Sedang Membaca
Ngaji Rumi: Kisah Mistis Ahadits Matsnawi, Kitab Induk Para Pengkaji Rumi
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Ngaji Rumi: Kisah Mistis Ahadits Matsnawi, Kitab Induk Para Pengkaji Rumi

Foto Kitab Ahadits Matsnawi

Musim semi 1954, kabar baik baru saja diterima Badiozzaman Forouzanfar (1904-1970). Buku yang berbulan-bulan ia kerjakan dengan penuh perjuangan, akhirnya mendapat tawaran untuk terbit di fakultas sastra Universitas Tehran. Tak terbayangkan! Betapa bahagianya Forouzanfar hari-hari itu. Bagi seorang penulis, tak ada yang lebih membahagiakan daripada menerima kabar karyanya akan diterbitkan dan dinikmati para pembaca.

Tiga bulan kemudian, sekitar September 1954, setelah melengkapi naskah bukunya, ia bergegas menuju rektorat Universitas Tehran untuk menyerahkan naskah tersebut. Tak disangka, taksi yang ditumpanginya mendapat kecelakaan cukup hebat. Forouzanfar sendiri mengalami luka-luka di seluruh tubuhnya. Tapi ajaib. Bukannya ke rumah sakit untuk berobat, ia malah tetap melanjutkan pergi ke Universitas Tehran. “Sungguh mukjizat!”, begitu kata semua orang yang pernah menjadi saksi.

Sesampai di rektorat, pihak kampus segera membawa Forouzanfar ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Tidak hanya luka di luar, ternyata ia mengalami patah tulang di beberapa bagian yang mengharuskannya melakukan istirahat total. Tapi, Forouzanfar tidak menyerah, selama menjalani pemulihan ia kembali memeriksa naskahnya yang masih dalam proses terbit. Banyak hal baru yang ia peroleh untuk melengkapi naskah tersebut. Bahkan, kecelakaan yang dialaminya pun membawa keberkahan.

Mungkin kita semua bertanya, buku apa gerangan yang proses penerbitannya begitu dramatis? Tentu saja bukan buku biasa, mengingat lembaga bergengsi sastra seperti Universitas Tehran, bersedia untuk menerbitkannya langsung. Ahadits Matsnawi adalah buku induk bagi para pengkaji Rumi yang sangat berharga. Melalui kitab inilah, para peneliti Rumi hari ini dapat menyusuri pesan-pesan baginda Nabi Muhammad yang bertebaran dalam ribuan puisi Rumi.

Baca juga:  Cara Berpikir Agar tidak Overthingking Menurut Ulama Sufi

Ide mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab Matsnawi memang sebuah upaya luar biasa. Terlebih, di tahun lima puluhan, ketika dunia belum mengenal teknologi informasi yang sangat memudahkan seperti hari ini. Forouzanfar menghabiskan siang dan malam, bergelut dengan tumpukan buku untuk meneliti satu demi satu berbagai ucapan Nabi Muhammad Saw yang dikutip oleh Rumi. Bayangkan! Ada lebih dari 500 hadits yang harus ditelusuri sumber aslinya.

Badiozzaman Forouzanfar (1904-1970) memang seorang ahli bahasa dan peneliti yang tekun. Meskipun ia berasal dari kota kecil bernama Ferdows yang terletak di propinsi Khorasan Selatan, berkat kerja keras dan kesungguhannya, Forouzanfar dicatat sebagai salah seorang “lima master” sastrawan Persia pada masanya. Forouzanfar mendedikasikan seluruh hidupnya dalam bidang literasi, terutama meneliti karya-karya Jalaluddin Rumi. Ia pernah memberikan catatan untuk dua karya penting Rumi, yaitu Divan-e Shams dan Fih ma Fihi. Dan tentu saja kitab Ahadits Matsnawi yang sangat berharga sampai hari ini.

