Suatu pagi di sudut kampus, saya bertanya pada seseorang alumnus universitas ternama: Buku yang bagus itu seperti apa? Orang terdidik itu ‘bengong’. Saya paham bahwa tolak ukur penilaian terhadap buku berbeda-beda. Saya bahkan sadar, di era ini, penilaian orang terdidik saja belum bisa dianggap sebagai kiblat bagus-tidaknya sebuah buku. Tak jarang saya berpikir, bagaimana bisa orang mengimani segala yang diucapkan orang lain tanpa mendalaminya lagi?
Hari ini banyak orang memilih buku berdasarkan desain sampul, sekarang hal itu menjadi wajar, sebab sampul merupakan wajah dari buku. Kita tak bisa menampik fakta bahwa strategi pemasaran juga perlu dipikirkan. Tapi, dengan beberapa alasan, buku kumpulan puisi Afda Muhammad berjudul: Berhubung (di) Perjalanan, (2023) ini hanya menampilkan satu lukisan. Bagi Afda lukisan ini bermakna, “orang yang ditinggal rombongan perahu, dihindari oleh hingar-bingar peradaban.”
Mungkin terdengar aneh, seakan-akan ingin memberi penjelasan bahwa dirinya telah dikucilkan oleh banyak orang karena perilaku atau pemahamannya. Tapi itulah yang ingin disampaikan buku ini, dari sampul hingga puisi-puisi di dalamnya. Afda mengungkapkan kecemasan pada segala masalah yang ia lihat bersifat saling berkaitan, menyublim, dan kompleks. Sehingga, perilaku dan pemahamannya berpotensi untuk dijauhi banyak orang.
Beberapa puisi dalam buku ini ingin menyoroti kehidupan sosial yang ia lihat dan ia renungi, baik secara vertikal maupun horizontal. Beberapa puisi juga menyinggung tentang kekeliruan spiritualitas masyarakat Islam modern, yang diantaranya adalah penyembahan terhadap suatu sosok, komunitas, bahkan agama, bukan pada Tuhan-Nya.
Pada puisi “Hingga Allah Bertanya”, ia menelisik kekeliruan berpikir manusia dalam meyakini sesuatu. Afda menulis: Wahai para penyembah jubah, ceramah, dan jamaah, lalu melanjut puisi itu dengan kutipan ayat (afala ya’lamu iza bu’sira ma fil qubur, wa hussila ma fis sudur). Dalam bait tersebut, Afda ingin mengatakan bahwa keyakinan manusia atas ritual keagamaan yang mereka lakukan belum tentu baik. Manusia perlu mengoreksi hatinya sendiri, mencari celah dari tiap-tiap amal yang mereka kerjakan, barangkali amal itu masih berbau duniawi.
Sebuah kebenaran pahit yang perlu terus ditelaah. Manusia tak henti-hentinya terjebak pada romantisme religius. Banyak dari kita yang memamerkan ritual, ceramah, pakaian keagamaan, dan meminggirkan akal sebagai landasan yang berguna. Dalam puisinya Afda mencemaskan fakta dogmatis yang menjalar itu, mencemaskan anggapan banyak orang bahwa sosok yang berceramah adalah sosok yang memiliki kebenaran mutlak, sehingga tidak perlu memperhitungkan argumen serta kebijakannya.
Kalau mengingat tragedi belakangan, kita bisa mencari dan menelaah penyebab kasus pelecehan seksual di pesantren. Banyak tragedi yang disebabkan oleh konstruksi ‘kebenaran’ yang melekat di mata korban. Sehingga korban mengiyakan segala hal yang diperintahkan oleh pelaku. Tak jarang, kasus ini terjadi karena berlakunya tradisi manut kyai. Sebab itulah puisi ini relevan, kita meyakini hal-hal yang sifatnya konstruktif tanpa hadirnya penalaran sebagai alat pembanding.
Jika kita menengok teori kemunduran peradaban Islam, banyak ilmuwan mengatakan bahwa salah satu pemicunya adalah pengabaian terhadap filsafat dan sains. Singkatnya, Islam mundur karena dipinggirkannya penggunaan nalar yang benar sebagaimana ajaran filsafat, sehingga memicu ortodoksi keilmuan Islam. Pada akhirnya masyarakat muslim ogah mengembangkan disiplin ilmu lain, yang sebenarnya mereka miliki sebelum munculnya ortodoksi keilmuan Islam.
Peminggiran penalaran sistematis adalah masalah besar. Kasus-kasus seperti pelecehan seksual bisa jadi ditimbulkan oleh proses penalaran yang dogmatis, menganggap bahwa sosok dan ucapan agamawan adalah kebenaran absolut. Seperti yang saya pikirkan di atas, seseorang meyakini sebuah buku itu bagus hanya karena direkomendasikan oleh seorang terdidik, tentu hal seperti itu merupakan penalaran yang salah.
Meskipun diunggulkan pada segi pendalaman isu, buku ini bukannya tanpa kelemahan. Dalam catatan pengantarnya, Afda mengaku bahwa bait-bait yang ia tulis ini diorientasikan secara vertikal. Kita bisa mengartikan itu sebagai bentuk renungan pribadinya saja, ia ingin menghindari bentuk kritik yang berorientasi terhadap masyarakat. Akan tetapi, jika kita renungi puisi dalam buku ini, justru kita diajak untuk mengoreksi realita kehidupan manusia, baik secara vertikal maupun horizontal.
Itulah mengapa puisi-puisi dalam buku ini kerap dipenuhi kata ‘Tikus’ dan ‘Selokan’, seperti pada puisi: “Satu Tikus Berkorban”, “Kiamat 7 Menit yang Lalu”, “Tuhan pun Boyong dari Kitab Suci”, “Tak Perlu”, dan “Pesta Pora di Selokan Metropolitan”. Afda menggunakan metafora Tikus dan Selokan untuk menggambarkan kecilnya dirinya, bagaikan seekor tikus di selokan yang tidak dianggap dan ditinggalkan peradaban manusia. Hal ini justru membingungkan pembaca, bahwa kritik yang ia lontarkan lewat puisi hanyalah diorientasikan pada Tuhan saja, dan meminggirkan makhluk lainnya.
Judul Film: Berhubung (di) Perjalanan,
Penulis: Afda Muhammad
Penerbit: Sulur Pustaka
Cetak: 2023
Tebal: x + 102 halaman
ISBN: 978-623-148-046-0