial yang termarginalkan oleh pembangunan yang oligarkis? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, yang tidak melulu kultural, saya cukup yakin studi Islam politik akan lebih berguna bagi subjek yang dikajinya. Sebab kalau terus menerus menyoroti bagaimana Muslim Indonesia memahami dan menyikapi politik berdasarkan keyakinan kulturalnya, sampai hari kiamat pun jawabannya akan tetap sama: berbeda-beda dan berubah-ubah. Banyak yang suka lupa bahwa Muslim Indonesia, seperti juga kelompok masyarakat lainnya di mana-mana, pasti berbeda-beda dan berubah-ubah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top