Terutama sejak runtuhnya komunisme Uni Soviet akhir 1980-an, narasi mengenai Islam versus Barat mengemuka. Tentu saja sebelum itu pun hubungan di antara keduanya telah terjalin panjang, melahirkan formasi pengetahuan yang mapan, tetapi belakangan intensitasnya jauh lebih besar.
Terlebih lagi setelah adanya war on terror pasca-bom 11 September 2001, terasa sekali hubungan antara Islam dan Barat menjadi sangat dikotomis. Seolah-olah keduanya merupakan entitas yang sulit dipertemukan.
Pandangan dikotomis Islam versus Barat seakan-akan menemukan pembenarannya dalam hari-hari terakhir ini ketika muncul berita dari Prancis. Seorang imigran berusia 18 tahun asal Checnya membunuh secara sadis Samuel Patty karena dianggap melecehkan Islam.
Diketahui guru sekolah menengah itu menggunakan kartun Nabi Muhammad sebagai bahan dalam pengajarannya. Konon yang digunakan adalah kartun yang dimuat di Charlie Hebdo lima tahun lalu. Kita tahu gara-gara pemuatan itu pula kantor tabloid tersebut diserang, sehingga belasan orang tewas di tempat.
Masalahnya, segera setelah kasus pembunuhan Samuel Patty terungkap, Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara kepada publik. Secara tegas Macron menyebut apa yang dilakukan Patty sebagai bagian dari kebebasan yang dijamin oleh negara. Tidak ada yang salah dengan itu. Macron justru menyalahkan kelompok “Islam separatis” atau “Islamis” yang dianggap gagal berintegrasi dengan nilai-nilai republikan yang dianut oleh Prancis.
Yang menarik adalah respons kalangan muslim Indoenesia. Sementara Presiden Joko Widodo sendiri mengecam keras pernyataan Macron dan sejumlah orang berdemontrasi di jalanan menuntut pemboikotan produk Prancis, beberapa komunitas memperlihatkan sikap yang lebih berhati-hati. Kelompok terakhir ini pada dasarnya tidak suka dengan penggambaran visual Nabi Muhammad, tetap mereka juga mengerti bahwa memang ada masalah dengan segelintir orang Islam yang lebih memilih kekerasan dalam menyuarakan pendapatnya. Namun penyebabnya jelas bukan sekadar agama, tetapi juga konteks sosial ekonomi dan ideologi sekularisme Prancis secara lebih luas.
Saya sendiri 5 November 2020 kemarin memoderatori sebuah acara diskusi virtual tentang Macron dan Islam. Penyelenggaranya adalah Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Acara yang diikuti lebih dari 500 orang itu mengungkap banyak hal penting yang mungkin terabaikan oleh publik Indonesia. Di antaranya adalah karakter Prancis yang unik.
Berbeda dengan negara-negara Barat lainnya, Prancis menganut sistem politik sekuler yang keras. Kalau negara-negara Barat lainnya lebih memahami sekularisme sebagai netral-agama, sekularisme Prancis lebih bersifat anti-agama. Hal ini tidak lepas dari trauma historis mereka dengan feodalisme gereja Katolik di masa lalu. Sejak 1905, Prancis memantapkan sekularismenya dalam prinsip laïcité. Berdasarkan prinsip inilah Macron berpendapat bahwa siapa pun di bawah yurisdiksi negara berhak berekspresi, termasuk mengenai hal-hal yang diyakini sakral oleh penganut agama.
Akan tetapi, masih dalam acara diskusi virtual tersebut, para pembicara—Andar Nubuwo, Debbie Affianty, Ulil Abshar Abdalla, dan Muhammad Ali—juga mengungkapkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang begitu lebar antara kelompok muslim dan penduduk setempat. Kaum muslim umumnya adalah imigran dari bekas negara-negara jajahan Prancis, seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Mereka datang bergelombang sejak tahun 1950-an, mengisi lapisan kerja yang tersedia pasca-Perang. Namun belakangan datang pula para pengungsi dari Checnya dan bekas negara-negara Balkan lainnya, selain juga lebih belakangan lagi kelompok pengungsi Syiria. Memang hampir 40 % dari mereka telah menjadi warga negara, tetapi sisanya rata-rata tinggal di gheto-gheto yang terisolasi di kota-kota.
Lebih lanjut para pembicara menerangkan bahwa di tengah imigran yang terisolasi itulah apa yang oleh pemerintah Prancis disebut “Islam separatis” atau “Islamisme” tumbuh subur. Mereka menemukan saluran eksistensial dan politisnya melalui kelompok-kelompok radikal. Provokasi dari politisi sayap kanan yang Islam-fobia, seperti Marine Le Pen membuat solidaritas internal mereka berkembang pesat.
Sayangnya, tokoh-tokoh agama yang selama ini menjadi jembatan komunikasi antara komunitas muslim dan pemerintah tampak tidak mampu memoderasi kelompok ini. Memang mereka adalah generasi baru yang lebih terkoneksi secara transnasional dengan sejawatnya di Timur Tengah daripada tokoh-tokoh agama setempat. Kemajuan teknologi memungkinkan hal ini terjadi.
Pembahasan mengenai posisi dan status Islam dan kaum muslim di Prancis dilakukan juga oleh para santri dan kyai di pesantren. Kemarin malam saya menonton acara diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Ma’had Ali Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Disiarkan oleh Channel 164, acara ini menarik karena respons kalangan pesantren ternyata lebih intelektual daripada mereka yang sekadar demonstrasi menyuarakan pemboikotan produk Prancis di jalanan. Bahkan Muhammad Al-Fayyadl dari Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, dan Kyai Azaim Ibrahimy dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo mencoba menawarkan apa yang bisa disumbangkan oleh pandangan dunia pesantren—“Islam Nusantara”—terhadap masalah yang berlangsung jauh di Eropa itu.
Setidaknya dari acara-acara tersebut saya melihat fenomena betapa kalangan muslim Indonesia, khususnya pesantren, malah berupaya menantang dikotomi Islam versus Barat. Alih-alih menunjuk pada realitas yang sangat kompleks, dikotomi itu jelas merupakan penyederhanaan yang palsu. Pelakunya adalah para politisi dan para pembantunya yang suka mencari keuntungan dari situasi masyarakat yang sulit. Berkebalikan dengan itu, muslim pesantren melihat masalahnya tidak pada substansi Islam atau Baratnya, tetapi konteks sosial ekonomi dan ideologi politik yang mengitarinya.