Sedang Membaca
Nabi Muhammad, Teladan Generasi Milenial
Irfan L Sarhindi
Penulis Kolom

Penulis lepas dan Guru di Pesantren Cianjur, Jawa Barat.

Nabi Muhammad, Teladan Generasi Milenial

Apa persamaan perayaan hari ulang tahun Nabi dengan hari ulang tahun Yesus bagi orang Islam? Sama-sama diramaikan dengan pro-kontra netizen di sosial media. Yang pertama berkaitan dengan boleh tidaknya merayakan Maulid Nabi. Sementara yang kedua tentang boleh tidaknya ikut mengucapkan selamat natal kepada kawan-kawan Nasrani.

Suatu perdebatan usang yang memanas setiap Maulid dan/atau Natal datang. Tetapi dalam konteks Maulid, perayaannya bagi saya adalah ekspresi kebahagiaan dan syukur atas kelahiran Nabi Besar Muhammad saw.

Dengan mengingat kebaikan dan teladan yang beliau wariskan kepada kita, setidaknya melalui perayaan Maulid, sesungguhnya kita tengah gotong-royong menjaga nyala lilin kenabiannya; menjaga cahaya ilmu dan inspirasi kemanusiaannya yang luhur. Tanpa ada proses sistematik semisal itu melalui (salah satunya) perayaan Maulid, agak susah untuk nyala lilin itu tetap dikobarkan, diestafetkan cahayanya dari generasi ke generasi.

Paling banter, ada gap besar yang menjurangkan Nabi dan teladannya dengan kita hari ini lengkap dengan segala komplekstitas persoalan. Taruhlah bagi generasi milenial yang hidup di era post-modern dengan segala distraksi mahacanggih, dengan kesepian yang lebih depressing, dengan segala kegelisahan batin yang mengosongkan pandangan, dengan segala candu artifisial yang bikin bingung.

Perlu ada kontekstualisasi sejarah kehidupan Nabi dengan pri kehidupan kita hari ini agar ideal-ideal moral yang Nabi perlihatkan dapat secara relevan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, prilaku tahannuts Nabi.

Kegiatan menyendiri, menarik jarak pandang dan jarak duduk dari kerumunan, untuk menghujani diri dengan kesenyapan, keheningan, dan pelukan semesta raya. Dalam proses itu tidak hanya kita berselancar menemukan ketenangan tetapi juga diri sendiri, me-recharge stamina, menjernihkan sudut dan cara pandang, menjaga keterjagaan dari distraksi dan logical fallacy.

Proses tahannuts ini dilakukan Nabi paling tidak setahun sekali, di sebuah gua nyaris di puncak Gunung berbatu dan terjal bernama Gunung Nur. Gua itu sempit; hanya cukup untuk dua orang.

Baca juga:  Menghadirkan Bayi di Tengah Pembacaan Marhaban

Untuk dapat ke sana, Nabi mula-mula harus naik ke puncak gunung di mana Mekkah dan Masjidil Haram terlihat di kejauhan, lalu menuruni lereng curam untuk tiba di depan gua. Sendirian. Literally sendirian kecuali di waktu-waktu tertentu ketika ada yang mengantarkan bekal atau mengecek persediaan beliau.

Kegiatan menyendiri ini penting jika kita menempatkannya pada konteks Nabi sebagai, pertama, pebisnis dan eksportir. Sudah barang tentu kegiatan bisnis membuat Nabi banyak bertemu, berinteraksi, dan bersinggungan dengan manusia lintas-ras dan suku bangsa, lintas-agama. Sudah tentu pertemuan itu memperkaya sudut pandang beliau. Belum lagi haji pada zaman jahiliyyah merupakan festival kaya yang dihadiri umat lintas agama, dimeriahkan penyair yang unjuk kebolehan, diberkahi tokoh-tokoh suku yang berlomba-lomba menjamu tamu.

