Meski latar cerita dalam novel sudah 33 tahun yang lalu, amanatnya masih sangat relevan untuk dijadikan pengingat bagi kita semua. Betapa kuasa gelap korupsi masih kuat membayangi atap negeri ini.
Kolong langit negeri tampaknya tidak berubah meski era reformasi telah bergulir lama. Semua berkutat disitu-situ saja, karena lembaga pemberantas korupsi tak menunjukkan idealismenya membasmi ketamakan. Terutama yang punya akses ke kekuasaan. Budaya korup menghantui banyak orang.
Kata proyek menerima nuansa negatif, yakni akal-akalan manusia belaka. Atau, kurang lebih adalah suatu hal yang bakal dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Untuk itulah korupsi pada sebuah proyek pembangunan jembatan ini dikisahkan.
Proyek pembangunan jembatan di atas Sungai Cibawor yang seharusnya menjadi upaya terencana memajukan desa, justru menjadi obyek bancakan bersama. Tohari menggambarkan mental orang-orang proyek yang korup dan gemar bancaan jika ada proyek ini dengan organ paling vital manusia. Yakni urat nadi: sesuatu yang sudah semestinya melekat dan menjadi bagian dari hidup kita sehingga tak merasakan ada yang salah atau aneh.
Sembari membaca setiap rentetan kisahnya, kita juga akan diajak merenung. Budaya korup semestinya bukan semata tercipta karena kesempatan berlaku tamak, tapi juga krisis komitmen yang perlu dikendalikan. Orang tanpa komitmen yang kuat akan gampang goyah bila melihat suatu hal yang menggiurkan di depan matanya sekalipun telah menabrak norma-norma.
Orang-orang Kemaruk dan Banalitas di Zaman Edan
Diksi ”proyek” memiliki makna lebih dalam benak masyarakat kita. Proyek yang dalam arti sesungguhnya bermakna pekerjaan, telah memiliki pengembangan makna, yaitu kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan unsur curang untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Caranya bisa macam-macam, mulai dari memanipulasi nota pembelian, pendegradasian kualitas produk, kemudian pengalihan anggaran kegiatan ke dompet pribadi dan lain sebagainya. Penyakit ini biasa menjangkit tubuh pemerintah maupun swasta.
Pada novel Orang-orang Proyek kita akan menemukan bagaimana gambaran kompleksitas pembangunan proyek jembatan di desa, serta konflik moral, korupsi dan dinamika sosial di dalamnya. Melalui tokoh utama, Kabul, kita akan disuguhkan dengan perjuangan seorang insinyur muda yang berhadapan dengan realitas proyek yang dipenuhi oleh penyimpangan moral dan kebobrokan sistem.
Dikisahkan, Kabul, seorang insinyur yang dipercaya sebagai pemimpin di proyek pembangunan jembatan Cibawor ini memiliki sikap cablaka, yakni istilah untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak terbiasa berbuat nakal. Sepanjang memimpin proyek dia memiliki kegelisahan yang senantiasa berkelindan. Ke-cablaka-an ini ditunjukkkan tokoh pada sebuah percakapan dengan lawan bicaranya.
“Hal ini agaknya sudah menjadi gejala umum di mana-mana. Sedihnya lagi, tak sedikit insinyur telah kehilangan komitmen profesi dan tanggung jawab moral keilmuan mereka. Jadilah mereka bagian dalam barisan orang yang mengebiri ilmu teknik sipil. Akibatnya, bangunan sipil berdiri dengan mutu di bawah standar. Dengan tingkat mutu yang rendah, nilai manfaat bangunan itu pasti rendah pula –umurnya pendek, tingkat keamanannya payah, dan seterusnya. Kita tahu kebanyakan bangunan yang saya sebut dibiayai dengan dana pinjaman. Dan siapa yang harus menanggung beban utang itu, kita sudah tahu: rakyat!”. (hlm.79)
Di novel juga menyitir mengenai tembang Ki Ronggowarsito yang sudah lebih dari seabad lamanya tercipta. Tembang yang meramal tentang datangnya zaman edan di masa depan. Tembang yang selayaknya menjadi pengingat agar laku manusia tidak menyeleweng dan masih menjunjung tinggi norma-norma.
“Dulu Ki Ronggowarsito menciptakan tembang tentang zaman edan itu sebagai pengingat agar orang tetap memilih jalan keselamatan, bukan jalan gila. Namun sekarang tembang itu malah dihayati terbalik, sehingga seolah-olah menjadi pembenar atas perilaku edan. Buktinya, ya itu tadi, orang-orang sudah membenarkan ungkapan, bila tidak ikut edan tidak mendapat bagian. Artinya, banyak orang rela disebut edan asalkan perut kenyang.” (hlm.80)
Ahmad Tohari dalam novelnya ini mengamanati betapa penting sebuah integritas dan kejujuran dalam melaksanakan proyek pembangunan. Leat tokoh Kabul, dengan prinsip-prinsipnya yang teguh, menunjukkan bahwa mempertahankan integritas adalah langkah yang sulit namun penting untuk melawan korupsi. Ia mempertahankan kejujurannya, meskipun itu mengancam hak dan tanggung jawabnya dalam proyek. Novel ini memberikan kritik terhadap pembangunan yang tidak mempertimbangkan keadilan, baik dalam distribusi sumber daya maupun keputusan yang diambil demi kepentingan politik.
Buku ini adalah buku sastra, dan sastra yang baik adalah sastra yang mencerminkan masyarakatnya. Buku ini merupakan cerminan dari kebobrokan pada suatu masyarakat pada zaman tertentu. Dimana budaya korup dan bancakan proyek bukan lagi sebuah rahasia. Dengan dalih pembangunan, kejahatan Orde Baru kian telanjang di depan mata. Kekayaan hanya dinikmati oleh segelentir orang-orang yang memiliki kuasa lebih pada negeri ini. Jangan hanya karena kita memiliki kesempatan lebih besar, lantas kita memutus kesempatan orang lain untuk merasakan hal yang sama kita nikmati.
Judul : Orang-orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Tebal : 256 halaman
Terbit : Cetakan kedua, Oktober 2015
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-2059-5