Dalam pengantar kitabnya, Forouzanfar membocorkan kisah awal penulisan kitab ini. Setiap kali ia membaca syair-syair Rumi dalam Matsnawi dan menjumpai kata-kata گفت پیغمبر (Nabi Berkata) atau مصطفی فرمود (Mustafa Bersabda), selalu ada rasa penasaran untuk melihat langsung teks asli hadits tersebut. Dari sinilah, ia merujuk kitab tafsir Matsnawi terdahulu, salah satunya “Lataif Maknawi” karya Abdul Latif Abbasi. Ia juga berkenalan dengan studi hadits dan banyak karya-karya iduks hadits, seperti: Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad, sampai Jamius Shagir.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (42): Abu al-Abbas al-Qaṣṣab Ditanya Tentang Karamah

Di sinilah, letak kehebatan kitab Ahadits Matsnawi, mampu mengawinkan dua ranah yang terlihat saling bersebarangan, ilmu hadits dan sastra. Pada satu sisi, menunjukkan bahwa puisi-puisi Rumi dipengaruhi kuat oleh literatur klasik Islam, yaitu Al-quran dan Hadits Nabi. (Ulasan tentang buku “Alquran dan Matsnawi” sebelumnya pernah saya tulis di situs Alif). Di sisi lain juga, masuknya khazanah Islam ini menambah kekayaan kesusastraan Persia.

Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan saya, buku ini dirampungkan pada bulan september tahun 1943 dan naik cetak tahun 1954. Lalu mengapa “Ahadits Matsnawi” yang hari ini dirujuk oleh banyak peneliti dan para pengkaji Rumi lainnya, kitab dengan cetakan tahun 1997. Adakah perbedaan dari dua versi kitab ini? Jawabannya saya temukan di pengantar penerbit. Ada beberapa pertimbangan untuk merombak naskah awal kitab Ahadits, di antaranya:

Pertama, kitab asli menampilkan hadits-hadits dalam bahasa arab yang belum mendapat tanda baca, sehingga tidak dapat diakses oleh semua kalangan.

Kedua, naskah awal kitab ini merujuk pada Matsnawi karya Alaod Daulah, sedangkan kitab-kitab Matsnawi yang terbit hari ini hari ini menggunakan kodifikasi Reynold Alleyne Nicholson (1868-1945). Karena itulah, dibuat naskah seri baru dengan menyesuaikan standarisasi yang ada.

Ketiga, setelah menyelesaikan kitab Ahadits, Forouzanfar menyusun tafsir kitab Matsnawi dan menambahkan banyak catatan dan rujukan hadits-hadits. Naskah Ahadits yang baru, memasukkan catatan dan temuan terbaru Forouzanfar yang tidak ada di naskah sebelumnya.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (9): Bisyr bin al-Harits, Sang Sufi Telanjang Kaki

Keempat, pada naskah Ahadits seri baru, dilengkapi indeks dan lampiran yang sangat berguna, seperti: indeks ayat quran, indeks syair Arab, indeks hadits, indeks nama orang, nama tempat, dan nama-nama kitab yang digunakan.

Jadi, berbagai cetakan kitab “Ahadits Matsnawi” yang beredar hari ini, kembali ke naskah kedua yang telah mengalami penyempurnaan. Jika naskah pertama lebih banyak digunakan di kalangan para peneliti Rumi, ahli bahasa, dan para filolog, naskah baru dapat dinikmati para peminat kajian Rumi dari berbagai latar belakang, bahkan bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab sekalipun.

Bagi saya sendiri, berkenalanan dengan kitab Ahadits Matsnawi ini memiliki arti tersendiri. Selain, menambah keyakinan pesan-pesan yang disampaikan Rumi, juga menjawab pertanyaan saya selama ini tentang ‘keabadian’ syair-syair Rumi yang telah melewati lebih dari delapan abad. Tentu saja, karena puisi-puisi Rumi mengambil inspirasi dari pesan-pesan langit baik yang termaktub dalam Alquran maupun yang disampaikan melalui Baginda Nabi.

Pada akhirnya, kitab Ahadits Matsnawi ini tidak hanya menyuguhkan pengetahuan baru, tetapi juga menyisipkan pengalaman spiritual. Bagaimana perjuangan seorang penulis demi ‘anak’ yang dilahirkannya dengan sepenuh jiwa. Ribuan buku mungkin telah datang dan pergi, tetapi hanya buku yang memiliki ruh di dalamnya yang akan abadi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top