Sedang Membaca
Ziarah ke Yerusalem: Tertahan di Pintu Al Quds
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Ziarah ke Yerusalem: Tertahan di Pintu Al Quds

Pertengahan Juli 2018. Sinar matahari pagi musim panas yang hangat membelai lembut kota bersejarah Yerusalem.

Kami berjalan dengan langkah cepat meninggalkan hotel. Leila Almazova, seorang profesor Kajian Oriental, Afrika dan Islam di University of Kazan, Rusia; Carole Woodall, profesor sejarah Timur Tengah moderen di University of Colorado, AS dan aku. Muslih Irwani, profesor asal Irak keturunan suku Kurdi yang semula hendak bergabung ternyata batal.

Jalanan tampak lengang. Di hari Sabtu seperti itu, mayoritas penghuni Yerusalem pergi ke sinagog untuk bersembahyang. Hanya di sisi Timur Yerusalem yang dihuni orang-orang Arab kesibukan kota tampak berjalan normal seperti biasa.

Setelah melewati Makam Nabi Daud (King David’s Tomb) dan menyusuri jalan Umar bin Khattab yang mendaki selama beberapa menit, kami segera mencapai Gerbang Umar bin Khattab atau disebut juga sebagai Jaffa Gate karena posisinya yang tepat menghadap ke arah kota pelabuhan tua Jaffa dekat Tel Aviv sana. Dari kedelapan gerbang utama Jerusalem Old City, inilah satu-satunya pintu gerbang yang menghadap ke sisi Barat kota.

Yerusalem memang terbelah dua. Sisi Barat telah sepenuhnya diambil alih oleh Israel sejak Perang 1948 dan kemudian dinyatakan sebagai ibukota negara Yahudi itu. Orang-orang Arab dipaksa keluar dari sana.

Setelah negara-negara Arab kalah perang tahun 1967, Yerusalem Timur yang semula diduduki Yordania pun direbut oleh Israel. Orang-orang Arab yang tinggal di sana kembali dipaksa untuk memilih: angkat kaki atau menjadi warga Israel dengan segala konsekuensinya. Sebagian cukup besar memilih tetap tinggal. Jumlah keturunan Arab kini mencapai 20% dari keseluruhan populasi Israel.

Masjid al Aqsa dan Dome of the Rock, tempat suci terpenting ketiga ummat Islam terletak di dalam Kota Tua Yerusalem, kantong peradaban paling bersejarah yang merupakan jantung dari keseluruhan kota Yerusalem Barat dan Timur. Ke sanalah tujuan kami.

Yerusalem (Yunani: Hierousalem,  Arab: Ursalim), yang bermakna “Kota Perdamaian” adalah kota kuno dengan lapis-lapis sejarah yang tumpang tindih dan terbentuk sejak lebih dari 5000 tahun silam. Inilah kota yang sejak lima milenium tak putus dihuni dan diperebutkan manusia.

Dalam wujudnya yang sekarang, kota tua yang luasnya tidak lebih dari 1 km persegi ini adalah peninggalan Raja Sulaiman Yang Agung penguasa Turki Usmani pada abad ke-16. Raja Sulaiman membangun tembok raksasa berketinggian 12 meter dan tebal 2.5 meter yang mengelilingi kota dengan panjang lebih dari 4000 meter selama 4 tahun, 1537-1541.

Di pintu gerbang dan tembok raksasa yang megah itu, sisa kejayaan Turki Usmani tampak menjulang melampaui waktu.

Baca juga:  Kenangan di Gereja Marsarkis Iran

Dari Gerbang Umar kami mengambil langkah lurus, menyusuri jalan kuno yang diperkeras menggunakan batu Yerusalem menembus pemukiman sekaligus kompleks pertokoan yang berusia ribuan tahun.

Di sebelah kanan jalan yang kami lalui adalah kompleks tempat tinggal orang-orang Kristen Armenia, lalu maju lagi adalah kompleks orang-orang Yahudi. Sedikit menurun dari arah situ adalah sisi Barat Tembok Ratapan yang dipenuhi orang beribadah pada hari Sabtu seperti ini.

