Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Istighotsah Dzikrus Syafa’ah: Bukti Totalitas Khidmah Santri kepada Kiai

Istighotsah Dzikrus Syafa’ah: Bukti Totalitas Khidmah Santri kepada Kiai

Istighosah merupakan salah satu sarana memohon pertolongan kepada Allah ketika dalam keadaan sukar dan sulit yang bentuk pengaplikasiannya bisa dengan berdo’a kepada Allah melalui perantara kedudukan para nabi dan sholihin, namun istighotsah juga dapat dilakukan dengan membaca kalimat-kalimat thayyibah dengan bilangan tertentu.

Sudah menjadi hal umum di kalangan kaum nahdhiyyin bahwa praktik pelaksanaan istighotsah dilakukan dengan membaca beberapa wirid dan kalimat thayyibah, seperti shighot istighotsah susunan K.H. Romly Tamim Jombang yang biasa dibaca oleh kalangan NU dan dikenal sebagai Istighotsah Nahdhiyyin.

Namun, jika kita temukan di kawasan tapal kuda (karisidenan Besuki/Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo) bacaan istighotsah yang dibaca memiliki perbedaan shigot atau susunan dengan istighotsah pada umumnya dibaca oleh kalangan nahdhiyyin. Adalah Istighotsah Dzikrus Syafa’ah merupakan istighotsah hasil susunan Kiai Abdul Mu’in yang mana beliau merupakan santri generasi pertama (1950 – 1955) Pondok Pesantren Blokagung Banyuwangi dan kala itu diasuh oleh K.H. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur atau kerap disapa Kiai Syafa’at / Mbah Pangat.

Istighotsah ini merupakan salah satu warisan Kiai Syafa’at yang dipergunakan oleh masyarakat sampai kini sebagaimana yang dituliskan dalam biografi beliau (Fauzinuddin Faiz : 2015). Selain menjadi salah satu warisan Kiai Syafa’at, istighosah ini merupakan salah satu bukti akan totalitas Kiai Mu’in dalam khidmah kepada gurunya / Kiai Syafa’at.

Baca juga:  Sastra (Pesantren), Bukan Sekadar Bercerita

Awal mula penyusunan istighotsah ini bermula pada suatu malam, Kiai Mu’in bermimpi berjumpa dengan gurunya, Kiai Syafa’at. Dalam mimpi tersebut Kiai Mu’in yang juga mendirikan pesantren Darul Amien, Gembolo, Banyuwangi diberikan secarik kertas oleh Kiai Syafa’at guna dibukanya. Setelah dibuka, kertas tersebut berisi shighot istighotsah yang dibuka dengan surah Al-Fatihah dan Ayat Kursi dan bacaan istighotsah tersebut ditutup dengan kalimat thayyibah “Yaa Hayyu Yaa Qoyyum bika astaghits Laa ilaha illa Anta”.

Esoknya, Kiai Mu’in pun menuliskan kembali istighotsah ini sebagaimana yang ia terima di alam mimpi dari gurunya Kiai Syafa’at.[1] Selain itu dalam penyusunanya, Dzikrus Syafa’ah ini juga meliputi amaliyah yang ijazahnya didapatkan oleh Kiai Mu’in dari beberapa Kiai,antara lain : Kiai Mukhtar Bangkalan Al – Maduri, Kiai Farouq Muhammad Al-Jimbari, dan Kiai Hasyim Syafa’at Al-Balaghi / putra kedua Kiai Syafa’at dari Ibu Nyai Hj. Maryam dan penyusunan Dzikrus Syafa’ah ini diselesaikan pada hari Jum’at Pon tanggal 20 Shafar 1426 H / 01 April 2005.

Kiai Mu’in sendiri selama nyantri di Blokagung sudah menunjukkan khidmah / pengabdiannya kepada Kiai Syafa’at. Selain menjadi muadzin pada masjid Pesantren Darussalam, beliau lah yang dahulu kala mengasuh putra pertama Kyai Syafa’at yang bernama Ahmad Hisyam (KH. Ahmad Hisyam Syafa’at, pengasuh Pesantren Blokagung sekarang).[2] Sebagai bentuk balas jasa, Kiai Syafa’at pun di tahun 1964 ikut membantu santrinya tersebut dalam merintis pesantren Gembolo dengan mengusir beberapa makhluk halus yang mendiami sekitar pesantren.[3]

Baca juga:  Kiai Husein Muhammad dan Wajah Islam di Tengah Keberagaman Tafsir Al-Qur’an

Dan untuk melestarikan istighotsah dari Kiai Syafa’at yang kala itu sudah wafat pada tahun 1991, beberapa Kiai daerah Banyuwangi termasuk Kiai Mu’in merintis sebuah majelis istighotsah Dzikrus Syafa’ah putihan (karena mayoritas jama’ahnya memakai busana serba putih) pada tahun 2006 yang rutinannya diselenggarakan secara bergilir tiap hari Ahad Pahing. Kini majelis istighotsah tersebut dipimpin oleh KH. Ahmad Hasyim Syafa’at dan majelis istighotsah tersebut sekarang memiliki kantor pusat yang beralamatkan desa Benculuk, kecamatan Cluring, kabupaten Banyuwangi-Jawa Timur. Wallahu A’lam Bishowwab.

[1] Mbah Zainuddin (santri Kiai Mu’in generasi pertama asal Semarang, Jawa Tengah), Wawancara : 2021.

[2] Ny. Hj. Rofi’atul Bariroh / Mbah Nyai Sepuh (istri Kiai Mu’in), Wawancara : 2022.

[3] KH. Damanhuri (pengasuh Pesantren Darul Amien Gembolo sekarang), Wawancara : 2022)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top