Sedang Membaca
Mengkritik Gus Dur Pasca Lengser dari Ketum PBNU
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Mengkritik Gus Dur Pasca Lengser dari Ketum PBNU

Mengkritik Gus Dur Pasca Lengser dari Ketum PBNU

Bagi sebagian orang mengkritik kebijakan feodal para pemangku pesantren dan keluarganya merupakan suatu hal yang tabu untuk dilakukan, namun hal itu berbeda dalam diri Gus Dur. Beliau menerima berbagai kritikan yang ditujukan kepadanya. Sikap kritis yang beliau kembangkan di lingkungan Nahdhiyyin tersebut ternyata cukup efektif dalam mendobrak wajah baru NU kedepan.

Walhasil, banyak para kaum muda intelektual NU yang cukup kritis dengan mengkritik berbagai kebijakan beliau selama tiga periode menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Tokoh-tokoh intelektual muda yang kini memainkan perannya sebagai pemimpin di struktural NU dan PKB salah satunya adalah sebagai berikut, Ulil Abshar Abdalla, Yahya Cholil Tsaquf, Ellyasa KH. Darwis, Al Zastrouw Ngatawi, Abdul Mun’im DZ, dan A. Muhaimin Iskandar.

Dalam sebuah buku berjudul “NU Pasca Gus Dur” para intelektual muda NU tersebut mengkritisi berbagai kebijakan Gus Dur dalam lingkup NU secara struktural yang kala itu bias dibilang mengalami kejumudan. Sebagaimana dituturkan oleh Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) bahwa para Kiai yang ada dalam struktural Syuriah PBNU kala itu memaksimalkan kharisma Gus Dur yang mana posisi Syuriah tentunya berada di atas Tanfidziyah.

Namun hal tersebut berbalik dengan realita dan keadaan demikian menurut Gus Ulil dapat menyebabkan kesekjenan dalam struktural PBNU mengalami disfungsionalisasi. Hal tersebut ditambah dengan mistifikasi sosok Gus Dur yang dilakukan oleh sebagian orang dan hal ini yang dapat menambah jarak antara para Kiai dan Gus Dur, sehingga berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Gus Dur sulit dikontrol serta terkesan dinormalisasi.

Baca juga:  Risalatul Makhid, Kitab Fiqih Wanita Klasik yang Eksotis

Pernyataan yang sama juga diutarakan oleh Gus Yahya yang kini menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU, menurutnya dominasi “Gus Dur” dapat mematikan unsur – unsur kepemimpinan yang lain dalam internal NU. Yang pada puncaknya, KH. R. As’ad Syasmsul Arifin Sukorejo, Situbondo melakukan mufaroqoh dari NU struktural karena beberapa kebijakan Gus Dur yang dianggap “nyeleneh” dan menyalahi keilmuan Kiai As’ad dan beberapa kiai sepuh lainnya.  A

bdul Mun’im DZ pun juga menanggapi hal yang serupa mengenai dominasi “Gus Dur”, menurutnya pemimpin sekaliber KH. Abdurrahman Wahid kala itu didampingi oleh tokoh – tokoh ternama seperti KH. Wahid Zaini, Fahmi Saifuddin, dan KH. Ahmad Musthofa Bisri, namun dikarenakan dominasi kharismatik “Gus Dur” dan kelemahannya dalam mendistribusikan peran tokoh – tokoh pembantunya sehingga ketokohan para pembantu Gus Dur terdistorsi dengan sendirinya.

Adapun menurut Al – Zastrouw Ngatawi, keterbukaan dan perombakan secara struktural yang dilakukan oleh Gus Dur bukannya menimbulkan kemajuan yang berkelanjutan. Akan tetapi menimbulkan titik balik laju perubahan yang hendak dibangunnya. Titik balik yang dimaksud olehnya adalah timbulnya pluralitas kepentingan yang berbaur menjadi satu, berkelit dan berkelindan antara satu dengan lainnya hingga tidak terkontrol dengan baik oleh Gus Dur. Selain itu, sikap Gus Dur yang terbuka dan menerima siapa saja membuat semua orang memiliki akses dengan Gus Dur secara langsung, sehingga terjadi benturan yang cukup tajam antara orang – orang yang berada pada circle Gus Dur.

Baca juga:  Agama dan Pendidikan dalam Naskah Qawa'idul Islam wal Iman.

Berbeda dengan Ellyasa KH. Darwis, ia dalam buku ini cukup tajam mempertanyakan peran Gus Dur dalam sistem perpolitikan nasional Orde Baru yang kala itu menerapkan Azas Pancasila sebagai panduan bernegara dan berorganisasi. Selain melakukan manuver – maneuver  kritikan pemerintahan Orde Baru bersama dengan kalangan pro demokrasi yang dipimpinnya, sikap Gus Dur yang ambigu terkadang juga membingungkan para pengikutnya yang tergabung dalam asosiasi rakyat pro demokrasi tersebut.

Bagaimana tidak? menjelang musim kampanye tahun 1997, Gus Dur menggandeng Mbak Tutut (Hj. Siti Hardiyanti Indra Rukmana) yang kala itu menjabat sebagai ketua umum Golkar dalam acara istighosah yang diselenggarakan di berbagai daerah. Hal demikian yang menurut Ellyasa akhirya menimbulkan pola pikir Gus Dur sebagai bagian representasi dari civil society serta Mbak Tutut sebagai representasi dari status quo, bagian dari state organism. Sehingga secara etis, intelektual Gus Dur yang selalu memperjuangkan masyarakat sipil dan memperjuangkan demokrasi politik patut dipertanyakan kembali.

Sedangkan Cak Imin dalam buku ini mengutarakan sebuah kritikan kepada Gus Dur, bahwa lambannya gerak dinamika yang dilakukan oleh tokoh – tokoh lain dalam lingkup internal PBNU kala itu merupakan bukti akan kuatnya figur Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah dalam tiga periode. Berbagai kelambanan dan kelelahan yang terjadi selama era Gus Dur menahkodai NU menurut Cak Imin menjadi sebuah konsekuensi dari semangat independensi di bawah kepemimpinan Gus Dur.

Baca juga:  Kitab Jadawilul Fushul fi Ilmil Ushul: Belajar Ushul Fikih Lebih Mudah dengan Karya Kiai Muhammad Afifuddin Dimyathi

Sebagai penutup, Gus Mus memberikan sebuah epilog, kritik biasanya menunjuk kelemahan orang yang dikritik dan kelemahan Gus Dur – seperti kelemahan Bung Karno, Pak Harto, dan Pak Idham – adalah kebesarannya. Kebesarannya mengecilkan yang lain dan pada gilirannya itu semakin membesarkannya. Kemudian, dan ini yang gawat, karena kebesarannya itu bisa mengecilkan atau paling tidak menghalang-halangi orang yang melihat NU – nya sendiri. Sehingga orang berbicara soal NU pun akan bermula dan berputar-putar belaka di seputar kebesaran Gus Dur dan sekaligus tidak memikirkan keterbatasannya.

Waba’du, buku ini merupakan catatan menarik yang patut dikaji kembali oleh para pecinta pemikiran Gus Dur (GUSDURian) yang mana buku ini merupakan refleksi dari kaum muda intelek NU pasca Gus Dur lengser sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top