K.H. Nur Rohmat atau masyarakat kerap menyapanya Mbah Nur adalah Ulama Kharismatik daerah Pati. Beliau begitu berpengaruh di daerahnya. Bukan hanya sekedar menjadi ulama penyebar Islam, Mbah Nur juga salah satu anggota aktif dalam jajaran kepolisian.
Kiai yang merupakan personel BRIMOB Pati itu memiliki perhatian cukup besar terhadap kemajuan pendidikan generasi mendatang. Sekalipun tugas kepolisiannya tak dapat ditinggalkan, beliau masih bersikukuh membuka yayasan pendidikan, mengajarkan ilmu keagamaan, ngopeni santri, dan terlebih mereka yang dari kampung yang tak begitu memiliki akses pendidikan memadahi.
Maka sejak tahun 1993, Mbah Nur mendirikan Pondok Pesantren yang diberi nama Al-Isti’anah. Seperti namanya, yang artinya adalah ‘pertolongan’, pesantren itu benar-benar mampu menolong pendidikan orang-orang ndeso yang masalah peliknya adalah perihal perekonomian yang rendah dan akses pengetahuan yang minim. Pesantren itu didirikan di atas sebuah petak tanah di desa Plangitan, pinggiran kota Pati. Beliau juga pernah menuturkan bahwa, sejak awal berdirinya pesantren itu banyak diminati oleh santri dari kalangan ndeso yang notabenenya adalah orang-orang kampung yang perlu akan kecakapan ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Beliau berikhtiar dengan sangat serius bahwa optimismenya mendirikan pesantren akan berlangsung dan membuahkan hasil yang bagus. Terbukti para mutakhorijinnya banyak yang mampu mengisi berbagai lapisan masyarakat. Ada yang berprofesi sebagai pejabat, pedagang sukses, enterpreneur, pendakwah, pengasuh pesantren dan profesi stretegis lainnya.
Perihal Pangeran Diponegoro dan Syair Burdah
Mbah Nur adalah Kiai yang sangat mencintai kebudayaan lokal. Banyak sosok yang diidolakan beliau dalam menjalankan laku kehidupanya. Sosoknya yang lahir dari kawasan Bumi Saridin itu membuatnya berperangai selayaknya Saridin, tokoh yang masyhur dengan tingkah kewaliannya yang kontroversial. Namun karena Mbah Nur adalah Ulama yang hidup di kurun era modern, beliau lebih mencontohinya pada laku hidup yang inklusif dan sederhana.
Bahkan soal kebudayaan beliau sangat telaten merawat nilai-nilai kefilosofisannya. Semisal saat beliau berpakaian. Pakaian yang dikenakannya banyak mengandung unsur Jawa yang kental. Berjubah hitam ala jawa, berbelangkon, bersorban kain iket dan pakaian berunsur Jawa lainnya. karena dalam hal ini, beliau sangat mengidolakan sosok Kanjeng Sunan Kalijogo, tokoh kharismatik penyebar Ajaran Islam di kawasan Demak. Seperti Sunan Kalijogo, prinsip berislamnya bukanlah tentang apa yang kita pakai, namun bagaimana kita bisa tetap menjaga tradisi yang kita miliki itu dengan mengharmonisasikanya dengan nilai Islam.
Sedang sosok lain yang beliau idolakan sebagai teladan lagi adalah Pangeran Diponegoro. Pengeran tampan keturunan Raja dari keraton Jogjakarta itu sangat menginspirasinya berkat elgatarianismenya dan peran besarnya dalam menentang kesewenang-wenangan kolonial. Baginya, Pangeran Diponegoro adalah sosok Sufi yang memiliki laku sosial yang baik terhadap sesama. Dalam beberapa ceramahnya Mbah Nur, Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai sosok religius yang gagah berani dan pantang mundur melawan musuh-musuhnya.
Suatu waktu Mbah Nur menceritakan sebuah episode dalam Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam laga pertempura itu, Pangeran Diponegoro terdesak pada sebuah situasi yang pelik. Tepat pada hari Jumat pahing malam sabtu pon, yakni 29 September 1829 seperti yang diceritakan Mbah Nur. Pengeran Diponegoro bersama beberapa pengikutnya terjepit pada sebuah rawa yang terbentang luas di hadapannya, yang tak beliau ketahui seberapa dalam rawa tersebut. Sedang para Kompeni Belanda semakin dekat mengejarnya dari belakang.
Betapa bersorak sorainya mereka melihat Pangeran Diponegoro akan mampu mereka tangkap atau bahkan mereka bunuh. Maka dalam keadaan yang teramat genting itu, Pangeran Diponegoro membacakan sebuah bait syair Burdah gubahan Imam al-Bushiri (w. 695 H/1296 M). Bait itu berbunyi:
وِقَايَاتُ اللهِ أَغْنَتْ عَنْ مُضَاعَفَةٍ # مِنَ الدُّرُوعِ وَعَنْ عَالٍ مِنَ الْأُطُمُ
“Perlindungan Allah jauh lebih berlimpah dari sekedar baju besi berlapis dan dari benteng yang kokoh nan tinggi.”
Dengan hati yang pasrah dan penuh ketundukan kepada Allah Swt., Pangeran Diponegoro mendapati perintah dari langit untuk menceburkan kudanya ke dalam rawa dan terus memacunya sampai ke ujung. Dalam penuturan Mbah Nur, perintah itu adalah bisikan malaikat yang diperintahkan Allah langsung untuk para kekasihnya yang sedang membutuhkan pertolongan.
Maka tanpa pikir lama, Pangeran Diponegoro melaksanakan perintah itu sambil berucap, Sami’na Wa Atho’na dan mengekang kudanya untuk terus terpacu melewati rawa di hadapannya.
Pangeran Diponegoro dan beberapa pengikutnya, akhirnya mampu melewati rawa itu tanpa khawatir tenggelam. Kompeni Belanda yang sejak tadi mengejar rombongan Pangeran Diponegoro juga mencoba ikut menceburkan diri mereka ke dalam rawa seperti yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Namun naas, mereka justru malah terperosok dan berjatuhan dalam kubangan lumpur rawa yang dalam. Maka Pangeran Diponegoro bersama rombongannya dapat lolos dan selamat dari pengejaran Para Kompeni.
Sudah jamak kita ketahui, bahwa kecerdikan Pangeran Diponegoro dalam laga pertempurannya melawan Kolonial Belanda telah menguras banyak hal. Baik itu pikiran, uang, pasokan pangan bahkan nyawa banyak berguguran.
Itulah mengapa Mbah Nur selalu termotivasi untuk meniru sikap tunduk dan kepasrahannnya hanya kepada Allah Swt saja. Pangeran Diponegoro dengan sholawat Burdah yang diamalkannya mampu menjadi wasilah kepada Allah Swt., satu-satunya tempat untuk mengadu dikala dirudung sebuah masalah.
Mbah Nur juga gemar mengamalkan sholawat Burdah. Beliau memiliki jamaah yang memang khusus untuk melantunkan syair-syair dalam Qosidah Burdah itu. Jamaah itu terdiri dari para muhibbin (pecinta), alumni, para santri dan wali santri, juga masyarakat sekitar. Mbah Nur bersama para Jamaah berkumpul bermunajat dalam acara bernama “Burdahan”. Dalam momentum itu, selain membacakan sholawat Burdah yang terdiri dari 160 bait juga membacakan sholawat al-Barzanji karangan Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji (w.1180 H/ 1766 M).