Sedang Membaca
Absennya Analisis Kelas dalam Kajian Nahdlatul Ulama
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Absennya Analisis Kelas dalam Kajian Nahdlatul Ulama

Img 20200629 Wa0012

Sesungguhnya ini adalah kegelisahan lama, tetapi rasanya semakin sini semakin mengemuka. Di tengah perkembangan kajian NU yang luar biasa, saya merasa ada yang hilang. Sebagian besar kajian NU, jika bukan semua, tercurah pada dimensi intelektual dan/atau politik kekuasaan. Sebaliknya, kajian yang melihat dimensi kelas dari NU, bagaimana posisi kelas kaum Nahdliyyin dalam struktur kapitalisme, nyaris terabaikan.

Akibatnya, kajian NU penuh dengan romantisme. Kajian intelektual berisi pencapaian pemikiran para ulama NU, termasuk para penerusnya, yang memang mencengangkan–sering dikatakan bahkan melampaui pencapaian sejawat modernisnya. Sementara itu, kajian politik kekuasaan memuat berbagai keberhasilan (kadang juga kegagalan) para politisi dan aktivis NU dalam berkelit melewati berbagai tantangan zaman.

Memang harus diakui kenyataan tersebut terkait dengan kecenderungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer yang terjebak pada paradigma rekognisi. Yang ditekankan adalah pengakuan terhadap keberadaan kelompok kultural tertentu yang cenderung tersisihkan dalam arus modernitas. Dalam hal ini NU dipandang sebagai kelompok Muslim tradisionalis yang unik, yang tidak hanya mampu bertahan tetapi juga dianggap mampu menyumbang sesuatu yang berharga bagi kebutuhan zaman kita sekarang.

Namun paradigma rekognisi seperti itu reduksionis. Dalam kajian NU, contohnya, keberadaan kelompok Muslim tradisionalis berbasis pesantren Jawa ini selalu dihubungkan dengan persoalan multikulturalisme dan musuh-musuhnya. NU diromantisasi sebagai kekuatan yang akan menjadi benteng NKRI dari serbuan kaum intoleran, radikalis, dan teroris.

Baca juga:  Gus Dur dan Proyek Arkeologi Kebudayaan

Tentu saja paradigma tersebut tidak salah, tetapi tidak cukup memadai dalam memahami apa yang terjadi di dalam dinamika NU itu sendiri. Penggambaran mengenai anggota Banser yang menjaga gereja, contohnya, bukan sesuatu yang keliru, tetapi biasanya mengabaikan siapa dan bagaimana mereka dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita semua tahu anggota Banser melakukan penjagaan gereja dengan hati ikhlas, tetapi kenyataan bahwa mereka umumnya berasal dari kelas bawah yang hidup pas-pasan jarang menjadi bahan perhatian.

Karena alasan itu, analisis kelas menjadi penting karena diharapkan bisa membuka apa yang terjadi dengan NU secara lebih utuh. Sejauh ini kita tidak mempunyai pengetahuan mengenai siapa mereka yang suka tahlilan dan ziarah kubur itu, apa pekerjaan mereka, berapa pendapatan rata-ratanya dalam sebulan atau setahun, bagaimana hubungan mereka dengan kelompok-kelompok kultural lainnya, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan ini jarang diajukan, tertutupi oleh romantisme NU sebagai benteng NKRI.

Saya sendiri ingin sekali mengembangkan paradigma yang lebih berorientasi redistribusi ini dalam kuliah “ilmu politik Islam Nusantara” di program pascasarjana UNUSIA Jakarta. Bosan dan jenuh juga membaca laporan-laporan tentang NU yang hanya bergumul dengan isu toleransi dan moderasi beragama. Fakta bahwa sebagian warga NU terbelit hutang, terpapar kemiskinan, atau bahkan di beberapa daerah anak-anak mereka terkena stunting dan terpaksa menikah dini jelas harus diangkat ke medan akademis–siapa tahu dari sini suatu rencana perubahan sosial bisa disusun dan dilakukan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top