Sedang Membaca
Mempertanyakan Relasi Agama dan Negara: Pandangan KH Afifuddin Muhajir
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Mempertanyakan Relasi Agama dan Negara: Pandangan KH Afifuddin Muhajir

Unnamed

(1)

Relasi agama dan negara adalah tema lama dalam sejarah politik Indonesia modern, tetapi sejak 1980-an tema ini mengalami revitalisasi yang luar biasa. Penyebabnya tentu sangat kompleks, tetapi cukup pasti lebih dari sekadar dinamika di dalam negeri sendiri. Sementara itu, hampir di seluruh dunia pertanyaan mengenai tempat agama di ruang publik mengemuka. Para teoretisi dan pengambil kebijakan yang sebelumnya hanya berpegang pada prinsip sekularisme terlihat kebingungan untuk mengatasi itu. Di luar bayangan mereka yang menganggap agama akan secara otomatis terprivatisasi seiring dengan modernisasi, yang terjadi adalah hal sebaliknya. Khususnya di negara Muslim seperti Indonesia, revitalisasi tersebut lebih tidak terelakkan mengingat kompleksitas historis dan sosiologis yang dimilikinya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa jawaban terhadap pertanyaan mengenai tempat agama di publik lebih banyak datang dari kaum agamawan. Sementara para teoretisi dan pengambil kebjakan sekuler masih kebingungan, agamawan justru giat membangun argumen yang menunjukkan kemampuan agama dalam membangun relasi yang pas dengan negara. Di Indonesia, sejak 1980-an itu, para ulama yang tergabung di Nahdlatul Ulama (NU) memperlihatkan vitalitas agama dalam memberikan fundamen bagi Pancasila, ideologi negara Indonesia. Diputuskan dalam Munas Alim Ulama 1983, mereka merumuskan formulasi mengenai relasi Islam dan Pancasila. Pada pokoknya mereka berpendapat bahwa hubungan di antara keduanya seiring sejalan saling menguatkan.

Akan tetapi, perdebatan mengenai relasi agama dan negara tidak pernah berhenti. Belakangan, ketika muncul berbagai ekspresi yang mempertentangkan hubungan di antara keduanya, para ulama NU kembali bersikap. Di antara yang terkemuka adalah KH Afifuddin Muhajir–selanjutnya ditulis Kyai Afifuddin. Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo dan Rais Syuriah PBNU serta Ketua MUI ini mengatakan bahwa bahkan sejak Muktamar NU 1936 jawaban terhadap pertanyaan relasi agama dan negara telah tersedia. Menurutnya, agama dan negara memang tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan. Pandangan analitis ini, menurut hemat saya, sangat kontributif. Melampaui keyakinan politik sekuler di satu sisi dan propaganda negara Islam di sisi yang lain, pandangan “post-sekuler” a la Kyai Afifuddin ini sangat membantu kita di Indonesia dalam mengurai relasi agama dan negara yang sangat dinamis.

(2)

Meski bukan negara sekuler, dalam praktiknya politik Indonesia cenderung sekuler. Sejak “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, maka sejak itu pula sejatinya politik Indonesia cenderung memisahkan agama dan negara. Tentu saja agama diberi tempat yang kuat, misalnya melalui pendirian Departeman Agama, tetapi sebisa mungkin politik dijalankan dengan cara sekuler. Oleh karena itu, hingga awal 1980-an, kekuatan Islam politik hampir tidak mendapatkan tempat. Sejak tahun 1950-an mereka bahkan dianggap ancaman keamanan dan kedaulatan.

Baca juga:  Ngaji Gus Ulil: Tingkatan dan Jenis Wujud

Kecenderungan politik sekuler dimantapkan dengan pendirian BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada tahun 1979. Sejak itu semua warga negara diharuskan mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang salah satu rumusannya mengajarkan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Sebagian besar perumusnya adalah para sarjana hukum dan sejumlah pemikir berlatar belakang Katolik (David Bourchier, 2015).