Di sepanjang jalan kami bertemu orang yang bergegas pergi atau pulang ke arah Tembok suci itu. Sedang di sebelah kiri jalan yang kami lalui terletak kompleks Kristen dan maju lagi adalah perkampungan muslim. Masing-masing permukiman itu disekat-sekat oleh tembok tebal yang tinggi. Tempat suci yang menjadi tujuan kami terletak di depan, berhimpitan dengan kompleks pemukiman Muslim tadi.

“Aku cemas sekali,” kata Carole ketika langkah kami semakin mendekati kompleks tempat suci Al Quds atau disebut juga sebagai Temple Mount oleh kaum Yahudi. Di depan kami para anggota satuan keamanan Isael tampak berjaga-jaga dengan menenteng senapan otomatis. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada yang berdiri mondar-mandir, ada yang duduk sambil ngobrol.

Dari sumber yang kubaca kemudian, aku tahu, kebanyakan di antara petugas kemanan itu ternyata bukanlah orang Yahudi, tapi berasal dari suku Druz. Orang Druz ini berbahasa Arab, tapi bukan muslim. Agama mereka merupakan gabungan antara Islam dan Hindu yang percaya pada reinkarnasi. Mereka berasal dari Dataran Tinggi Golan yang berbatasan dengan Syria. Setelah menang Perang 1967, Israel mencaplok wilayah dari negara-negara sekitarnya. Ia mengambil West Bank dari Yordania, Gaza dari Mesir dan Dataran Tinggi Golan dari Syria. Orang-orang Druz ini tersebar di beberapa tempat. Tapi konsentrasi mereka yang besar adalah di Golan yang dicaplok itu.

Semula orang-orang Druz generasi pertama tidak mau dipaksa menjadi warga Israel yang akan secara otomatis membuat mereka berdiri sebagai musuh berhadapan dengan keluarga sendiri yang tinggal di Syria atau Libanon.

Tapi, generasi berikutnya yang hanya berhubungan secara terbatas dengan para keluarga mereka di negara tetangga itu akhirnya punya perspektif berbeda. Generasi kedua ini dibesarkan di sekolah Israel, bekerja dengan orang-orang Yahudi dan makin lama makin menjadi warga Israel. Sebagai bagian dari wajib militer, anak-anak muda mereka pun masuk tentara.

Karena mereka berbahasa Arab, akhirnya banyak yang ditempatkan di wilayah-wilayah pemukiman Arab, termasuk di kompleks masjid al Aqsa. Dengan begitu, Israel punya keuntungan ganda.

Baca juga:  Tradisi Ziarah di Negeri Persia

Ketika terjadi konflik, orang Yahudi bisa “cuci tangan”, bahwa itu adalah bentrok antara muslim dan Druz, bukan dengan Yahudi. Ketika situasi normal, mereka bisa saling berkomunikasi dengan mudah karena sama-sama berbahasa Arab. Sebab, meskipun sampai 2018 Arab masih menjadi bahasa resmi, hanya sedikit orang Yahudi yang bisa berbahasa Arab.

Tidak sedikit orang Arab yang menganggap bahwa orang Druz ini lebih Yahudi dari orang Yahudi. Ini tampaknya terkait dengan status mereka sebagai warga baru yang berasal dari kaum minoritas di negara Yahudi. Ada tekanan besar terhadap mereka untuk secara kolektif membuktikan loyalitas dan spirit “nasionalisme” terhadap Israel.

Pintu pemeriksaan semakin dekat dan kulihat wajah Carole semakin cemas.

Sehari sebelum ini aku memang sudah mengunjungi tempat suci ini sendirian. Setiap kali ada waktu luang diantara acara ilmiah yang kuikuti, bahkan setelah matahari terbenam, aku menyempatkan diri salat di masjid Aqsa yang berjarak 30 menit jalan kaki dari tempat penginapan kami. Semula aku khawatir. Tapi berkat bantuan seorang teman yang menghubungkan aku dengan warga Arab yang tinggal di wilayah itu, aku tahu bahwa situasi sebetulnya tidak segenting yang dikhawatirkan banyak orang. Karena itulah aku tahu, bahwa pada hari Sabtu dan Minggu, tempat suci itu tertutup kecuali untuk muslim.

Di hari-hari biasa, turis non-muslim boleh masuk ke kompleks tempat suci itu tapi hanya di halamannya saja, tidak diperbolehkan memasuki bangunan utama.

