Indonesia adalah hasil dari mufakat dari sekian etnis dan ragam umat beragama. Keputusan itu sudah final sejak didirikannya negara republik ini. NKRI sebagai Negaranya Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi landasannya.
Namun, meski sudah menjadi keputusan final, sejak dulu umat Islam (awwam) dengan segala kepolosannya sering bersikap “triumfalisme” secara ngedeng atau terang-terangan. (Triumfalisme: sebuah asumsi bahwa agama yang dikenakannya itu paling baik dan mengungguli agama lain). Padahal kalaupun sikap triumfalisme itu merupakan sebuah keharusan dalam Islam seharusnya tidak dilakukan secara terang-terangan. Cukup dalam hati saja sebagai penguat keimanan.
Pemikiran liberal ini (triumfalisme akut) sering terjadi di kalangan umat Islam sejak dulu. Adalah bahwa dirinya paling baik. Dan meskipun melakukan keburukan, keburukan itu dianggap sesuatu yang biasa. Namun sebaliknya, jika yang melakukannya Non Muslim, sebaik apapun tidak bernilai baik dihadapan orang Islam.
Sikap triumfalisme jihary yang salah diartikan sebagai sesuatu yang benar di era dulu sampai modern ini mengakibatkan kurangnya sikap toleransi umat beragama di Indonesia.
Padahal dalam Al-Quran (60/8-9) disebutkan jelas demikian:
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kalian umat Islam kepada orang-orang non muslim yang tidak memerangi kalian dalam (persoalan agama) dan tidak mengusir kalian dari rumah kalian untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat keadilan (8). Yang Allah larang ialah untuk berbuat asih kepada mereka (orang-orang non muslim) yang memerangi kalian dalam urusan agama dan terang-terangan mengusir kalian, orang-orang (muslim) yang berbuat asih dengan mereka adalah merupakan orang-orang dzalim (9).”
Ayat tersebut merujuk pada bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dengan umat agama lain. Bagaimana seharusnya umat Islam bersikap baik dan berbuat keadilan. Dan umat Islam selama ini salah menyikapi diri terkait sikap triumfalisme itu, dengan memproklamirkannya secara jihary. Sikap toleransi dan saling menghargai antar umat beragama saat ini harus ditingkatkan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir (700-774 M) memberikan beberapa contoh terkait dengan korelasi dua ayat tersebut.
Diantaranya riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M): “Menceritakan kepadaku ‘Arim, menceritakan kepadaku Abdullah bin Al-Mubarak, menceritakan kepadaku Mus’ab bin Tsabit, menceritakan kepadaku ‘Amir bin Abdullah bin Zubair dari Ayahnya berkata: Qutailah (istri Abu Bakar) mendatangi anaknya Asma binti Abu Bakar dengan membawa beberapa hadiah. Sedang Qutailah ialah seorang Musyrik. Asma tidak menerima hadiah darinya dan masuk ke rumahnya. Aisyah menanyakan perihal kejadian tersebut kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat (60/8-9) dan Nabi memerintahkan Asma untuk menerima hadiahnya dan membawanya masuk ke dalam rumahnya.”
Dari riwayat tersebut dapat diambil ibrah, bahwa toleransi itu sangat ditekankan dalam Islam. Sifat triumfalisme akut harus dihindari apalagi jika dilakukan secara terang-terangan dan sampai berbuat kerusakan.
Keadilan Rasulullah terhadap Non Muslim
Kejadian ini berkenaan dengan salah satu peristiwa yang di zaman sekarangpun sering terjadi. “Hoaks” atau informasi tidak benar yang disebar seakan-akan benar, pernah juga terjadi di zaman Nabi.
Tertulis jelas dalam dan Hasyiah As-Sawi ‘ala Tafsir Jalalain karangan Ahmad Al-Sawi (1175-1241 H) dalam menafsiri ayat surat An-Nisa (4/105-113).
Hal itu bermula dengan seorang muslim Bani Dzufr yang bernama Thi’mah bin Ubairiq mencuri baju perang (Ad-Dir’) dari rumah tetangganya, Qatadah. (Perlu diketahui terlebih dahulu baju perang zaman dahulu itu sangat mahal harganya karena biasanya baju tersebut dilapisi emas atau perak).
Thi’mah pada saat itu kurang memperhatikan bahwa baju perang yang ia curi dari tempat tepung meninggalkan bekas tepung yang tercecer. Thi’mah yang panik setelah mengetahui ada bekas tepung yang tercecer itu kemudian menitipkan baju perang tadi pada seoarang Yahudi bernama Zaid bin As-Samin. Di sinilah “Hoaks” atau fitnah itu terjadi.
Qatadah (pemilik baju perang) yang mengetahui baju perangnya telah dicuri mendapati jejak tepung dan mengikutinya, sehingga sampai di tempat si Zaid (Yahudi) tadi. Zaid yang tidak tahu menahu baju perang itu adalah curian bingung, dan mengatakan baju itu adalah titipan dari Thi’mah. Apa yang dikatakan Zaid dibenarkan oleh kaumnya.
Kaum Thi’mah yang mengetahuinya mengatakan: “Bagaimana kalau kita pergi ke Rasulullah dan meminta pendapat beliau”. Kaum Thi’mah pada saat itu berencana berbohong terhadap Nabi dengan mengatakan bahwa Zaid si Yahudilah yang mencurinya. Nabi yang belum mengetahui akar dari hoaks tersebut hampir percaya sampai Allah menurunkan ayat surat An-Nisa (4/105-113). Setelah diputuskan bersalahnya Thi’mah lewat ayat tersebut, dikisahkan Thi’mah melarikan diri ke kota Mekkah dan keluar dari agama Islam.
Dari kejadian tersebut kita dapat menyimpulkan beberapa hal diantaranya:
Pertama, sangat mengerikannya hoaks yang terstruktur sampai hampir bisa membuat seorang penjahat lolos dan menyalahkan yang tidak salah.
Kedua, Nabi Muhammad diperintahkan untuk bersikap adil terhadap Non Muslim, menunjukan Islam agama tidak memandang rendah agama lain. Bersikap tegas dan adil terhadap siapapun dari agama manapun.
Sumber bacaan:
Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sawi. 2013. Hasyiyah Al-Sawi ‘ala Tafsir Jalalain Jilid 1. Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Abi Al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir. 1999. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. KSA: Daar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’