Sedang Membaca
Ijtihad dan Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dalam Islam
Fairuz Ainun Naim
Penulis Kolom

Pendiri Forum Diskusi Nurul Iman Cirebon. Alumnus Mathali'ul Falah Kajen 2011 dan Master di Universitas Cadi Ayyad Marrakech jurusan Fiqh Nawazil Al Mu'ashirah tahun 2019. Peneliti dalam bidang Ushul Fikih, Tasawuf, dan keislaman secara umum. Saat ini menjadi dosen PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan IAI Cirebon.

Ijtihad dan Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dalam Islam

Wejangan Kiai Maemun, Agar NU Luwes dengan Pemerintah 2

Al-Qur’an memang satu, begitu pun Nabi Muhammad sebagai pembawanya, lantas kenapa hukum Islam bisa beragam?

Ini adalah pertanyaan yang muncul di benak banyak muslim ketika mempelajari syariat islam dan melihat realitasnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Untuk mengetahuinya bisa kita bahas hal-hal berikut ini.

Seperti dikatakan dalam Khulashatu at-Tasyri’ al-Islami karya Khudlari Bik, setelah rasulullah wafat, otoritas keputusan hukum berada di tangan para sahabat yang eranya berawal dari sesudah wafatnya rasulullah pada tahun 11 H hingga akhir abad pertama hijriyah. Jika di era Rasulullah sumber hukum adalah Al-Qur’an dan Sunnah beliau, maka pada era ini sumber hukum bertambah dengan ijtihad para sahabat atas apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad para sahabat yang jumlahnya sangat banyak kemudian melahirkan fatwa-fatwa tertentu berdasarkan ijtihad mereka yang beragam.

Adanya ijtihad yang dilakukan para sahabat ini disebabkan mereka menguasai dua sumber utama agama, hingga mereka menginterpretasinya sesuai dengan kapasitas dan pengalaman yang mereka miliki. Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika rasulullah masih hidup, yaitu ketika Mu’adz bin Jabal diutus ke yaman dan ditanya oleh rasulullah apabila ia memutus perkara yang tidak ada dasar hukum di Al-Qur’an dan sunnah beliau menjawab akan berijtihad dengan akalnya. Dan kemudian hal inidijadikan pegangan generasi setelahnya dalam melakukan ijtihad.

Pengertian Ijtihad dan Kriterianya

Ijtihad menurut bahasa diambil dari kata arab yaitu ijtahada yajtahidu ijtihadan. Secara bahasa, ia berakar dari kata jahada yajhadu juhdan yang berarti berjuang. Sedangkan secara istilah, seperti diungkapkan oleh Abu Ishaq Asy-Syirazi dalam Al-Luma’ adalah:

Baca juga:  Dakwah Sebagai Media Transformasi Sosial (1)

استفراغ الوسع وبذل المجهود فى طلب الحكم الشرعي

“ Mengerahkan potensi dan mendayakan segenap usaha dalam mencari hukum syara’.”

Sedangkan Al-Amidiy dalam Al-Ihkam mendefinisikannya sebagai:

اسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحَسُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزُ عَنِ الْمَزِيدِ فِيهِ

“Mengerahkan potensi dalam mencari dhann (dugaan kuat) tentang suatu hukum syara’ sampai merasakan kesulitan dalam melakukannya.”

Dari kedua pengertian tersebut, Ijtihad adalah proses pengerahan segenap potensi dari seseorang kriteria-kriteria tertentu untuk dapat mengambil hukum syara’ dari dalil-dalil yang ada, yang dalam ungkapan Imam Al-Haramain dalam Al-Waraqat disebut sebagai orang yang sempurna perangkat ijtihadnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.

Asy-Syaukani dalam karyanya Irsyadul fuhul menyebut kriteria seorang mujtahid mujtahid (orang yang berijtihad) sebagai berikut: Pertama, memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan baik, kalau hanya salah satunya tidak bisa disebut mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Yang dimaksud adalah tidak disyaratkan untuk memahami seluruh Al-Qur’an dan Sunnah kecuali yang berkaitan dengan hukum saja. Al-Ghazali dan Ibn Al-‘Arabi mengatakan ayat-ayat hukum di Al-Qur’an jumlahnya sekitar 500 ayat.

