Sedang Membaca
Menyegarkan Kembali Pemikiran Sejarah Nasional
Abi S Nugroho
Penulis Kolom

Aktivis NU. Konsen pada kerja-kerja jaringan untuk inklusi sosial. Tinggal di Jakarta

Menyegarkan Kembali Pemikiran Sejarah Nasional

Bayangkan kita sedang duduk di bangku sekolah dasar. Lalu di depan kita, seorang guru sejarah dengan suara lantang mengucapkan, “Anak-anak, Indonesia dijajah selama 350 tahun!”.

Kita mengangguk, mencatat, dan menghafal.

Bertahun-tahun kemudian, kita baca jurnal sejarah dan menyadari bahwa angka 350 tahun itu ngawur. Tapi toh, sejarah sudah terpatri di kepala kita. Lebih buruk lagi, di kepala jutaan anak bangsa yang tumbuh dengan kesamaan asumsi nasionalistik.

Jadi, ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, melontarkan proyek penulisan ulang sejarah nasional dengan mengumpulkan ratusan ahli sejarah, kita mungkin bertanya-tanya: “Loh, kenapa baru sekarang?”

“Untuk apa?”

Mari kita kupas.

Memuja Masa Lalu

Wacana tentang sejarah nasional itu seperti undangan nostalgia, mengingat masa lalu dengan kacamata masa kini, lalu menuliskannya ulang dengan gaya baru, aktor baru, tapi logika lama. Logika sentralisasi narasi. Sejarah nasional adalah proyek khas negara-bangsa (nation-state), produk abad ke-20, ketika identitas kebangsaan adalah mata uang politik paling laris.

Dalam konteks itu sisa pikiran perang dingin itu, penulisan sejarah nasional adalah strategi, dan jangan salah, strategi ini tidak netral. Seperti diingatkan Michel Foucault, sejarah adalah salah satu aparatus kebenaran yang diproduksi dan direproduksi untuk memelihara relasi kuasa. Ia bukan soal fakta, tapi tentang “apa yang dianggap sah sebagai fakta oleh kekuasaan”.

Namun sekarang tahun 2025. Kita hidup di era ketika orang bisa belajar sejarah dari YouTube, TikTok, bahkan meme. Ketika pendekatan sejarah mikro, subaltern, gender, dan poskolonial mendekonstruksi narasi besar (grand narrative). Ketika peristiwa kecil dan suara-suara pinggiran mulai diberi tempat. Jadi pertanyaannya, apa relevansi proyek penulisan ulang sejarah nasional hari ini? Apakah karena menjelang 80 tahun Indonesia merdeka? Atau karena Menteri ingin meninggalkan warisan bersifat simbolik?

Baca juga:  Politik Kaum Muda dan Drama Pemilu 2024

Proyek penulisan ulang akan direvisi atau restorasi? Kata “revisi” terdengar akademik dan masuk akal. Tapi mari kita jujur, revisi macam apa yang sedang dikerjakan? Revisi sebagai bentuk koreksi ilmiah atau sebagai penyesuaian estetika politis? Apakah sekadar mengganti nama jalan yang disebutkan, menambahkan tokoh lokal sebagai pemanis, atau memperpanjang daftar pahlawan agar terasa lebih inklusif?

Revisi sejati, seperti ditulis Edward Said dalam Orientalism, bukan hanya menambahkan elemen representatif, tapi mengusik ketenteraman logika dominan yang membentuk narasi itu sejak awal. Jika sejarah nasional hanya direvisi supaya terasa lebih kekinian tanpa menyentuh struktur naratif dan epistemologisnya, maka itu bukan revisi. Itu restorasi. Bedanya tipis, tapi dampaknya besar. Satu membuka ruang, satu menutup rapat-rapat.

Tak usah jauh-jauh. Kita punya pengalaman sejarah sangat eksplisit dalam menggunakan narasi untuk mengatur ingatan. Orde Baru adalah kurator ulung dalam hal ini dengan menjadikan historiografi sebagai alat negara.

Sejak “Sejarah Nasional Indonesia” enam jilid diluncurkan tahun 1975, sejarah kita menjadi sejarah satu suara. Tak ada tempat bagi Gerwani selain sebagai “wanita haus seks”. Tak ada cerita buruh atau tani selain sebagai latar belakang penderitaan. Yang heroik? Hanya militer, Soeharto, dan nasionalisme steril.

Dan jangan lupa, buku itu disusun sejarawan. Tapi bahkan beberapa di antara mereka menolak dicantumkan namanya. Artinya, otoritas akademik saja tidak cukup jadi jaminan bahwa proyek sejarah ini sahih. Seperti dikatakan Hayden White, narasi sejarah tak pernah bebas dari retorika. Ia bukan refleksi masa lalu, tapi dibikin untuk produksi makna masa kini.

