
Pao Zhuan Yin Yu, demikian bunyi satu dari 36 strategi perang China kuno. Ini adalah strategi nomor 17 yang mempunyai arti: membuat batu bata untuk memikat batu giok, maksudnya adalah “mengorbankan yang kecil untuk mendapatkan yang lebih besar“. Gao Yuan penulis buku-buku serial manajemen menggolongkan strategi ini pada bagian ketiga, strategi penyerangan terhadap musuh.
Bila ditinjau dari paradigma ‘maqasid as-siyasah’, sebenarnya strategi ini mirip dengan strategi ke-15, Diao Hu Li Shan yang artinya, menggiring harimau turun gunung. Esensi semua strategi tersebut bertumpu pada kemampuan untuk memancing musuh agar keluar dari bentengnya yang kokoh. Sehingga ketika keluar, musuh tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Dari situlah penyerangan, gencatan senjata, dan konfrontasi dapat dilakukan untuk meraih kemenangan. Jika demikian, apa hubungannya dengan Gus Dur?
Bulan Maret tahun 2000, sebagai presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPRS No. XXV/1966. Sebuah produk kebijakan yang berisi tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Meski gagasan ini masih dalam taraf wacana, namun saat itu terjadi kegaduhan politik yang luar biasa. Terlebih segenap rival dan lawan politik Gus Dur selalu mencari celah dari setiap tindakan kontroversi presiden dari Ciganjur itu. Tentu, sebuah gagasan tidak akan terlepas dari berbagai pro dan kontra. Meski banyak yang setuju, namun yang menolak juga tidak kalah banyaknya, termasuk dari internal NU sendiri yang notabene basis utama pendukung Gus Dur. Sebut saja nama tokoh NU yang menolak gagasan tersebut, K.H. Yusuf Hasyim (paman Gus Dur) dan Drs. Chalid Mawardi.
Sedikit kilas balik, sudah tak terhitung begitu banyak buku, artikel, jurnal dan kolom yang menguraikan bahaya laten Komunisme, terutama pasca rezim Orde Baru berkuasa dengan pengaruh kekuasaannya di segenap lini pemerintahan Indonesia. Telah berulang kali simposium dan seminar bahaya kebangkitan PKI digelar. Terhitung sejak pembasmian massal anggota dan simpatisan PKI pasca meletusnya tragedi G 30 S/PKI. Penataran P4 juga telah digalakkan di seluruh wilayah Indonesia dengan segala kekuatan, kekuasaan, dan sumber daya rezim Orba yang ada.
Barangkali suara Pak Taufiq Ismail akan serak jika harus berulang kali membacakan puisi bertemakan kekejaman PKI. Kiranya beliau perlu menambahi bab khusus dalam antologi ‘Tirani dan Benteng’, atau membuat buku puisi tersendiri yang menggambarkan kekejaman PKI. Namun di antara variabel tersebut meski bermanfaat terutama dalam pengayaan wacana, sejatinya belum menyentuh substansi, jantung dan urat nadi permasalahan. Masih dalam taraf kajian yang bersifat ‘warning’ dan kewaspadaan semata. Toh yang namanya ideologi, keyakinan, atau isme-isme, termasuk Komunisme, Ateisme, Kapitalisme atau sejenisnya, tidak begitu mudah dihapus di dalam hati dan memori penganutnya. Keyakinan itu akan dan masih bercokol di sebuah negara yang mendeklarasikan landasan ideologinya ber-Ketuhanan yang Maha Esa.
Gus Dur, hamba Allah yang dianugerahi berbagai jenis kecerdasan yang luar biasa itu, selangkah lebih maju daripada hanya sekadar membahasnya dalam kajian teoretis. Ia membuat sebuah gebrakan luar biasa, out of the book. Bila tokoh-tokoh lain hanya berbicara bahaya dan kekejaman komunisme dari perspektif sejarah, maka gebrakan Gus Dur tertuju kepada pengikut Komunisme itu sendiri. Ia menerapkan strategi No. 17 dari 36 dalam strategi perang China kuno, Pao Zhuan Yin Yu. Strategi ini ia realisasikan dengan gagasan pencabutan Tap MPRS No. XXV. Sontak terjadilah pro dan kontra.
Yang kontra dengan kebijakan Gus Dur tersebut sudah jelas dan bisa ditebak. Pasti bukan eks tapol (tahanan politik) PKI dan anak-anak mereka. Sebaliknya bagi mereka yang pro, meski tidak bisa dikatakan sebagai anggota PKI, setidaknya masuk kategori simpatisan. Sehingga setiap ucapan dan gagasannya perlu mendapatkan perhatian lebih. Dan orang cerdas dan mau menggunakan daya pikirnya akan berkesimpulan demikian.
Tentu, Gus Dur tidak akan mengutarakan substansi dan tujuannya dalam mengeluarkan gagasan kontroversial tersebut. Ya, namanya saja strategi, pasti bersifat rahasia. Namun karena berbagai kepentingan di antara elite politik dalam menggoyang kursi kepresidenan Gus Dur, opini pun digiring untuk menjatuhkan nama baik Gus Dur. Akibatnya, publik tidak dapat berpikir secara jernih dalam menyikapi gagasan yang dilontarkan oleh Gus Dur tersebut.
Hanya dengan satu lompatan, seorang Gus Dur telah mengeluarkan target menuju ruang publik. Semua terlihat sedemikian jelasnya, sejelas matahari di siang bolong. Sebuah jenis kecerdasan yang amat langka di tengah berbagai macam kebodohan yang tengah merajalela. Itulah Gus Dur, sosok kontroversial sejati dengan kadar 24 karat. Seseorang yang kami ‘tafsiri’ ide dan gagasannya. Terlepas benar atau tidaknya, meminjam istilah Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholis Madjid) ‘hanya Allah dan Gus Dur jua yang tahu’. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan:
A.Muhaimin Iskandar, 2004, Gus Dur Yang Saya Kenal (Catatan Transisi Demokrasi Kita), LkiS, Yogyakarta.
Al-Zastrouw Ng, 1999, Gus Dur, siapa sih sampeyan?;tafsir teoritik atas tindakan dan pernyataan Gus Dur, Erlangga, Jakarta.
Gao Yuan, 1991, Memancing Harimau Turun; 36 Strategi Perang Cina Kuno, Pustaka Grafiti, Jakarta.