Sedang Membaca
Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama
Alamsyah M Djafar
Penulis Kolom

Peneliti The Wahid Foundation

Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama

Cak Nur 3

Di tengah upaya mencari beragam solusi mengatasi pelanggaran kemerdekaan beragama berkeyakinan (selanjutnya disingkat KBB) di Indonesia, gagasan “sekularisasi” yang dilontarkan Nurcholis Madjid 50 tahun lalu masih relevan dibicarakan kembali.

Praktik pelanggaran kemerdekaan beragama di Indonesia masih menjadi tantangan cukup serius. Kasus terbaru adalah serangan fisik oleh pelaku yang menyebut sebagai laskar terhadap komunitas Syiah di Solo. Serangan dilakukan karena alasan Syiah aliran sesat (CNN Indonesia, 2020)

Laporan Setara Institute menyebut sebanyak 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 1.060 tindakan, terjadi di era Periode Pertama Presiden Jokowi, November 2014 hingga Oktober 2019 (Kompas.com, 2020). Laporan Wahid Foundation menyebut sepanjang 50 bulan periode Jokowi (November 2014-Desember 2018), Indonesia menghadapi 577 tindakan pelanggaran aktor non-negara atau rata-rata 12 tindakan per bulan. Dari sisi aktor non-negara, terjadi 524 tindakan atau sepuluh tindakan per bulan (Dja’far, 2020).

Dibanding Pemerintahan Sosilo Bambang Yudhoyono, Pemerintahan Joko Widodo periode pertama memiliki peta kebijakan yang jelas dalam mengatasi KBB. Kebijakan itu dimuat dalam Nawacita (sembilan agenda), visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pilpres 2014. Setelah terpilih, visi itu dimasukkan dalam RPJMN 2015-2019.

Sejauh ini, pelanggaran KBB masih belum berkurang drastis, meskipun memiliki pergeseran pola dan jumlah pelanggaran. Muncul pertanyaan, mengapa usaha menjamin KBB ini masih terus menghadapi kesulitan meski pemerintahan berganti? Apakah ada problem struktural yang tidak berubah dan dihadapi setiap pemerintahan?

Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja tidak dapat mengabaikan bergitu saja faktor kepemimpinan yang memainkan peran penting. Namun demikian, diskusi dalam tulisan ini akan lebih fokus mendiskusikan problem struktural yang dihadapi. Jawaban “sementara” atas pertanyaan ini adalah karena negara masih memilih untuk bersikap tidak netral terhadap posisi agama dan keyakinan yang di Indonesia.

Sikap negara ini dapat dilihat melalui putusan MK tentang UU No 1 PNPS 1965 pada 2010. Menurut MK, meskipun meyakini suatu agama atau menafsirkan ajaran agama merupakan bagian dari forum internum, hak dasar internal setiap individu, tapi tidak imun dari pengaruh lingkungan (Putusan No. 140/PUU-VII/2009, 2010)

Menurut MK, sengaja menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan atas penafsiran merupakan ranah forum externum, ekspresi dan implementasi atas forum internum. Pemerintah dapat membatasi penafsiran atau kegiatan menyimpang yang dapat menimbulkan keresahan. Melalui Putusan ini, negara juga tetap melanggengkan posisi penghayat kepercayaan sebagai komunitas yang bukan kategori agama, terutama lima agama utama.

Baca juga:  Pandemi dan Campur Tangan Manusia

Tentu saja tidak semua putusan MK “bermasalah” dalam kacamata hak asasi manusia. Salah satu keputusan yang penting dalam putusan ini adalah bahwa MK menyatakan negara tidak memiliki hak atau kewenangan untuk mengakui eksistensi suatu agama. Bagaimana pelaksanaan di lapangan, memang masih menjadi tanda tanya. Apalagi Indonesia masih memiliki UU Adminduk yang menyebut istilah “agama yang belum di akui”, termasuk posisi penghayat kepercayaan yang berbeda dengan agama.

Putusan MK pada 2017 tentang Penghayat Kepercayaan menggemberikan karena memberi kepastian tentang kemerdekaan menjalankan keyakinan mereka (Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, 2017). Penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom kepercayaan dalam KTP elektronik. Tetapi putusan itu tidak mengubah posisi penghayat kepercayaan yang memang dibedakan dengan agama. Pengisian kolom agama juga hanya kembali pada situasi sebelum Adminduk disahkan.  Setelah putusan MK tahun 2010, setidaknya tiga uji materi terhadap pasal-pasal dalam UU tersebut yang diajukan. Hasilnya, MK menolak ketiganya dan kembali menegaskan putusan tahun 2010.

Sikap negara ini memiliki konsekuensi lanjut yang dapat kita lihat dalam perjalanan berikutnya. Negara berhak menyatakan apakah sebuah penafsiran dan ekspresi keagamaan menodai agama atau tidak. Sikap itu dilakukan dengan “meminjam” sikap komunitas agama seperti terjadi dalam banyak kasus-kasus penodaan agama selama ini.

Jika negara dapat memutuskan sesat-tidaknya, apalagi dengan usaha-usaha memasukkan “rasa agama” dalam tata kelola pemerintahan. Jika sebelumnya Indonesia “dibanjiri” perda syariat, belakangan berkembang tren kebijakan kepala daerah agar shalat tepat waktu. Inilah situasi yang kita hadapi sekarang.

Sikap negara semacam ini tampaknya hal yang menjadi sasaran kritik Cak Nur dalam gagasan sekularisasinya. Menurut Cak Nur, sekularisasi adalah “…setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal (Madjid, 2019b).

