Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Kisah-Kisah Muaz bin Jabal

Saklek dan literal itu kadang lucu, terkadang juga menjengkelkan. Muaz ibn jabal (W. 18 H), masuk Islam umur 18 tahun pada tahun 3 H. Lima tahun kemudian mendapat kepercayaan dari Rasulullah, ia diberi wewenang mengajarkan hukum (kelak dikenal dengan istilah fikih) pada masyarakat Mekah, dan tentu juga hadis dan Alquran.

Rasulullah pernah berkata dengan nada kesaksian dan perintah, “Ambillah alquran dari 4 orang: Ibnu Mas’ud, Muaz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’ab dan Salim maula Abi Hudzaifah”.

Jika al-Buwaiti (W 231 H), murid tertua Imam Syafi’i (W. 204) mendapat apresiasi besar dari para puncak keilmuan di zamannya sebab mendapat restu berfatwa saat gurunya masih hidup, bagaimana dengan Muaz ibn Jabal yang mendapat restu berfatwa dan menjadi hakim di zaman Rasulullah?

Kisah ujian lisan Rasulullah pada Muaz sebelum diutus ke Yaman begitu masyhur diceritakan turun-temurun. Percakapan itu kelak digunakan dasar bahwa Alquran, hadis dan qiyas sebagai hujjah dalam penggalian hukum.

“Muaz, apa tindakanmu saat ada kasus?” Tanya Rasulullah.
“Aku menghukuminya dengan Alquran”
“Jika tidak ada?”
“Dengan Sunnahmu Ya Rasulallah”
“Jika kamu tidak temukan di sana?”
“Aku berijtihad dengan pendapatku dan tidak ceroboh”

Bukan hanya cakap dalam beragama, Jahiz, tokoh sastra raksasa itu menceritakan keatletisan tubuh Muaz, ia berkata “Tidak ada orang yang paling bagus tubuhnya jika dilucuti pakaiannya dari Muaz dan Sahal ibnu Hunaif”. Kenapa dilucuti, ya supaya adil sebab pakaian selalu mendominasi kecantik dan kegagahan seseorang. Kendati demikian, kalau jalan dan berdiri ia tampak beda, sebab kakinya, maaf, pincang (al-A’raj)!

Baca juga:  Wahsyi ibn Harb: Kisah Penuh Emosional Sebuah Pertaubatan

Saat sampai di Yaman, Muaz berkata supaya masyarakat mengikuti cara Muaz dalam beribadah dan bermuamalah. Begitu memang cara paling efektif dalam mengedukasi masyarakat, selain masyarakat mendapat gambaran yang jelas, guru juga dituntut menjadi sempurna untuk menjadi sebuah panutan. Saat shalat, Rasulullah tidak hanya menjelaskan dengan kata-kata tapi juga langsung pada contoh fisik, beliau berkata ,“Salatlah sebagaimana kalian melihat (cara) aku shalat!”.

Ia mencontoh Rasulullah dalam mengajar. Ia pun lalu berkata pada masyarakat, “Janganlah kalian melihat aku mengerjakan sesuatu kecuali kalian kerjakan semisalnya!”

Saat salat, masyarakat menunaikan salat dengan cara berbeda, yaitu salah satu kakinya lebih maju dari yang lain. Tidak lain mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh sang guru, Muaz. Saat salat tunai dan bubar, Muaz berkata, “Kaki saya kayak gitu karena saya pincang, jangan ikut-ikutan seperti itu!”

Andai saja bisa bahasa Jawa Timuran, salah satu kemungkinan yang diucapkan adalah, “ya gak ngono juga maksude reeek!”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top