Kesibukan dan ingar-bingar tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuat Nabi hanyut dalam kesibukan dan rutinitas yang itu-itu saja: pergi berdagang, mengembangkan relasi bisnis, selangkah demi selangkah mengokohkan posisi sosio-kultural dan statusnya sebagai ‘Raja Mekkah’. Secara pelan-pelan menina-bobokan Nabi sehingga tahu-tahu tahun berganti tahun tanpa ada perubahan sama sekali baik bagi diri beliau maupun masyarakat Hijaz.

Untuk tetap menjaga kewarasan dan keterjagaan, Nabi bersengaja ‘memutus’ mata rantai kesibukan itu dan mengambil short escape dan lone retreat. Dalam proses itu Nabi tidak hanya menetralisir virus-virus yang mengkontaminasi pribadi beliau, tetapi juga memikirkan gagasan-gagasan besar yang jauh dari kepentingan ego-sektoral beliau. Memikirkan umat manusia, mencari akar persoalan, mencari jalan keluar. Hingga kemudian turun wahyu.

Baca juga:  Tidak Fanatik di Tahun Politik: Belajar dari "Ahlul Kitab"

Bagaimana cara milenial meneladaninya? Haruskah mereka ‘pergi ke hutan belok ke pantai’ tanpa bawa gadget, misalnya? Atau bisakah mereka tidak ke mana-mana tetapi bisa sekaligus ber-tahannuts? Sebelum itu, saya ingin mengetengahkan konteks tantangan milenial hari ini. Kehidupan kita, kendati kita bukan eksportis dan pebisnis sesibuk Nabi, tidak pula kita berkedudukan ‘seterkenal dan sepenting’ Nabi, sesungguhnyalah tidak kalah kompleks dan ingar-bingar. Apalagi, kita punya sosial media dengan modal gawai yang makin handy dan canggih.

Kita punya lapis-lapis identitas dan kehidupan yang kita jalani: kehidupan sehari-hari dan citra kehidupan yang ingin kita tampilkan di sosial media. Distraksi kita juga tidak kalah banyak: kesibukan di dunia nyata dan keseruan online lengkap dengan segala hal-hal receh, unfaedah, dan pertengkaran-pertengkarannya. Begitu besar daya tarik sosial media hingga kadang kita terlena, ternina-bobokan, hingga tahu-tahu makin tidak produktif, hingga tahu-tahu kita hanya jalan di tempat menjalani rutinitas; hari demi hari berjalan sama saja dari pagi berganti malam. Kita tidak ingat mau ke mana, kalaupun ingat tidak lantas bergegas mengatur langkah.

Di tengah distraksi dan penjara-rutinitas model demikian, adalah penting merentang jarak dari pusat magnet sosial media, dari candu rutinitas, demi menetralisir distraksi yang ditimbulkan. Meninggalkan kota dan konteks tempat kita ‘sibuk’ selama beberapa waktu dapat menjadi salah satu cara demi sudut pandang yang lebih kaya dan segar. Dalam hal ini amat berkesesuaian dengan tabiat milenial yang katanya gemar jalan-jalan. Cara lainnya adalah dengan mengontrol jam ‘nunduk’ kita. Setidak-tidaknya memaksa diri untuk tidak main hape, misalnya, saat belajar.

Atau, meluangkan waktu setidaknya 10-15 menit untuk hanya salat dan zikir setiap waktu sebagai metode meditasi dan relaksasi yang transendental, tanpa mesti dibarengi scroll WA atau Facebook atau Instagram. Salat menjadi gua hira, zikir menjadi cara sinyal hati kita meraih wifi-Nya, untuk kemudian dengan wifi tersebut kita dapat men-download hikmah kebijaksanaan—persis sebagaimana diri Nabi pasca tahannuts.

Agar lebih maksimal, jika perlu secara periodik kita bisa off dari aktivitas sosial media dan bertahan dari ‘sakau’ selama proses off tersebut demi bisa merdeka; demi tidak dihipnotis oleh distraksi-distraksi yang membuat kita semakin tidak tahu mau ke mana.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top