Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Mengungkap Usia Aisyah Saat Menikah dengan Nabi (4): Nabi Menikahi Aisyah pada Usia 18 Tahun

Img 20200917 Wa0008

Imam Muslim dalam Kitab al-Jihad wa al-Siyar, Bab Karahah al-Isti’anah fi al-Ghazw bi Kafir, meriwayatkan partisipasi Aisyah dalam perang Badar. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Aisyah menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, yaitu ketika mereka sampai di Syajarah. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sementara itu al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa al-Siyar, Bab Ghazw al-Nisa` wa Qitaluhunna Ma`a al-Rijal, meriwayatkan keikutsertaan Aisyah dalam perang Uhud. Anas mencatat bahwa pada hari Uhud orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah Saw. Pada hari itu Anas melihat Aisyah dan Ummu Sulaim dari jauh, mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk memudahkan gerak dalam perjalanan). Hingga di sini jelas, Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud.

Kemudian al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, Bab Ghazwah al-Khandaq wa Hiya al-Ahzab, meriwayatkan bahwa Ibn `Umar tidak diizinkan oleh Nabi Saw. untuk berpastisispasi dalam Uhud karena saat itu usianya baru 14 tahun. Tetapi waktu perang Khandaq, ketika ia berusia 15 tahun, Nabi Saw. mengijinkannya ikut dalam perang tersebut. Dari sini dapat diambil sekurangnya dua hal: 1) anak-anak berusia di bawah 15 tahun belum diizinkan ikut-serta dalam perang, dan 2) Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud. Artinya, Aisyah kala itu sudah berusia jauh di atas 9 tahun, minimal 15 tahun. Di samping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain bahwa usia ‘A’isyah saat berkeluarga dengan Nabi Saw. bukan 9 tahun.

Baca juga:  Kisah Nabi Ibrahim dan Asal-Usul Sejarah Bangsa Arab

Seluruh muslim setuju bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari al-Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik mengenai usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Saw. Apakah al-Qur’an mengizinkan atau melarang pernikahan dengan gadis belia berusia 6 atau 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang menuntun seorang Muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Tuntunan itu relevan juga dijadikan pegangan dalam mendidik dan memperlakukan anak kita sendiri. Ayat itu berbunyi:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا. وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS al-Nisa`/4: 5-6).

Baca juga:  Meluruskan Sejarah Muhammadiyah

Terhadap anak yatim, kita memiliki kewajiban: 1) memberi makan, 2) memberi pakaian, 3) mendidik, dan 4) menguji kedewasaan mereka. Ini semua dilakukan sebelum mereka mencapai usia nikah dan sebelum diberi kepercayaan untuk mengelola keuangan. Terlihat jelas bahwa al-Qur`an sangat teliti soal kedewasaan dan kematangan anak-anak yatim, baik secara intelektual maupun fisik melalui pengasuhan dan pendidikan sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan dan sebelum mereka diberi kepercayaan pengelolaan harta kekayaan mereka secara mandiri.

Maka, berdasar ayat di atas, seorang Muslim tidak boleh gegabah melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada anak gadis belia berusia 7 tahun. Jika untuk mengelola keuangan saja gadis belia seusia 7 tahun belum diperbolehkan, maka apa lagi untuk dilakukan akad-nikah dengannya. Kematangan intelektual dan fisik mereka masih sangat belum memungkinkan untuk melakukan pernikahan. Maka sangatlah sulit mempercayai bahwa Abu Bakar—seorang tokoh Muslim awal—bersedia menunangkan puterinya yang masih sanbat belia berusia 7 taun dengan Nabi Saw. yang sudah berusia 50 tahun. Sulit pula membayangkan bahwa Nabi Saw. menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Lalu mari kita bicara soal pendidikan anak; sebuah tugas penting dalam menjaga dan membesarkan mereka. Berapa orang di antara kita yang berhasil mendidik anak dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun? Jawabnya, tidak ada. Jika kita tidak akan berhasil mendidik anak dengan sukses sebelum usia 7 tahun, maka bagaimana bisa kita menikahkan anak perempuan yang bahkan belum genap 7 tahun? Sungguh di luar nalar jika ada orangtua menyerahkan anak perempuannya berumur 7 tahun kepada seorang pria berusia 50 tahun untuk dinikahi. Dalam hal ini, Abu Bakar dan Aisyah bukan kekecualian.

Baca juga:  Cerita Abu Lahab yang Menyukai Hari Senin

Ada lagi pendapat aneh yang mengatakan bahwa negara-negara bercuaca panas pada waktu itu, yakni di zaman Nabi Saw., menjadikan anak-anak perempuan kecil cepat menjadi gadis dewasa. Ini sungguh aneh. Sebab dari dulu hingga sekarang negara-negara bercuaca panas itu, yaitu negara-negara Arab, tetaplah bercuaca panas—bahkan tambah panas saja adanya. Tapi mengapa kita sekarang tidak menemukan anak-anak perempuan berusia 6 atau bahkan 9 tahun yang menjadi gadis dewasa sebelum waktunya? Omong-kosong ini bertentangan dengan kenyataan ilmiah yang menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara cuaca dengan kedewasaan dini.

Kesimpulannya, berdasar perhitungan yang benar, Siti Aisyah menikah (berumah-tangga) dengan Rasulullah Saw. di usia 18 tahun, bukan 9 tahun. Riwayat yang mengatakan bahwa ia menikah di usia 9 tahun bertentangan dengan syarak, akal, riwayat-riwayat yang sahih, ‘urf (tradisi masyarakat), dzauq (cita-rasa sosial-kemasyarakatan), dan adat-istiadat. Dan yang paling nyata, bertentangan dengan urut-urutan kronologis historis perjalanan hidup dan dakwah Nabi Saw.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
1
Senang
8
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top