Sedang Membaca
Warisan Tasawuf Buya Hamka

Alumnus Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan saat ini menjadi Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta.

Warisan Tasawuf Buya Hamka

Masyarakat telah mengenalnya dengan sebutan Buya Hamka, sebuah akronim dari nama aslinya Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka adalah seorang pria kelahiran Sumatra Barat pada tanggal 13 Muharram 1362 H, atau bertepatan dengan 17 Februari 1908. Sampai saat ini, kontribusinya terhadap Agama dan Negara masih selalu segar di ingatan.

Beliau adalah ulama karismatik yang dimiliki Indonesia dengan segudang warisan karya dan segala pemikiran. Beliau adalah sosok cendekiawan yang multitalent, karena beliau bukan hanya menjadi pendakwah, namun beliau adalah seorang pengarang, jurnalis, wartawan, budayawan, sastrawan, politisi, bahkan sampai aktivis.  

Di lain sisi, beliau adalah ulama yang sangat peduli dan telaten terhadap pembinaan dan penggemblengan karketer (akhak) jiwa manusia. Bisa dilihat dari ceramah dan kepribadiannya yang menunjukan bahwa beliau adalah pengkaji dan pelaku tasawuf. Tak ayal lagi, bukunya yang berjudul Tasawuf Modern tetap populer dan eksis hingga kini.

Konsep tasawuf Buya Hamka

Hamka dalam pemikirannya mengartikan tasawuf sebagai ilmu keruhanian (spiritualitas) yang berkaitan dengan olah rasa (dzauq) guna memperbaiki budi pekerti dan mengintensifkan hubungan kepada Tuhan. Sekilas, perspektif ini tidaklah berbeda dengan arti yang aslinya. Ya, karena di dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka lebih condong dan sering merujuk kepada Imam Junaid al-Baghdadi, seorang sufi agung yang menjadi tokoh dalam keilmuan tasawuf amali/akhlaki.

Hamka merefolmulasikan konsep keilmuan tasawuf dengan caranya sendiri. Alih-alih salah artian dari kalangan orang yang mendistorsi ajaran zuhud (asketisme) dengan harus meninggalkan dunia. Maka, lewat penghayatan tasawufnya, hamka mengenalkan dan mempromosikan tasawuf modern yang bersifat lebih positif kepada kehidupan keduniaan yang sehat, kepada rasionalitas, dan concern social.

Fenomena tersebut bisa dijumapai pada tulisan-tulisan Hamka mengenai tasawuf. Di sepanjang tulisan Hamka dengan karakteristiknya, ia membincangkan tasawuf dengan mengurai tata cara pembersihan budi pekerti (tazkiyat al-nafs) dari perangai yang tercela lalu memperhias diri (riyadhat al-nafs) dari perangai yang terpuji. Dalam proses tazkiyah dan riyadhah tersebut, Hamka menggunakan konsep ikhlas, tawakal, qona’ah, dll.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (2)

Ajaran tasawuf yang dikemas oleh Hamka adalah jawaban yang paling pas terhadap kebutuhan keberagaman manusia modern. Bagaimana paradigma tasawuf yang beliau kenalkan, mampu memfalsafahi akan dahaga spiritual yang mereka alami. Moderat dalam urusan duniawi, Hamka merawat tubuh dengan hidup sederhana, dan menjaga hatinya agar tetap terbebas dari tuntutan-tuntutan duniawi.

Di titik inilah, bahwa karakteristik tasawuf Hamka memiliki kecocokan substansi dengan diskursus ajaran tasawuf akhlaki. Terlebih, konsep yang diajarkan Hamka itu sudah sering digunakan namanya pada masa tasawuf klasik. Dalam tulisannya, Hamka hanya merekonstruksi istilah-istilah pendahulunya dengan konsep tasawuf dalam dialektik perspektifnya sendiri.

Akan tetapi hal ini bukan berarti Hamka tidak memberikan kontribusi sama sekali. Teori tasawuf klasik yang didialektikan dengan konteks sosio-kultural masyarakat modern Jawa dan Melayu adalah sebagian apa yang diberikan beliau untuk kajian tasawuf (Usep Tufiq H, 2015)

Seperti yang dikatakan Salman Al kunawi, bahwa Hamka adalah seorang penggagas dan sekaligus sebagai juru bicara Tasawuf Modern di Indonesia. Karya-kayanya tentang tasawuf telah menginspirasi ribuan bahkan jutaan jiwa. Lebih lagi, warisan pemikirannya tersebut bukan hanya mempengaruhi akan perkembangan Islam, tapi juga memberi kontribusi bagi kondisi politik Indonesia.

Buya Hamka dan Tasawuf Cinta

Masa muda Hamka adalah masa untuk memperluas cakrawala intelektual. Syahdan, semenjak masa mudanya, Hamka sering menghabiskan waktu di perpustakaan milik sekolahnya dulu. Ia banyak membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat, dan sastra. Terbukti, jika Hamka mampu memahami bahasa sastra dengan baik dan memiliki daya ingat yang cukup kuat.

Baca juga:  Wayang dan Suluk: Belajar Tasawuf dan Tafsir Bambang Ekalaya

Oleh karena itu, dengan melihat kesemangatan Hamka yang tertanam sejak dulu, pastilah dalam perjalanan spiritual Hamka banyak belajar dan mendalami pemikiran Abu Yazid Al-Busthami, Ibn Arabi, Al-Hallaj, Rumi, dan sufi-sufi yang menekankan dimensi cinta dengan corak Tasawuf Irfani. Tidak menutup kemungkinan, apabila Hamka juga menggandrunginya.

Seperti persaksian Dr. Husain Heriyanto, bahwa Hamka di akhir-akhir hidupnya banyak berbicara tentang tasawuf cinta, terutama pada dekade 70-an, yakni, masa setelah beliau menjabat dari MUI. Nampaknya, Hamka berbincang tentang tasawuf cinta ini, bukan hanya berhenti pada ceramah-ceramah keagamaan yang disiarkan di stasiun radio RRI dan TVRI saja, tapi juga pemikrannya itu banyak diterbitkan di majalah-majalah.

Hal ini dapat dilihat pada ceramah-ceramah beliau yang sering membawakan tema yang berdimensi cinta. Seperti, mahabbah, syauq, bahkan sampai pada tema hayrah (di mana maqom al-hayroh pernah diungkapkan juga oleh Ibn Arabi). Terlebih, Hamka pernah mengungkapkan bahwa “Dasar kepengarangan saya adalah cinta”.

Metode cinta adalah salah satu dari esensi ajaran tasawuf. Dan setidaknya, Buya Hamka dengan gagasannya telah menyeimbangkan sisi eksoteris dan esoteris dalam agama. Karena, seseorang tidak mungkin mengorientasikan agama hanya dengan nomos (hukum), tanpa mengenali eros (cinta), ataupun sebaliknya.

 

 

 

Baca juga:  Pemahaman Masyarakat Aceh dalam Menempuh Kesufian

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top