Meskipun bukan yang utama, setidaknya Ma’had Aly Situbondo merupakan yang pertama di Indonesia. Institusi pascapesantren pertama yang didirikan oleh almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin pada 21 Juli 1990, sekitar dua pekan sebelum beliau wafat. Gagasan pendirian Ma’had Aly bermula dari kegelisahan beliau terhadap kelangkaan kader-kader ulama yang mumpuni di bidang fikih. Makanya, Ma’had Aly Situbondo sebagai sebuah lembaga kaderisasi ahli fikih menitikberatkan kajiannya seputar fikih dan ushul fikih.
Namun, sebagaimana perkataan masyhur Imam Malik, “Barangsiapa yang bertasawuf tanpa fikih dia zindik, yang mendalami fikih tanpa bertasawuf dia fasik, dan yang benar adalah yang memadukan keduanya”. Maka itu proses intelektualisasi fikih dan ushul fikih di Ma’had Aly Situbondo selama ini diimbangi dengan spiritualisasi tasawuf. Bagian yang pertama biasa orang nisbatkan pada kealiman Kiai Afifuddin Muhajir. Sedangkan yang kedua tercermin dari kesufian almarhum Kiai Achmad Hariri Abdul Adhim. Kedua sosok inilah yang mendapatkan mandat dari Kiai As’ad untuk mengurusi Ma’had Aly Situbondo.
Sosok Kiai Hariri kelihatannya tidak sepopuler Kiai Afif. Dikarenakan Kiai Hariri lebih banyak bergumul dengan rutinitas di pesantren, serta sesekali keluar memenuhi undangan masyarakat. Berbeda dengan Kiai Afif yang seringkali mengisi forum ke luar, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kiai Afif sendiri menilai koleganya itu sebagai tipikal kiai yang tidak terkenal di bumi tetapi tersohor di langit. Sebab, Kiai Hariri selanyaknya kebanyakan sufi yang menjejaki khumul demi menghindar diri dari popularitas duniawi.
Kesufian Kiai Hariri terbentuk atas didikan para guru tasawuf dan mursyid beliau. Di antara mereka adalah almarhum Kiai Zaini Mun’im (pendiri dan pengasuh pertama PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo) dan kedua putra beliau (almarhum Kiai Hasyim Zaini dan Kiai Fadhlurrahman Zaini), serta almarhum Kiai Abdul Hamid Pasuruan dan almarhum Habib Abdullah Bilfaqih Malang.
Kepribadian sufistik Kiai Hariri makin hari makin matang seiring konsistensi beliau mengampu ilmu tasawuf, baik pengajian kitab di ma’had aly maupun perkuliahan di kampus Ibrahimy. Kematangan itu tampak dalam potret kesalehan kafah beliau sehari-hari yang melingkupi dimensi ritual dan sosial beliau, serta kesalehan beliau secara ekologis.
Rentang kisah mengenai kesalehan Kiai Hariri sekurang-kurangnya dapat diriwayatkan dari rentangan dedikasi beliau mengurusi ma’had aly selama hampir tiga dekade. Terhitung sejak tahun 1990 beliau diamanahi Kiai As’ad sebagai pemangku pertama asrama ma’had aly, lalu berselang tiga tahun kemudian menjabat sebagai mudir ketiga ma’had aly setelah Kiai As’ad dan almarhum Kiai Wahid Zaini, hingga tutup usia pada 2018.
Kesalehan Ritual
Di antara kisah kesalehan ritual Kiai Hariri bersumber dari kesaksian istri beliau, Nyai Sofiyatul Widad. Bu Nyai menyaksikan sendiri bagaimana sang suami jika sudah tenggelam dalam zikir seakan lupa segalanya. Dapat dikatakan bahwa beliau telah menapaki posisi kun ma’a al-Haqq ka an laa khalqa (menjadi orang yang mengacuhkan apapun dan sesiapa selain Allah saat asyik bersama-Nya). Lazimnya Kiai Hariri lebih dahulu izin kepada Nyai Sofi sebelum berzikir. Ritual zikir yang sedemikian dawam Kiai Hariri lakukan sekalipun di kala kesehatan beliau sedang terganggu. Bahkan, hingga menjelang wafat sewaktu kondisi kesehatan beliau makin memburuk, Kiai Hariri tetap duduk berzikir berjam-jam dan baru kembali merasakan sakit selepas tuntas berzikir. Lantaran itulah Bu Nyai setia mendampingi dan menunggui beliau sampai selesai melakoni ritual tersebut.