Maka pertanyaan kritisnya adalah, dalam kerangka diskursif macam apa sejarah nasional baru ini ditulis? Apakah untuk pendidikan? Ideologi? Atau sekadar nostalgia dan simbolisme menjelang perayaan kemerdekaan? Jika yang terakhir, lebih baik kita bikin festival karnaval, upacara dan perlombaan di halaman depan istana saja sambil menyanyikan lagu dangdut. Setidaknya itu jujur.

Baca juga:  Suara NU dan Arah Politik Kiai di Pilpres 2024

Representasi tidak menjamin ada emansipasi. Sering kali, kritik terhadap sejarah nasional dijawab dengan argumen representasi, misalnya: “Sekarang kita akan masukkan tokoh dari Papua, dari Aceh, dari perempuan-perempuan hebat.” Baiklah. Tapi itu baru soal siapa yang bicara, belum menyentuh dari mana mereka bicara dan untuk siapa mereka bicara. Seperti yang ditulis Gayatri Spivak, “Can the subaltern speak?” Dan lebih penting lagi, apakah narasi dominan bersedia mendengar?

Menampilkan representasi tanpa mengubah struktur naratif adalah kosmetika sejarah. Kita bisa menambahkan karakter dari berbagai penjuru nusantara, tapi kalau alurnya tetap Jakarta-sentris, militeristik, dan penuh euforia nasionalistik, maka kita hanya menata ulang wajah lama dengan bedak baru.

Sejarah sebagai Diskursus, Bukan Dogma

Kita perlu berhenti memperlakukan sejarah nasional sebagai kitab suci. Sejarah bukan soal benar atau salah, tapi tentang tafsir dan posisi. Siapa yang menulis, kenapa dia menulis, dan apa yang dia hilangkan. Narasi sejarah yang sehat justru membuka ruang bagi gugatan, pembacaan alternatif, dan keraguan metodologis.

Sejarah nasional idealnya bukan proyek penyelesaian, tapi pembukaan. Ia bukan naskah final, tapi draft abadi. Seperti dikatakan Walter Benjamin dalam Theses on the Philosophy of History, setiap dokumen kebudayaan juga adalah dokumen barbarisme. Bersifat diskontinyu, tidak linier, dan homogen. Artinya, dalam setiap narasi besar, selalu ada yang dikorbankan. Maka menulis sejarah bukan soal mengisi kekosongan, tapi mengakui adanya praktik isolasi dan marjinalisasi.

Baca juga:  Tahun Politik: Menguji Netralitas PBNU

Jika kita tahu bahwa sejarah nasional sulit lepas dari kepentingan politik dan cenderung sentralistik, maka kenapa tidak membiarkan saja proses pewacanaan sejarah berlangsung alamiah? Biarkan diskursus tumbuh dari kampus, komunitas, media, bahkan kanal YouTube anak muda. Sejarah tidak harus diformalkan menjadi dokumen negara. Karena ketika ia diformalkan, ia segera menjadi alat kontrol. Kenapa tidak dibiarkan saja?

Dan ini bukan soal romantisme liberal, di mana keputusan politik diambil berdasarkan intuisi. Ini soal distribusi kekuasaan yang bersifat naratif. Ketika negara menulis sejarah nasional, maka negara mengklaim posisi sebagai satu-satunya penyusun memori kolektif. Ini bisa berbahaya, apalagi di tengah krisis demokrasi dan melebarnya jurang antara rakyat dan penguasa.

Akhir Kata: Lebih Baik Tak Ditulis Sama Sekali

Jadi, apakah sejarah nasional masih relevan? Jawaban saya: tidak. Bukan karena sejarahnya tak penting, tapi karena gagasan sejarah nasional itu sendiri sudah usang. Ia adalah bentuk narasi tunggal yang mengklaim universalitas dalam bangsa yang kenyataannya sangat plural, retak, dan tidak pernah selesai menyusun ingatan kolektifnya sendiri.

Alih-alih menyusun narasi tunggal dan resmi, lebih baik kita merayakan keragaman narasi. Biarkan sejarah Aceh ditulis dari Aceh, sejarah Papua dari Papua, sejarah perempuan oleh perempuan. Biarkan tumpang-tindih, bahkan konflik dan ketegangan intelektual terjadi karena interpretasi. Karena dalam sejarah, justru yang perlu dirawat adalah menyuburkan ruang perdebatan, bukan kesimpulan seragam.

Sejarah nasional yang baik bukan yang tertata rapi dalam rak pemikiran yang sempit, tapi yang gaduh dengan pikiran terbuka. Bukan yang final, tapi yang bisa dipertanyakan. Dan jika negara tidak siap membangun diskursus sejarah seperti itu, maka lebih baik tidak usah menulisnya sama sekali.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top