Dalam perkembangannya, rumusan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler terlihat ringkih di hadapan revitalisasi agama, khususnya Islam, di akhir 1980-an. Namun alih-alih mengkonternya dengan rumusan normatif P4, Soeharto malah mengakomodasi gejala tersebut. Berlawanan dengan orientasi politik sebelumnya, terutama sejak awal 1990-an berbagai langkah politik Soeharto memberi jalan bagi masuknya sejumlah kelompok Islam untuk masuk ke dalam politik. Sejak itu, apalagi setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan, gagasan “negara Islam” sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta atau, lebih belakangan lagi, “NKRI bersyariah” seperti dikampanyekan oleh M. Rizieq Shihab (2012) mengemuka. Lebih dari sekadar fenomena politik praktis, perkembangan ini memperlihatnya kesulitan norma politik sekuler dalam merespons dinamika masyarakat yang sedemikian kompleks seperti Indonesia.

(3)

Sementara itu, dalam berbagai kesempatan KH Abdurrahman Wahid dan kemudian KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa, bagi NU, Indonesia bukan “Darul Islam”, melainkan “Darussalam”. Dasarnya adalah keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 1936. Oleh karena itu, menurut mereka berdua, gagasan negara Islam tidak mempunyai tempat sama sekali di negari ini.

Akan tetapi, berbagai sumber dan literatur yang tersedia secara jelas menyatakan bahwa pada Muktamar 1936 di Banjarmasin itu NU menyatakan Indonesia (saat itu masih bernama Hindia Belanda) adalah Darul Islam. Rujukan dan alasannya sangat jelas, yaitu dari kitab Bughyatul Mustarsidin. Kalau demikian halnya, lalu mengapa KH Abdurrahman Wahid dan KH Aqil Siroj mengatakan bahwa, bagi NU, Indonesia adalah Darussalam?

Baca juga:  Sejarah Kejayaan Islam, Pesantren, dan Teknologi

Saya akan meninggalkan pertanyaan di atas untuk kajian lebih lanjut. Yang mau saya ulas sekarang adalah pandangan Kyai Afifuddin. Seolah menjawab pertanyaan tersebut, Kyai Afifuddin menjelaskan bahwa apa yang diputuskan dalam Muktamar NU 1936 adalah konsep Indonesia sebagai Darul Islam. Menurut Kyai Afifuddin, kita harus membedakan antara Darul Islam dan Daulah Islamiyyah. Yang sering dikampanyekan sejumlah kelompok Islam itu adalah Daulah Islamiyah, bukan Darul Islam dalam pengertian kitab Bughyatul Mustarsidin karangan Al-Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur sebagai berikut:

“Tiap-tiap tempat (wilayah) di mana kaum Muslim yang tinggal di dalamnya mampu mempertahankan diri dari (dominasi) kaum harbi pada suatu zaman tertentu, maka dengan sendirinya tempat itu menjadi Darul Islam, meskipun (pada suatu saat) mereka tidak lagi mampu mempertahankan diri akibat dominasi kaum kuffar yang mengusir dan tidak memperkenankan mereka masuk kembali. Dengan demikian, penyebutan wilayah itu sebagai Darul Harbi hanya bersifat formalistik bukan status yang sebenarnya. Maka menjadi maklum bahwa bumi Betwai dan sebagian besar tanah Jawa adalah Darul Islam, karena telah dikuasai kaum muslimin sebelum kaum kuffar” (Dikutip dalam Afifuddin Muhajir, 2012).

