Sedang Membaca
Berbeda dengan Imam Ghazali, Begini Klasifikasi Ilmu Menurut Kiai Muhammad Al-Fayyadl
Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Berbeda dengan Imam Ghazali, Begini Klasifikasi Ilmu Menurut Kiai Muhammad Al-Fayyadl

Suasana ngaji bersama Kiai Muhammad Al-Fayyadl

Dalam sebuah kesempatan memaknai kitab Ihya’ Ulumuddin, Kiai Muhammad Al-Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid menerangkan mengenai pembagian ilmu. Padahal, pembahasan yang sedang dikaji bukanlah tentang pembagian ilmu.

Pembahasan saat itu adalah tentang penjelasan etika dan kesunahan ketika siang hari pada hari Jum’at. Imam Ghazali menulis, terdapat 7 etika dan kesunahan yang bisa kita lakukan pada hari yang istimewa tersebut.

Pertama, menghadiri majelis ilmu pada pagi-pagi hari atau setelah ashar. Tidak menghadiri majelis tukang cerita karena didalamnya tidak ada kebaikan sama sekali. Selain itu, Hujjatul Islam juga menerangkan pentingnya menyibukkan diri mencari ilmu daripada sibuk dengan perkara-perkara yang sunah.

وَاسْتِمَأعُ الْعِلْمِ النَّافِعِ فِي الْاَخِيْرَةِ أَفْضَلُ مِنَ اشْتَغَالِهِ بِالنَّوَافِلِ

Menyimak ilmu yang bermanfaat di akhirat itu lebih utama daripada menyibukkan diri dengan perkara-perkara sunah. (Ihya’ Ulumuddin, Hal 186. Cet. Maktabah Imarotullah-Surabaya).

Imam Ghazali tidak berhenti di sini, ia mengutip sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dzar :

إِنَّ حًضُوْرَ مَجْلِسِ عِلْمٍ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْفِ رَكْعَةٍ

Sesungguhnya menghadiri majelis ilmu itu lebih utama daripada melaksanakan sholat seribu raka’at.

Ketika menjelaskan teks ihya’ tersebut, pada mulanya kiai yang akrab disapa dengan Ra Fayyadl ini meng-iyakan dengan mengutip sebuah syair yang sangat terkenal dalam kitab ta’limul muta’allim pula :

Baca juga:  Bercermin, Semuanya karena Kemurahan Allah

وَإِنَّ فَقَيْهًأ وَاحِدًا مُتَوَرِّعًا # أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدِ

Sesungguhnya orang yang faqih lagi wara’ itu lebih berat bagi syetan (untuk menggodanya) daripada seribu orang ahli ibadah (tapi tidak ahli fiqih lagi wara’)

Kemudian, Kiai Fayyadl menerangkan pemahaman klasifikasi ilmu yang berbeda daripada pendapat yang diutarakan oleh pengarang Ihya’ ini. Menurut Imamuna Al-Ghazali, Ilmu agama (al-‘ulum asy-Syar’iyyah) dan ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyah).

Lebih lanjut, Imam Ghazali kemudian membagi ilmu agama ini menjadi dua bagian, yakni ilmu ushul atau pokok, yaitu ilmu tauhid dan yang ke dua adalah ilmu furu’. Ilmu ushul ini berifat teoritis (al-‘ilmiy) sedangkan ilmu furu’ ini bersifat praktis (al-‘amaliy).

Atau dari sisi lain, Imam Ghazali juga membagi ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain ini adalah ilmu yang wajib dipelajari setiap muslim, seperti ilmu tentang shalat, tauhid dll. Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang menjadi kewajiban kolektif umat islam. Jika ada sebagian orang yang mempelajarinya, maka dianggap gugur kewajiban sisa umat islam yang lainnya.

Menurut Kiai Fayyadl, ilmu itu terbagi menjadi dua macam, yakni ilmu ukhrawi dan duniawi. Kiai Fayyadl tidak setuju dengan pembagian ilmu agama dan ilmu umum. Karena sesuai dengan redaksi kitab ihya’ di atas tadi, yakni mendengarkan ilmu yang bermanfaat di akhirat itu lebih utama daripada menyibukkan dengan perkara sunah, maka dari sini dapat disimpulkan bahwa ada ilmu yang bermanfaat di akhirat (ilmu ukhrawi) dan ilmu yang bermanfaat di dunia saja (ilmu duniawi).

Baca juga:  Keterlibatan Kaum Tarekat di Dunia Politik

Jadi, ilmu duniawi itu ilmu yang nafi’ (bermanfaat) yang hanya terbatas di dunia saja. Sehingga ketika kita sudah meninggal dunia, manfaat ilmu ini tidak ada bekasnya. Semisal ilmu agama yang kita kenal pada umumnya, fikih, nahwu dll tapi selama di dunia ini kita niat dan gunakan untuk kepentingan duniawi. Untuk mengejar jabatan, harta dan popularitas, maka meskipun dikenal ilmu agama maka ilmu ini masuk dalam kategori ilmu duniawi. Ketika kita sudah meninggal, tidak ada bekas manfaatnya lagi.

Sedangkan ilmu akhirat itu ilmu yang nafi’ (bermanfaat) yang berbekas di akhirat. Jadi kebermanfaatannya itu tetap berbekas meski kita sudah meninggal dunia. Misalnya adalah ilmu dunia (umum) yang kita kenal biasanya, seperti ilmu kepenulisan, kedokteran dll, tapi ketika di dunia si pemilik ilmu menggunakannya untuk kepentingan akhirat.

Ia menulis untuk menyebarkan ilmunya para kiai, menghilangkan kebodohan umat islam dan tentunya untuk meraih ridho Allah. Maka ilmu kepenulisan ini tergolong dalam ilmu ukhrawi. Bekasnya tetap terasa meski kita sudah di akhirat.

Pendapat Ra Fayyadl ini tentunya sesuai dengan hadits pertama dalam kitab al-Arba’in al-Nawawiyah karya Imam Nawawi.

عَنْ عُمَر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرُتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ

Baca juga:  Peranan Tarekat di Dunia Politik: antara Tarekat Safawiyah di Iran dan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia (1)

Dari Umar RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Amal itu tergantung niatnya dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena dunia atau wanita dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah. (HR. Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, penting sekali menjaga niat. Terutama niat kita dalam mencari ilmu, supaya amal kita diterima dan diridhai oleh Allah ta’ala.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top