Sedang Membaca
Ilmu Al-Qur’an (2): Keadaan Masyarakat Arab Ketika Al-Qur’an Turun
Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Ilmu Al-Qur’an (2): Keadaan Masyarakat Arab Ketika Al-Qur’an Turun

Whatsapp Image 2021 07 26 At 22.44.59

Bangsa Arab pada masa sebelum Islam turun dibawa Nabi Muhammad Saw sebagai rasul terkenal dengan nama bangsa “jahiliyah” atau bangsa yang bodoh. Ke-jahilan bangsa Arab tersebut bukanlah karena mereka benar-benar nihil pengetahuan, melainkan karena sikap mereka yang buruk. Kebodohan tersebut diantaranya ialah mereka yang suka membunuh dan mengubur hidup-hidup anak kecil (perempuan).

Meski demikian, ke-jahilan bangsa Arab saat itu tidak berlaku untuk tata kebahasaan mereka. Bangsa Arab adalah bangsa yang kaya akan syair-syair, sajak  serta gubahan-gubahan indah ber-balaghah tinggi. Pada saat itulah Islam datang dibawa oleh Nabi Saw dengan Al-Quran sebagai antitesisnya.  Tepat sekali Allah menurunkan Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw ke dataran bangsa yang notabene “maju” dalam hal kebahasaan.

Syekh Muhammad Fatih Ustmani dalam kitabnya yang berjudul Al-Madkhal ila Tarikh al-Islamy (hlm:232 cet, Dar al-Nafais, Libanon) menyampaikan demikian:

لكن الامة العربية بظروفها الجغرافية والاجتماعية والاقتصادية والسياسية والفكرية كانت خير بيئة تحتضن الاسلام, وصدق الله العظيم (الله اعلم حيث يجعل رسالته)

“Sungguh bangsa Arab dengan wadahnya (berupa) letak geografis, (keadaan) masyarakat, ekonomi, politik serta pemikirannya merupakan tempat terbaik di mana Islam turun untuk pertama kali. Dan sungguh benar (petikan) firman Allah (6:124): Allah lebih tahu di mana tempat terbaik untuk menurunkan risalah-Nya.”

Ya, Al-Qur’an turun dengan berbahasa Arab fasih. Pada masa di mana keautentikan dan ke-balagh-an kata-kata  menjadi bak sebongkah emas.  Bangsa Arab saling menyombongkan diri dengan syair-syair mereka sampai pada titik di mana mereka akan rela “sujud”, menghormati terhadap rumah yang terpajang di depannya syair yang ber-balaghah tinggi (memiliki kata-kata indah). Mereka, bangsa Arab sering kali menggantungkan syair-syair (yang mereka agung-agungkan) pada Ka’bah, sebagai penghormatan kepada sang penyair. Kita mengenal syair-syair Imru al-Qais (al-Majnun Laila) merupakan salah satu dari sekian penyair masa jahiliyah.

Baca juga:  Sejarah Kodifikasi Tafsir Al-Qur’an dari Masa ke Masa

Meski demikian, keadaan tersebut tidak malah membuat Islam dengan Al-Qur’an mudah diterima di tengah masyarakat Arab. Alih-alih dengan kefashihan bahasa mereka mudah menerima Al-Qur’an, mereka malah (banyak sekali) yang menentang Al-Qur’an sebagai firman Tuhan secara terang-terangan. Meski kemudian mereka tidak mampu melawan Al-Qur’an, mereka mengingkari keutamaan Al-Qur’an dan tetap dalam keyakinan mereka.