Sekularisasi menurut Cak Nur juga tidak ditujukan untuk mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. “Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.”  Sembari mengutip Harvey Cox, profesor dari Harvard University, yang menyatakan sekularisasi usaha untuk membebaskan masyarakat dan kebudayaan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup, Cak Nur jelas sekali membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Usaha sekularisasi dengan demikian dapat dilakukan tanpa sekularisme (Madjid, 2019b).

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis Cak Nur, Pak Amien, Buya Syafi'i

Hemat penulis, usaha negara menentukan sesat tidaknya keyakinan sebagaimana posisi putusan MK sebentuk usaha negara mengukhrawikan hal yang sebetulnya duniawi. Keyakinan urusan Tuhan, bukan urusan negara. Cak Nur memang menyadari kontroversi penggunaan istilah ini, termasuk “sekuler” dan sekularisme dan akan bijak untuk mencari “istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral”. Namun, pernyataan ini tidak berarti menghilangkan substansi gagasan ini (Madjid, 2019c).

Dalam kajian KBB belakangan, usaha mempertentangkan negara agama dan negara sekuler, dalam pengertian sekularisme, sebagai ukuran kuat tidaknya jaminan kebebasan beragama mulai kehilangan relevansinya. Baik negara agama maupun sekuler dapat sama-sama menurunkan kebebasan beragama. Dalam diskursus HAM, masalah jaminan KBB memang bukan terletak apakah sebuah negara memilih dasar agama atau sekuler, melainkan apakah sistem itu dapat menjamin tidak terjadinya diskirminasi terhadap pemeluk agama atau komnitas kepercayaan lainnya. Negara Islam atau Negara Sekuler merupakan sistem negara yang dapat diterima sebagai kenyataan sejarah dan konteks partikular HAM.

W. Cole Durham Junior, Direktur International Center for Law and Religion Studies Brigham Young University mengajukan pandangan agar jaminan KBB dan posisi negara atas agama dilihat dalam dalam kontinum yang lebih luas. Ia membentang dari sistem negara yang mengidentifikasi secara positif atas agama seperti (sistem teokrasi, pengakuan atas agama negara), terus melintasi berbagai jenis netralitas negara terhadap agama, hingga pada identifikasi negatif terhadap agama (seperti sistem komunis yang “memusuhi” agama). Merosotnya jaminan KBB, kata Cole Durham Junior, terjadi melalui sistem yang identifikasi secara positif atau negatif yang berlebihan dari negara terhadap agama dan bukan semata-mata apakah memilih sistem sekuler atau agama (Durham Jr, 2012).

Seperti halnya Cak Nur, Cole Durham Junior juga membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Ia memilih, tepatnya mengatakan sekularitas (secularity) sebagai pilihan terbaik dalam menjamin KBB. Sekularitas itu diartikan sebagai pendekatan hubungan agama-negara yang menghindari identifikasi negara dengan agama atau ideologi tertentu (termasuk sekularisme itu sendiri) dan yang menyediakan kerangka kerja yang bersifat netral dan mampu mengakomodasi atau bekerja sama dengan beragam agama dan kepercayaan.

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (1): Menelaah Disertasi Cak Nur Tentang Ibnu Taimiyah

Sekularitas ini bukan hanya pilihan tepat, melainkan realistis. Usaha-usaha menolak agama “masuk” dan mempengaruhi kehidupan politik dan publik, hampir mustahil. Lihat saja hasil Survei Pew Research Center yang dirilis Juli 2020. Sebanyak 98 persen responden di Indonesia menyatakan agama penting bagi hidup mereka. Dengan angka ini, Indonesia menempati peringkat pertama negara paling religius dari 33 negara lain di jagat raya ini (Tamir et al., 2020).

Fenomena mempengaruhi negara oleh agama hingga batas terjauh mengingatkan kita pada istilah yang disebut Jeremy Menchik peneliti dan akademisi tentang Indonesia asal Universitas Boston, sebagai “pengkudusan negara” (sacralizing of the state). Ia mendefinisikannya sebagai usaha melapiskan hukum dan peraturan administratif ke sistem negara sekuler demi mempromosikan kepatuhan individu kepada nilai-nilai agama, identifikasi komunal dengan komunitas agama, dan negara, yang memprioritaskan keyakinan agama sebagai bagian penting dari identitas nasional dan demi berfungsinya lembaga-lembaga sosial-politik (Menchik, 2018).

Pengudusan ini tidak bertujuan agar negara menjadi objek pemujaan, tetapi menjadikan negara saluran bagi kepercayaan individu dan kolektif. Fenomena perda Syariah, imbauan shalat tepat waktu, dan regulasi-regulasi keagamaan dapat dikatakan sebagai produk dari pengkudusan negara. Dalam situasi semacam inilah usaha-usaha “sekularisasi” Cak Nur sekarang ini penting dipertimbangkan dan terus diperjuangkan. Tujuannya agar berbagai kebijakan-kebijakan yang ada tidak melanggar kebebasan warga negara, terutama kelompok minoritas.

Masalah-masalah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut Cak Nur dapat diatasi dengan berpijak pada nilai-nilai agama, asalkan berbasis pada “prinsip-prinsip umum syariat dan mempertimbangkan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat” (Madjid, 2019a).

Pandangan Cak Nur ini akan menghadapi tantangan lebih kompleks lagi ketika berhadapan dengan kasus-kasus di lapangan yang akan kita hadapi di masa-masa depan. Di masa lalu kita menghadapi kasus-kasus munculnya regulasi zakat, jaminan produk halal, perda bernuansa agama. Pertanyaannya apakah kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip umum syariat dan kepentingan umum serta kesejahteraan masyarakat?

Di level inilah “ketegangan abadi” tersebut akan berlangsung. Di level ini kita akan terus menegosiasikan mana hal-hal yang dapat dinegosisiasikan dan tidak berdasarkan apa yang sama-sama kita pahami berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Inilah pekerjaan rumah kita berikutnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top