Ini sebetulnya merupakan aturan baru, akibat ulah Ariel Sharon yang menimbulkan konflik berdarah pada tahun 2000. Sebelum itu, turis muslim maupun non-muslim diijinkan masuk ke bangunan utama tanpa larangan.

Sekarang turis non-muslim bisa masuk ke dalam, tapi mereka harus mendapat ijin khusus secara kolektif dan harus mengajukan permohonan beberapa hari sebelumnya.

Temanku Carole bukan muslim. Tapi ia sudah mengajar Islam selama 20-an tahun di AS.

Carole ingin sekali melihat seperti apa wujud dan keindahan bagian dalam tempat suci ummat Islam yang sangat penting itu. Ia tahu, peluangnya tidak terlalu baik. Tapi ia bersikeras untuk mencoba. Leila yang berasal dari Rusia adalah muslim. Kami berdua tidak akan ada masalah.

Saking kuatnya keinginan untuk mendapatkan pengalaman ziarah secara langsung ke Masjid al Aqsa dan Dome of the Rock, Carole bersyahadat di depan kami pada malam sebelumnya.

“Kalau sudah bersyahadat, berarti aku muslim kan? Jadi aku boleh masuk ke al Aqsa besok kan?” begitu ia berimajinasi. Muslih asal Irak itu tertawa-tawa saja.

Baca juga:  Kerukunan Mazhab di Makam Syekh Yazid al-Busthami

Petugas kemanan Israel itu menghentikan kami. Paspor kami diperiksa dengan teliti satu per satu.

“Hari Sabtu dan Minggu, hanya muslim yang boleh masuk. Kalian muslim?”

“Ya,” jawab kami serentak.

“Kamu berasal dari mana?” tanya petugas itu pada Carole.

“Amerika.”

“Kamu muslim?”

“Ya.”

“Coba baca syahadat.”

Aku pun sudah beberapa kali mereka suruh syahadat, membaca al Fatihah atau surat pendek Alquran. Aku sempat agak dongkol juga. Ini orang “kafir” kok sok ngetes “keimanan” orang Islam. Kurang ajar sekali ya?

Carole sudah latihan bersama kami pada malam sebelumnya, sehingga ia bisa melakukannya dengan mudah.

Kami pun merasa sangat lega ketika petugas kemanan itu memberi isyarat agar kami bisa terus jalan. Tapi itu baru pos penjagaan pertama. Di depan, persis di pintu gerbang, kami harus melewati satu lapis penjagaan lagi.

Benar. Di sana petugas keamanan memeriksa kami lagi. Kali ini lebih teliti. Mungkin karena terlalu khawatir, Carole bahkan sudah membaca syahadat sebelum petugas itu menyuruhnya. Kulihat wajahnya menjadi curiga. Petugas itu bertanya padaku dan Leila untuk memastikan bahwa Carole memang muslim. Kami mengangguk. Tapi rupanya itu tidak cukup meyakinkan.

Tentara dengan senapan mesin itu kemudian memanggil laki-laki Arab yang rupanya adalah petugas keamanan dari pihak pengelola masjid.

Dome of the Rock dan masjid al Aqsa secara teritorial memang ada di bawah kekuasaan Israel dan keamanan sepenuhnya dipegang oleh Israel. Tapi urusan pengelolaan kegiatan sehari-hari tempat suci umat Islam itu ada di bawah tanggung jawab yayasan waqaf pemerintah Yordania. Kenapa?

Sebab, seperti sudah kusinggung sebelumnya, dulunya Yerusalem Timur dan wilayah yang disebut West Bank memang wilayah Yordania.

Are you Muslim?” tanya si Arab.

Yes,” jawab Carole bersemangat.

Do you have something to prove? Any paper?

Carole menggeleng.

Please recite suratul Fatihah…,” katanya lagi.

Carole menatapku tegang. “I am not ready,” katanya sejurus kemudian.

“Apa maksudmu?”

“Dia memang muslim, tapi dia baru bersyahadat belum lama ini,” aku mencoba menjelaskan.

“Maaf, kalau begitu kamu tidak bisa ikut. Aku sudah melihatmu beberapa kali, kalian boleh masuk,” kata petugas Arab itu padaku.

So sorry, Carole. You will come in next time,” aku mencoba menghibur. Tapi Carole tidak bisa menyembunyikan wajah kecewanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top