Padahal jika memang mereka mampu, sudah sejak dahulu Allah lewat Al-Qur’an menantang mereka untuk yang mendatangkan sesuatu yang “sama persis” sebanding dengan Al-Qur’an

قل لئن اجتمعت االانس والجن على ان يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا

“Katakanlah (wahai Muhammad): apabila seluruh manusia dan jin (bersatu) untuk mendatangkan yang sama persis dengan Al-Qur’an, mereka tidak akan mampu mendatangkannya, meski satu sama lain (dari mereka) bekerja sama” (Al-Isra’ (17):88)

Tantangan tersebut pun berlanjut dari yang semula satu “utuh” yang sama persis dengan Al-Qur’an, sepuluh surat yang sama dengan Al-Qur’an ( Hud (11):13), bahkan sampai satu surat yang sama dengan yang ada dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah (02):23). Namun, sebisa mungkin mereka menolak keberadaan Al-Qur’an sebagai firman Allah dengan membuat “hoaks” diantara mereka. Mereka membual terhadap Al-Qur’an dengan mengatakannya merupakan syair yang dibuat Nabi Saw (Yasin (36):69), ucapan dukun (Al-Haqah (69):42), ucapan umat terdahulu (Al-Ankabut (29):49) ataupun ucapan yang dibuat-buat seolah dari Tuhan (Al-Haqah (69):44-46). Semua itu mereka lakukan karena mereka tidak mau mengakui Nabi Saw sebagai utusan Allah.

Baca juga:  Menelusuri Hikmah di Balik Kalimat Tasbih dalam Surah Al-Isra'

Janji Allah Menjaga Keaslian Al-Qur’an

Salah satu keistimewaan yang diberikan Allah terhadap Al-Qur’an sebagai kitab yang terakhir turun ialah Allah sendiri yang berjanji menjaga keasrian Al-Qur’an.

انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون

“Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan kami (pula) yang akan menjaganya” (Al-Hijr (15): 09)

Tidak hanya itu, Allah juga memberikan mandat kepada Nabi Saw untuk menjaga dan menjelaskannya kepada khalayak (An-Nahl (16):44). Semua yang ada dalam Al-Qur’an meliputi hukum-hukum syariat, perumpamaan-perumpamaan (matsal), perjalanan serta kisah umat-umat terdahulu, ilmu-ilmu Nature (alam)  dan hal lainnya merupakan sekian diantara isi kandungan Al-Qur’an yang tidak mungkin untuk ditiru oleh ilmu manusia.

Syekh Alawi bin Abbas Al-Maliki dalam kitabnya Fayd al-Khabir wa Khulasah at-Taqrir (hlm: 30 cet, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah), sebuah kitab yang berisi terkait penjelasan Ilmu Ushul At-Tafsir menyifati Al-Qur’an kira-kira diantaranya (dengan ucapan) demikian:

“Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan rekreasi bagi jiwa, dan obat bagi hati. Merupakan kitab yang abadi dan terjaga (dari Tahrif). Tidak ada penghapusan bagi hukum-hukumnya. Maknanya (secara keseluruhan) tidak bisa dijangkau dan dipahami oleh nalar manusia. Layak untuk seluruh umat. Menanggung kebahagiaan di setiap waktu dan tempat. Rangkaian (di dalamnya) indah, ayat-ayatnya tersusun rapi, fasilah-fasilahnya menakjubkan, tidak mungkin bagi kita untuk membuka rahasia-rahasia di dalamnya. Umat-umat diberi cobaan sedang Al-Quran tetap dalam keagungan, masa silih berganti sedang  Al-Qur’an tetap dalam keadaannya yang terjaga”.

Al-Qur’an adalah mukjizat abadi milik Nabi Saw yang tidak dapat dibantah lagi keabsahannya. Seharusnya seluruh bangsa Arab (pada saat itu) dapat menerimanya dengan sepenuh hati. Namun, apa yang terjadi?. Sebagian bangsa Arab (saat itu) tetap mengingkari Al-Qur’an meski dengan pengetahuan kebahasaan mereka yang mumpuni. Dan dapat disimpulkan inti dari agama adalah keyakinan (iman). Meski dengan bukti sekonkrit apapun, selagi hidayah tidak turun maka yang muncul tetap hanyalah keingkaran dan penyangkalan dengan cara apapun.

Baca juga:  Tafsir Surah al-Fatihah (8): Perbedaan Cara Baca Lafal Malik dan Hikmahnya

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top