Pada masa itu, internet belum masuk ke Indonesia. Media massa daring belum ada. Media massa masih berwujud cetak: koran dan majalah. Ketokohan seseorang, nasional atau lokal, boleh dikata diukur saat ia diliput media massa. Menjelang dan saat Muktamar NU ke 27 berlangsung, Kiai As’ad dan Pesantren Sukorejo menjadi liputan utama di berbagai media massa terbitan Jakarta. Majalah Tempo edisi 15 Desember 1984 (No. 42 Thn. XIV), bahkan, pernah menampilkan lukisan wajah Kiai As’ad sebagai ilustrasi sampulnya, dengan judul: “Rame-Rame ke Situbondo”.
Sambil tersenyum, seraya menatap Kiai Qusyai dengan tatapan yang dalam, Kiai As’ad berkata: “Engko’ ta’ terro terkennala e bhumi, Cong. Engko’ ghun terro terkennala e langngi’! (Aku tak ingin terkenal di bumi, Nak. Aku hanya ingin terkenal di langit!)”
Bumi, simbol bagi kehidupan dunia ini. Sedangkan langit, lambang bagi keabadian di perkampungan akhirat nanti. Begitulah, sebagaimana kiai-kiai NU terdahulu yang lain, cucu Kiai Ruham dari Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura, ini sangat anti bahkan menolak popularitas.
Entah, bagaimana dengan kiai-kiai atau pengurus NU hari ini?
Adakah lanjutannya? Kok seperti terpotong?