Sedang Membaca
Krisis Otoritas Tokoh Agama
Azis Hapid Julyaqin
Penulis Kolom

Penyuluh Agama Islam.

Krisis Otoritas Tokoh Agama

Krisis Otoritas Tokoh Agama By Azis H

Siapa sih yang gak kenal dengan Kyai Mustofa Bisri (Gus Mus)? Ya, seorang Kyai yang sangat fenomenal dan karismatik juga memiliki kontribusi yang besar bagi dunia dakwah keislaman di indonesia yang sejuk dan ramah. Gus Mus adalah tokoh agama nasional yang juga merupakan putera dari seorang Kyai besar di Rembang Jawa Tengah yang merupakan tokoh pendiri NU. Baik itu Gus Mus selaku anak maupun Mbah Bisri sebagai orang tua keduanya layak memiliki titel tokoh agama karena pantas dan memiliki kriteria ketokohan.

Sebagaimana kita tahu bahwa tokoh agama itu merupakan bagian penting dan sakral yang dianggap memiliki ketinggian ilmu agama, juga memiliki kemampuan mengayomi umat. Adapun istilah tokoh yang di gunakan di setiap daerah tentu berbeda beda, ada yang dipanggil atau bergelar kiai, tengku, tuan guru, syekh, abuya, ustadz dan istilah lainnya yang kesemuanya adalah peristilahan dari seorang tokoh agama.

Ada fenomena menarik tentang ketokohan dalam agama, yang belakangan ini menjadi krisis yang berdampak pada rusaknya tatanan masyarakat. Krisis bukan berarti tidak ada sama sekali orang yang alim serta cakap dalam mengayomi umat, melainkan karena penyerahan wilayah ketokohan bukan kepada ahlinya.

Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kesalehan umat dan pergeseran tradisi yang di bangun tokoh sebelumnya, bahkan bisa menjadi pemicu terjadinya disintegrasi antar umat dan masyarakat. sejalan dengan hal ini, saya jadi teringat akan sabda Nabi Muhammad SAW, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya ”.

Saat ini banyak terjadi praktik-praktik menyimpang masyarakat yang menobatkan tokoh berdasarkan keturunan dan nasab, atau bahkan kepada fashionnya saja. Tidak lagi disandarkan pada keahlian agamanya dan kealimannnya, walaupun tak bisa dipungkiri kecerdasan intelektualitas orang tua secara genetik bisa diturunkan kepada anak cucunya, tapi itupun harus di stimulasi dengan proses belajar dan menggali wawasan.

Baca juga:  Alif.Id, Jurnalisme Budaya, dan Keislaman Kaum Santri (2): Ilmu, Energi, dan Waktu

Krisis otoritas tokoh agama ini menjadi awal jebolnya tanggul keislaman nusantara yang sudah sekian lama terawat. Munculnya ustadz atau tokoh agama dadakan yang kerap kali membuat statement baru yang bertujuan membangun kepanikan di tengah tengah umat. Dan yang paling menohok yakni tak memilikinya prinsip yang kuat khususnya dalam hal akidah yang sangat fundamental. Seperti memahami ayat ayat jihad yang sangat mulia namun dipahami secara liar dan membabi buta tanpa meninjau literatur ulama dalam mengintepretasikan ayat ayat jihad tersebut. Tak sedikit masyarakat yang tergiring oleh statement liar tersebut dan menganggap itu sebuah fatwa yang harus di patuhi.

Krisis otoritas tokoh agama timbul karena sakralitas masyarakat yang berlebihan juga pengkultusan terhadap tokoh itu sendiri sehingga beranggapan tongkat estafet perjuangan seorang tokoh harus jatuh ke tangan anak dan cucunya saja, tanpa memperhatikan nilai nilai kealiman dan kecakapan dalam ketokohan yang semestinya lebih utama di kedepankan. Syekh Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Nurudzolam “yang merupakan dari bagian perbuatan bid’ah yang haram adalah mendahulukan orang jahil ketimbang orang alim“.

Malpraktek dari seorang tokoh agama diawali dari penobatan oleh masyarakat yang salah, yakni mengabaikan standar minimal ketokohan yang harusnya sakral dan tidak gegabah, justru dilakukan dengan cara yang tidak ideal. karena mau bagaimanapun sadar ataupun tidak praktik seperti ini sering terjadi dan kita temui di berbagai wilayah di tanah air bak warisan harta ataupun tahta kerajaan, padahal Nabi sendiri tidak menghendaki kepemimpinan dan ketokohan itu di tentukan dengan cara demikian, karena bicara ketokohan adalah kemampuan memimpin dan kecerdasan mengorganisir.

Baca juga:  Hikayat Hari

Terciptanya keamanan dan ketentraman di tengah tengah masyarakat menjadi sebuah keniscayaan apabila ketokohan di pegang oleh siapapun yang memiliki kapasitas yang sesuai dengan standar syariat, kealiman dan kecakapan dalam memecahkan problematika umat tanpa menyisakan kekeliruan yang menimbulkan kegalauan.

Dengan demikian kesadaran masyarakat harus terus di bangun dan di kampanyekan dalam menentukan tokoh agama. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting untuk terus di pahamkan. Masyarakat harusnya tidak lagi menggunakan standar normatif kultur saja akan tetapi haruslah bersandar pada tatanan kultur yang sejalan dengan syariat yang tentu akan memberi kemaslahatan bagi umat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top