Kesalehan Sosial
Sikap sosial Kiai Hariri yang paling menonjol adalah al-hilm (kelemahlembutan hati) sehingga nyaris tidak pernah marah, andai beliau marah pun sekelebat mereda. Pernah suatu ketika beliau sedemikian marah sampai menginstruksikan seluruh santri ma’had aly berkumpul. Para santri yang belum tahu menahu penyebab kemarahan sang kiai lantas diliputi rasa takut bercampur waswas. Apalagi setahu mereka beliau tidak pernah tampak semarah itu. Tapi tak dinyana, bayangan mereka akan amarah kiai yang bakalan meledak-ledak dan sebagainya sirna tak terbukti. Malahan ketegangan di awal majelis itu sebentar kemudian mencair dengan sebuah senyum manis yang tersungging di bibir beliau. “Saya bukannya tidak bisa marah. Saya cuman takut kalau sampai saya marah saya memukul kalian. Lain kali jangan diulangi, ya,” lebih kurang begitu dawuh beliau. Walaupun sisi lain beliau yang seorang pendekar tidak lantas membuat beliau ringan tangan terhadap para santri.
Sebaliknya, Kiai Hariri justru ringan tangan dalam hal berderma dan membantu orang. Orang-orang yang berada dekat dengan beliau menjadi saksi atas kedermawanan Kiai Hariri. Kesaksian khadam yang setiap hari Jumat ditugasi menyampaikan amplop sedekah beliau ke kotak amal masjid. Mereka yang pernah menyaksikan sendiri kebiasaan kiai yang seringkali menyedekahkan amplop cabisan di kantong beliau secara spontan tanpa pernah mengecek dulu nominal uang di dalamnya. Kisah sopir beliau yang pernah disuruh balik lagi sejauh tiga puluhan kilometer demi mengantarkan ongkos parkir yang lupa dikasihkan ke tukang parkir, karena kiai tahu si tukang parkir itu sedang berpuasa dan beliau khawatir dia tak punya uang untuk berbuka; dan banyak lagi kisah kedermawanan beliau lainnya.
Kesalehan Ekologis
Bagi seorang sufi seperti Kiai Hariri, berlaku baik tidak hanya kepada Allah SWT, tetapi juga terhadap seluruh makhluk-Nya, termasuk flora dan fauna. Karena hakikinya semuanya berzikir kepada Sang Pencipta dengan caranya sendiri-sendiri. Menurut beliau, tatkala kita memotong atau menebang pepohonan berarti kita telah menghentikan aktivitas zikirnya kepada Allah SWT. Itu sebab beliau melarang santri jangan sampai memotong dahan dan ranting pohon, apalagi jika sampai menebangnya beliau pasti akan murka. Satu di antara buktinya kisah marahnya Kiai Hariri yang telah disinggung pada bagian sebelumnya. Sewaktu pohon rindang yang berada depan asrama ma’had aly ditebang lantaran waktu itu musim hujan angin sehingga dikhawatirkan roboh dan mencelakai.
Lain lagi kisah khadam yang pernah ditegur kiai gara-gara menepuk seekor nyamuk yang hinggap di badannya. “Jangan dibunuh. Kasihan. Ia juga makhluk Allah. Sudah biarkan darahmu dimakan. Ia memang sengaja diciptakan untuk mengisap darah,” tegur beliau.
Terakhir, pengakuan santri bernama Havid ketika semobil dengan beliau. Di tengah perjalanan, dari kursi belakang dia melihat seekor semut hitam di baju beliau, serta merta dia minta izin menyingkirkan semut itu. “Lho, jangan dibunuh, Vid. Ambilkan tisu saja,” pinta beliau. Setelah kiai menerima tisu yang diambilkan Havid, semut itu beliau letakkan di atasnya dan menyuruh berhenti. Lalu, beliau keluar dari mobil menuju sebuah pohon pinggir jalan dan menaruh tisu bersama semut tadi di sana. Sekembali masuk mobil beliau dawuh, “Semoga semut itu bisa bertemu dengan keluarganya.”
Akhirnya, kendati tulisan ini tidak cukup tamam menampung kisah kesalehan Kiai Hariri, tetapi kiranya sudah lebih dari cukup menjadi bahan refleksi diri dan teladan kehidupan. Demikian harapan penulis kepada Anda yang membaca tulisan ini, sementara kepada Kiai Hariri lahu al-fatihah… (RM)