Pembedaan antara Darul Islam dan Daulah Islamiyyah oleh Kyai Afufuddin ini merupakan pendapat yang sangat penting untuk menjernihkan masalah relasi antara agama dan negara. Pendapat ini bertolak dari metodologi berpikir “ushuli” dalam memahami dan memutuskan perkara “fikih”. Lebih lanjut Kyai Afifuddin menjelaskan bahwa dalam Islam kehadiran negara bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan. Tujuannya sendiri adalah “terwujudnya kemaslahatan manusia dhahir-bathin, dunia-akhirat, atau dengan ibarat lain terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan berketuhanan” (Afidudin Muhajir, 2012). Oleh karena merupakan sarana, Islam tidak pernah secara tersurat menentukan bentuk dan sistemnya. Yang dikatakan hanya prinsip-prinisipnya, yaitu permusyawaratan (syura), keadilan (‘adalah), persamaan (musawa), dan kebebasan (hurriyah)

Dalam pandangan Kyai Afifuddin, spirit ketuhanan dalam negara adalah sentral. Meski demikian, seperti telah dikatakan, bentuk dan sistemnya tidak pernah ditentukan. Boleh jadi demokrasi, atau yang lainnya, tetapi yang pasti spirit ketuhanan harus bersemayam di sana. Oleh karena alasan ini pula, kata Kyai Afifuddin, pemimpin negara adalah penjaga agama (hirashatuddin) dan pengatur dunia (siyasatuddunya). Kedua fungsi ini simultan, tidak boleh dipertentangkan. Pemimpin negara, dengan demikian, mesti mempertanggungjawabkan pikiran dan perbuatannya tidak hanya di depan rakkat, tetapi juga di hadapan Tuhan.

Baca juga:  Jika Mata Pelajaran Sejarah Dihilangkan, Apa Kata Dunia?

Berdasarkan pandangan tersebut, Kyai Afifuddin berkesmpulan bahwa negara Pancasila “bukanlah syariat, tetapi sila demi sila di dalamnya tidaklah bertentangan dengan ajaran syariat, bahkan sejalan dengan syariat itu sendiri”. Selain itu, Kyai Afifuddin juga berkeyakinan bahwa perumus Pancasila adalah tokoh-tokoh Muslim, sehingga “sangat mungkin bahwa anggota tim perumus yang beragama Islam tidak semata mendasarkan rumusannya pada pertimbangan akal sehat saja, tetapi juga pada prinsip-prinsip ajaran dan kaedah-kaedah Islam”. Singkatnya, bagi Kyai Afifuddin, “Pancasila itu sangat Islami”.

(4)

Pandangan Kyai Afifuddin mungkin kurang bisa diterima oleh kalangan sekuler, tetapi saya kira itu adalah respons berharga yang bisa diajukan untuk menjawab tantangan relasi agama dan negara di Indonesia. Daripada konsep “bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler” seperti diajarkan oleh BP7 di masa lalu, pandangan Kyai Afifuddin lebih relevan bagi Indonesia yang secara historis dan sosiologis harus diakui memang dipengaruhi kuat oleh peran publik agama, dalam hal ini Islam.

Apa yang disampaikan oleh Kyai Afifuddin tentang agama dan negara merupakan kecenderungan umum di kalangan NU. Dasar-dasar argumennya ditemukan bukan dalam sesuatu yang jauh, melainkan dalam khazanah keilmuan yang mereka miliki sendiri, yaitu kitab-kitab kuning. Melalui pembacaan yang intensif dan kreatif mereka menemukan rumusan jawaban terhadap pertanyaan masa kini. Rujukan pokoknya adalah Al-Quran dan Hadits, selain juga tentu saja pandangan-pandangan ulama sebelumnya. Semua itu diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan jawaban yang, menurut saya, lebih menarik daripada apa yang bisa dikemukakan oleh sejawat pemikir sekuler mereka.

Kemenarikan jawaban para ulama NU mengenai relasi agama dan negara disebabkan oleh pendasaran mereka pada dialektika antara norma dan fakta. Berbeda dengan para pemikir sekuler yang menggantungkan gagasannya pada ideal Pencerahan di Eropa Barat abad ke-19 dan para propagandis negara Islam atau khilafah Islamiyyah yang bermimpi seperti seolah sedang berada di Abad Pertengahan, para ulama NU tidak melulu berpikir normatif tetapi juga faktual. Metodologi berpikir seperti inilah yang kita butuhkan sekarang dengan Kyai Afifuddin sebagai contoh terbaik yang kita miliki saat ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top