Pada malam lebaran itu, ketika kumandang takbir di seluruh penjuru desa Sukorejo mulai sayup terdengar pertanda malam menjelang dinihari, Kiai Sufyan datang ke Sukorejo bersama keponakan sekaligus menantunya, KH. Imam Qusyairi Syam, dengan mengendarai mobil bak terbuka (pick up) miliknya.
Sampai di depan dalem, Kiai Sufyan terkejut. Tak disangka, Kiai As’ad ternyata telah berdiri di depan dalem sambil memegang lampu senter yang masih menyala. Seakan mempersiapkan diri untuk menyambut tamu yang hendak datang.
Sambil mengarahkan mata senter ke mobil yang baru tiba dan suara mesinnya menguar bagai mesin selip padi itu. Kiai As’ad menyapa,
“Be’n, Cong? Ca’n engko’ e kasangghu degeng sape (Kamu, Nak? Kukira pedagang sapi),” ledek Kiai As’ad pada Kiai Sufyan penuh keakraban, karena Kiai Sufyan membawa mobil pick up, sejenis mobil yang kerap digunakan para pedagang untuk mengangkut sapi di pasar-pasar ternak di kawasan Situbondo.
Tawa pun meledak di antara ketiganya.
Kiai As’ad mempersilakan Kiai Sufyan dan Kiai Qusyai masuk ke dalam rumahnya. Tidak ke ruang tamu, tapi langsung ke kamar pribadi Kiai As’ad.
Kiai As’ad duduk di lincak tempat tidurnya, lalu meminta Kiai Sufyan dan Kiai Qusyai duduk di deretan kursi samping lincak. Sesekali, Kiai Qusyai mengamati ruangan yang sangat sederhana itu: ruangan dengan lincak bambu beralas tikar, deretan kursi butut, bertembok gedek, dan berlantai tanah.
“Engghi akadhiye ka’dinto manabi ta’ olle sedan deri Moerdani, Man Toan (Beginilah kalau tidak mendapat sedan dari Moerdani, Paman),” Kiai Sufyan memberanikan diri membuka obrolan, meneruskan canda Kiai As’ad di halaman.
Leonardus Benyamin Moerdani, salah satu petinggi TNI yang disegani–juga ditakuti–pada masa Orde Baru, pernah menghadiahi sebuah mobil sedan Toyota kepada Kiai As’ad. Namun, jangankan memakainya, Kiai As’ad bahkan tak pernah memindahkan letak mobil berpelat nomor P 945 NU itu dari halaman sejak ajudan Moerdani mengantarkannya ke Sukorejo. Akibatnya, bila musim panas, mobil mewah itu kepanasan; bila musim hujan, mobil itu pun kehujanan.
Kiai As’ad tertawa. Mengerti kalau keponakan tercintanya, yang di masa remaja sama-sama mengaji kitab kuning kepada Ayahnya, Kiai Syamsul, itu mengimbangi ledekan keakrabannya.
“Enje’, Cong. Teppa’n lem-malem, engko’ ta’ tedung. Mo-temmo bede monye ngaghelubuk e budiyen. Ca’n engko’ mi’ pao, bile etengghu ben bibbi’na beddhiyenna sedan (Enggak, Nak. Suatu malam, aku tak tidur. Tiba-tiba ada bunyi “ghelubhuk” (bunyi sesuatu yang jatuh) di belakang rumah. Kukira mangga jatuh, setelah dilihat oleh bibimu, ternyata sedan).” Tawa meledak lagi. Kiai As’ad tertawa penuh keakraban. Kiai Sufyan tertawa penuh ketakziman.
Kiai Qusyai yang sejak tadi tidak unjuk bicara karena takzim kepada keduanya, mencoba memecah keheningan, setelah dua kiai panutan warga NU itu sama-sama terdiam.
“Abdhina mengnga’ ka Ajunan, Bah. Ajunan ampon kiai nasional, tape re-sa’are odi sabiasa, bahkan mellas, kadhi ka’dinto (Saya kagum kepada panjenengan, Mbah. Panjenengan sudah masuk kategori kiai nasional, tapi memilih hidup dalam kesederhanaan, bahkan memprihatinkan, seperti ini).”
“Nasional-nasional colo’n be’n jeriya, Cong! Arapa be’n ma’ ngoca’ engko’ kiai nasional? (Nasional-nasional mulutmu itu, Nak! Kenapa kau menyebutku sebagai kiai nasional?)”
“Engghi, Ajunan ampon mabede muktamar kalaben sukses, Bah. Ampon erabui Pak Harto jhughan (Ya, karena panjenengan sukses menyelenggarakam muktamar, Mbah. Bahkan, Pak Harto pun datang).”
Adakah lanjutannya? Kok seperti terpotong?