Sedang Membaca
Idul Fitri dan Apresiasi Liyan
Afthonul Afif
Penulis Kolom

Penulis dan pemerhati isu-isu psikologi. Menyelesaikan S2 dalam bidang Psikologi Klinis di UGM Yogyakarta.

Idul Fitri dan Apresiasi Liyan

  • Orang yang tidak memberikan keuntungan buat orang lain cenderung akan tersingkir dari hubungan-hubungan sosial.

Idul Fitri adalah momen yang dinanti-nantikan oleh umat Islam Indonesia, setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, momen yang menyadarkan kita semua bahwa kemenangan sejati bukanlah kemenangan yang diperoleh dari sikap menaklukkan atas yang lain, namun kemenangan yang diraih justru dari niat tulus memaafkan.

Kemenangan yang diraih dari momen Idul Fitri adalah kemenangan yang istimewa, kemenangan yang sekali lagi, tidak diperoleh dari sikap mendominasi dan menundukkan yang lain, melainkan lahir dari proses pengendalian diri dan penghayatan atas momen partisipasi.

Idul Fitri adalah kemenangan bersama, kemenangan umat manusia. Tulisan ini mencoba merefleksikan momen Idul Fitri dalam kaitannya dengan faktisitas manusia sebagai makhluk yang senantiasa hadir bersama (co-present) dengan yang lain.

Tak sulit membuat pengandaian bahwa persoalan mendasar yang senantiasa hadir dalam kehidupan manusia adalah bagaimana mereka menjalin interaksi dengan sesamanya. Sebagai makhluk selalu hadir-bersama-dengan yang lain, manusia ditakdirkan memiliki ikatan primordial berupa keharusan menerima kehadiran orang lain untuk menyelenggarakan kehidupan bersama.

Seiring perkembangan kebudayaan manusia, tata cara membangun hubungan dengan orang lain pun menjadi kian kompleks, seiring semakin berkembangnya kebutuhan manusia.

Dalam masyarakat primitif misalnya, hubungan antar-individu masih bersifat sederhana, sebatas pada kerjasama untuk mencari dan mengelola sumber pangan untuk kelangsungan hidup bersama. Dalam tinjauan teori hirarki kebutuhannya Maslow, kehidupan masyarakat primitif masih didominasi oleh upaya pemenuhan kebutuhan fisik-material semata.

Baca juga:  Ulama Kita, Pegon dan Bahasa Melayu

Mereka belum mengenal jenis kebutuhan yang lebih tinggi, misalnya, kebutuhan akan aktualisasi diri dan kebutuhan berserikat. Akibatnya sumber-sumber konflik yang muncul dalam masyarakat primitif pun berkisar pada perebutan akan penguasaan kebutuhan fisik-material tersebut.

Selanjutnya, jika kita melihat bagaimana bentuk-bentuk konflik yang muncul dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini, kita akan menemukan betapa setiap ranah kehidupan begitu mudah terjangkiti konflik akibat semakin kompleksnya kebutuhan manusia.

Dari lembaga yang memiliki fungsi sosial lebih sederhana, seperti keluarga, hingga lembaga yang memainkan fungsi sosial lebih luas dan kompleks, misalnya pasar, perusahaan, universitas, partai pilitik, lembaga legislatif, lembaga kepresidenan, dan lain-lain, tidak sepenuhnya memiliki imunitas untuk terhindar dari konflik.

Ironis memang, dengan semakin berkembangnya kemampuan akal budi manusia dalam memenuhi dan mengelola berbagai jenis kebutuhannya, ternyata tidak serta merta diikuti dengan kemampuan mereka dalam mengelola dan mengendalikan setiap potensi konflik yang terjadi, yang acapkali berujung pada semakin memudarnya ikatan sosial atau kohesivitas sosial.

Kalau kita bersedia melihatnya lebih dalam, kondisi ini sebenarnya dapat ditelusuri dalam jenis ikatan sosial hari ini menempatkan fungsionalitas sebagai prinsip utama. Jenis ikatan ini menggambarkan sikap orang untuk melihat orang lain sebagai himpunan fungsi yang dapat dikalkulasi dan dimanfaatkan.

Orang yang tidak memberikan keuntungan buat orang lain cenderung akan tersingkir dari hubungan-hubungan sosial.

Dalam konteks hubungan antarpribadi, potensi konflik tersebut lebih mudah mengeras mengingat setiap kepentingan memiliki kesempatan untuk tampil lebih segera. Untuk memastikan fungsi-fungsi tertentu yang kita kehendaki dari orang lain kita dapat menyampaikannya secara langsung tanpa melewati proses yang panjang.

Baca juga:  Sejarah Salat Idul Fitri Muhammadiyah di Lapangan

Masalahnya, kita sudah terbiasa membawa sekian syarat ketika akan berhubungan dengan orang lain, dan berpikir bahwa mereka pun akan mengambil sikap yang sama terhadap kita.

Konflik terjadi ketika perbedaan-perbedaan kepentingan antarindividu tidak dapat didamaikan, dan bersamaan dengan itu kemudian berkembang persepsi diri terancam.

Terlebih lagi, sekarang ini kita tidak lagi mendiami ruang sosial yang berfungsi sebagai medan penggalian kebijaksanaan—seperti, misalnya, yang pernah terjadi di Athena dulu—ketika manusia seperti Socrates dengan penuh semangat mengajak penduduk Athena beradu pendapat guna mencapai level kebijaksanaan terbaik. Berbeda dengan kondisi ruang sosial hari ini, yang disesaki oleh sosok-sosok pemburu rente yang berlomba-lomba menancapkan dominasi.

Orang tidak lagi dilihat dari hakikat kemanusiaannya yang membutuhkan penerimaan tanpa syarat, namun berdasarkan kontribusi fungsionalnya terhadap orang lain. Kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap tidak berguna mudah terbentuk. Kebencian terhadap mereka pun ditularkan.

Jauh-jauh hari Emmanul Levinas telah mengingatkan kita, “orang lain” harus diletakkan dalam keberlainannya. Kita harus melihat orang lain sebagai subjek yang mandiri—yang selalu menangguhkan setiap keinginan kita untuk menguasainya.

Kalau orang lain kita anggap sebagai objek belaka, maka sejak saat itu kelainannya, kediriannya, akan lenyap. Padahal, lanjut Levinas, kedirian kita terbentuk berdasarkan sebuah peristiwa etis yang terulang setiapkali kita bertemu dengan orang lain.

Baca juga:  Langgar, Kiai Langgar, dan Jemaah Langgar

Setiapkali kita bertemu dengan orang lain, terjadi sesuatu yang mendasar: Kita terpanggil untuk bertanggungjawab atasnya. Kita tidak dapat menghindar bahwa kita selalu berada dalam situasi tertawan ketika bertemu orang lain.

Orang lain adalah tantangan, bahkan sebuah panggilan. Kehadirannya memaksa kita menempatkannya sebagai sebuah misteri yang menegasi semua bentuk refleksi, definisi yang kita buat.

Idul Fitri mengingatkan kita pada momen partisipasi tanpa syarat itu, yang membuka jalan bagi suatu pertemuan primordial, di mana antara kita dan orang lain hadir bersama untuk melestarikan kehidupan.

Kehidupan dibangun di atas dasar persekutuan dengan mereka sehingga kehidupan dengan demikian harus dimaknai sebagai horizon bagi kehadiran bersama. Selagi hubungan kita dengan orang lain masih dinodai berbagai fungsi dan syarat, sejak saat itulah sebenarnya kita telah menyemaikan bibit-bibit penaklukan dan penguasaan atas mereka. (atk)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top