Untuk menerjemahkan suatu hadits, apalagi ayat al-Qur’an, ternyata tidaklah sederhana dan mudah, sesederhana alam pikiran kalangan awam yang otodidak belajar agama dengan hanya membaca buku-buku terjemah al-Qur’an dan al-hadits. Berbeda dengan para santri di banyak pondok pesantren yang belajar agama secara langsung di bawah bimbingan para kyai (ulama) yang menguasai referensi kitab-kitab kuning berbahasa Arab tanpa tanda baca itu.
Sebagai sekedar contoh, untuk memahami sabda Rasulullah di bawah ini,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Teks hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Para santri berdasarkan analisis kebahasaannya yang pelik mampu memahami, bahkan lengkap dengan alasan dan argumentasinya, bahwa kata “man (من)” adalah “syartiyyah (شرطية)”, sedangkankan kata “yurid (يرد)” adalah “fi’il al-syarth (فعل الشرط)” dengan membaca dhammah huruf yang memiliki dua titik di bawah (بضم المثناة التحتية), yakni huruf “ya’ ( الياء)” , dan membaca kasrah huruf “ra (الراء)” dari kata al-iradah (الإرادة).
Kata “khairan (خيرا)” dalam redaksi hadits di atas adalah kata berbentuk nakirah dalam rangkaian syarat (نكرة في سياق الشرط), sehingga lebih bermakna umum. Diksi berbentuk nakirah tersebut yang dipakai dalam redaksi hadits di atas untuk makna mengagungkan, sehingga maknanya adalah “khairan ‘adziman aw kamilan (خيرا عظيما أو كاملا)” yakni, kebaikan yang agung atau sempurna, sehingga tidak menunjukkan atas tiadanya sifat baik pada selainnya.
Hadits tersebut memberikan kabar gembira yang agung kepada al-mutafaqqih (orang yang belajar memahami agama), karena kehendak baik dari Allah untuk hamba-Nya itu nyata khusus untuknya atas upaya maksimalnya dalam memahami agama.
Para santri juga memahami, bahwa kata “yufaqqihhu (يفقهه)” dalam hadits di atas dibaca jazm sebagai jawab al-syarth (بالجزم جواب الشرط) yang maksudnya bahwa orang yang belajar memahami agama itu maka akan dijadikan sebagai orang yang mampu memahami ajaran agamanya (أي يجعله فقيها).
Adapun redaksi fid-din (في الدين) artinya dalam agama, yakni ushul (pokok-pokoknya) dan furu’ (cabang-cabangnya), sehingga mencakup ‘ilm al-‘aqaid dan ‘ilm al-fiqh.
Jadi, terjemahan redaksi hadits di atas dalam Bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut,
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang kebaikannya agung atau sempurna, maka ia dijadikan (oleh Allah) sebagai orang yang memahami (pokok-pokok) agama (dan cabang-cabangnya)”.
Oleh karena itu, sungguh jauh perbedaan antara kalangan santri yang mendalam ilmu agamanya, lebih-lebih para ulama dalam artian yang sesungguhnya, bila dibandingkan dengan kalangan awam yang belajar agama secara otodidak dengan cara membaca buku-buku terjemah. Orang-orang awam yang sering sangat bersemangat dalam beragama, namun minim ilmu agama itu, kini anehnya sering merasa lebih paham agama dan suka merendahkan derajat para kyai, atau alim-ulama. (RM)