Ada beberapa pendapat terkenal tentang berapa jumlah hadits yang harus dikuasai. Imam Al-Mawardi mengatakan seorang mujtahid harus menguasai minimal 500 hadits hukum, sedang Ibn Al-‘Arabi mengatakan 3000 hadits hukum, dan Imam Ahmad mensyaratkan 500.000 hadits hukum bagi seseorang untuk bisa berijtihad.

Baca juga:  Peran Generasi Milenial Bagi Duka Ibu Pertiwi

Kedua, mengetahui permasalahan seputar ijmak (konsensus. Seorang mujtahid tidak berfatwa dengan sesuatu yang menyelisihi ijmak. Maka, seorang mujtahid harus memiliki wawasan yang luas mengenai ensiklopedi ijmak.

Ketiga, menguasai bahasa arab dan gramatikanya. Ini syarat yang tidak bisa ditawar. Dengan penguasaan bahasa arab, seorang mujtahid mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits berkaitan dengan hukum, terutama berkaitan dengan kosa kata-kosa kata asing. Keempat, menguasai ilmu ushul fiqih. Karena ilmu ini mencakup apa yang dibutuhkan seorang mujtahid untuk menggali dalil-dalil, yaitu metode-metodenya. Ilmu ini adalah tiang utama dalam berijtihad sekaligus pondasi utama.

Kelima, mengetahui nasikh-mansukh, sekiranya seorang mujtahid harus mengetahui mana ayat Al-Qur’an atau hadits rasulullah yang di-nasakh (direvisi), agar mujtahid tidak berfatwa dengan sesuatu yang sudah di-nasakh.

Sebab-sebab Perbedaan Pendapat

Ar-Razi dalam Al-Mahshul menyatakan bahwa objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qath’iy (pasti). Dalam hal ini berarti, yang bisa diijtihadi adalah hal-hal yang bersifat dhanniy (dugaan kuat) yang terdapat dua kemungkinan. Maka, salat 5 waktu adalah perkara yang tidak perlu diijtihadi karena kepastian dalilnya. Dhanniy ini bisa terjadi pada teks yaitu berkaitan dengan periwayatan, atau juga berkaitan interpretasinya. Yang kedua inilah yang sering menjadikan perbedaan pendapat tentang suatu hukum.

Baca juga:  Covid-19 di Pesantren (6): Adakah Manusia yang Doanya Bisa Menghentikan Wabah Corona?

Ad-Dahlawi dalam Al-Inshaf menyebutkan diantara sebab perbedaan para ahli fikih adalah mengenai ketersediaan hadits yang didapat oleh mujtahid. Misalnya, hadits tentang dua qullah dalam wudlu. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak periwayat dan sandadnya sahih bersambung hingga ibnu umar kemudian rasulullah. Menurut beliau, hadits ini tidak muncul di era Sa’id ibn Al-Musayyib maupun Az-zuhri, juga tidak diamalkan oleh madzhab Maliki juga hanafiyah dan diamalkan oleh Syafi’iyah. Oleh sebab itu, kemudian Syafi’iyah berbeda dengan Malikiyah dan Hanifiyyah perihal dua qullah dalam bersuci.

Perbedaan lain dalam ijtihad adalah tentang makna quru’ dalam Al-Qur’an soal masa iddah perempuan. Syafi’iyah memaknai quru’ sebagai tiga kali suci, sedangkan malikiyah sebagai tiga kali haid. Pemahaman kedua mazhab besar ini disebabkan kata quru’ memiliki makna musytarak (homonim) yang berarti suci atau haidl, maka dalalah yang dimiliki oleh kata tersebut berpotensi memiliki dua makna yang dhanniy dan tidak qath’iy.

Para mujtahid dalam furu’, ketika ‘hasil kerjanya’ benar maka mendapatkan 2 pahala, dan jika salah mendapatkan 1 pahala. Pernyataan ini didukung oleh hadits rasulullah yang diriwayatkan oleh ‘amr ibn al-‘ash:

«إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»

“Ketika seorang hakim berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad kemudian dia salah maka dia mendapatkan satu pahala.”

Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
1
Terinspirasi
6
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top