
Usai salat Isya berjamaah, ketika langit telah mencapai gelap yang nyaris sempurna, santri-santri berkumpul di serambi Masjid Jami Bahrul Ulum Tambakberas. Mereka hendak mengikuti pengajian rutin yang diampu oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888 -1971) atau Mbah Wahab, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang sekaligus salah satu founding fathers NU. Malam itu, Mbah Wahab membahas pelajaran tauhid―tentang qada’ dan qadar―tentang takdir dan ketetapan Allah.
Para santri menyimak dengan khidmat satu-persatu uraian dan penjelasan Mbah Wahab yang memukau. Namun, di antara sekian banyak santri, ada satu anak yang tak mampu menahan ajakan mata untuk tidur. Di sudut serambi masjid, seorang santri―sebut saja Husen―mulai terkantuk-kantuk. Ia mencoba menahan kedua bola matanya, tapi akhirnya tertidur juga. Hanya beberapa kalimat yang sempat ia ingat dalam pengajian malam itu, “bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita dan apa yang kita lakukan tidak lepas dari takdir Allah.”
Malam kian larut―pengajian itu telah usai. Serambi masjid perlahan mulai sepi. Para santri kembali ke kamar masing-masing. Namun Husen masih rebahan di serambi masjid sembari merenungkan uraian Mbah Wahab yang masih ia ingat. Tanpa terasa, waktu berjalan seperti sapi tua di jalan kampung, sudah menunjukkan tengah malam. Sunyi. Husen tersadar, ketika perutnya mulai keroncongan. Ia baru ingat jika sedari sore tadi ia belum makan. Segera Husen mencari-cari makanan, namun dapur telah kosong.
Di tengah rasa lapar yang mencekik dan tidak bisa diajak kompromi, ingatan Husen tertuju pada pohon mangga di pekarangan Mbah Wahab. Buahnya sedang ranum, bergelantungan dan menggoda siapa pun untuk memetiknya. Timbul niat dalam hatinya untuk mengambil beberapa saja―toh ia sedang lapar, dan mangga itu adalah milik kiainya sendiri. Logika Husen berjalan dengan cara aneh; jika lapar adalah takdir, dan mangga itu tumbuh atas kehendak Allah, maka mengambil mangga untuk mengatasi lapar bukankah bagian dari takdir?
Tanpa pikir panjang―cancut taliwondo―Husen segera mengambil sarung, lalu berjalan menuju pekarangan rumah Mbah Wahab. Langit semakin gelap, dan bulan setengah tertutup awan. Dengan hati-hati ia memanjat pohon mangga yang rindang itu. Satu demi satu buah mangga ia petik―dimasukkannya ke dalam sarung yang telah diikat kedua ujungnya. Namun sejurus kemudian sayup-sayup terdengar suara dari bawah pohon,
“Hoi… sopo iku yo, bengi-bengi ngene penekan? Ayo ndang mudun!” (Hoi siapa itu, malam-malam begini malah manjat pohon? Ayo lekas turun!)
Husen terkejut. Ia kenal betul dengan suara itu. Suara Mbah Wahab Chasbullah. Husen pun perlahan turun, sambil tetap menenteng sarung yang penuh dengan mangga.
“Sopo sampean?.” (siapa kamu?), tanya Mbah Wahab.
“Kulo Santri Kiai.” (saya santri kiai)
“Lapo bengi-bengi kok penekan?.” (ngapain malam-malam begini kamu memanjat pohon)
“Niki wau ngunduh pencite Panjenengan.” (ini tadi mengunduh mangga milik Anda)
“Lho… kok ora ngomong aku, berarti sampean lak nyolong!?.” (Lho… kok tidak izin aku dahulu, berarti kamu mencuri), lanjut Mbah Wahab.
Dengan raut muka yang lugu dan suara yang pasrah, Husen menjawab, “Ngapunten Kiai… kulo mundut pencit niki wau lak nggih sebab takdire Allah, sami ugi Allah maringi lesu dhateng kulo.” (Maaf Kiai… saya mengambil mangga ini ikan juga takdirnya Allah, sebagaimana juga ketika Allah memberi rasa lapar kepada saya).
Mbah Wahab diam sejenak, lalu tersenyum tipis, “O ngunu to kang? yo wis nek ngunu tak ikhlasno.” (O begitu ya mas? Ya sudah, saya ikhlaskan).
Perasaan Husen seketika lega. Namun belum sempat ia mengucapkan terima kasih, tiba-tiba Mbah Wahab melepas bakiak di kaki kanannya. Dan… plak! plak! plak! plak! Dipukulinya Husen beberapa kali dengan bakiak.
“Aduh Kiai! Kenapa Kiai memukul saya?.” Husen meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
Dengan wajah nan tenang, Mbah Wahab berkata, “Ikhlasno yo kang, aku gepuki sampean iki yo takdire Gusti Allah.” (Ikhlaskan ya mas, saya memukuli kamu ini juga bagian dari takdirnya Allah)
Husen tercekat. Ia menunduk diam, mencoba merenungi perkataan Mbah Wahab. Rasa sakit di badannya masih terasa, tetapi hatinya menjadi lebih tenang. Perlahan gelembung kesadaran menyergapnya. Ia mengangguk, entah kepada siapa; kepada Mbah Wahab, diri sendiri, ataukah kepada Tuhan yang telah menulis semua peristiwa ini sebelum langit dan bumi diciptakan? Husen paham bahwa ia terlalu menyederhanakan arti takdir.
Malam itu, Husen tak hanya kenyang dengan buah mangga, tapi juga hikmah dan pelajaran tak ternilai. Ia menjadi santri yang lebih berhati-hati―lebih memahami bahwa takdir bukan alasan untuk bersikap fatalistik, tetapi panggilan untuk hidup yang benar. Kalimat “segala sesuatu adalah kehendak Allah” bukanlah argumen untuk membebaskan diri dari kesalahan, namun seruan untuk memahami grand skenario-Nya yang lebih besar, lebih luas, lebih kompleks.
Karena kehendak Allah adalah mutlak―selalu berjalan. Pun segala sesuatu berasal dari-Nya―tetapi Dia telah memberi akal, hati, dan pilihan. Alih-alih bebas, manusia tetap bertanggung jawab atas pilihan―selalu ada konsekuensi atas semua tindakannya. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan:
Tim sejarah Tambakberas, 2017, Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah, Jombang: Pustaka Barul Ulum.
Cerita Almaghfurlah KH. Jamaludin Ahmad Tambakberas
Cerita Almaghfurlah KH. Abdul Azis Manshur Paculgowang.